Pengelolaan Limbah Cair Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan tempat untuk menyembuhkan orang sakit. Akan tetapi, rumah sakit juga memiliki kemungkinan memberikan dampak negatif. Dampak negatif yang dapat terjadi salah satunya adalah pencemaran air akibat dari pembuangan limbah yang dihasilkan tidak dikelola dengan baik. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pengelolaan limbah cair di Rumah Sakit X. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara tidak terstruktur dengan menggunakan kuesioner kepada petugas yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan limbah cair di Rumah Sakit X. Pengolahan limbah cair di Rumah Sakit X menggunakan sistem extended aeration. Hasil kualitas limbah cair terolah yang sudah memenuhi baku mutu limbah rumah sakit (berada di bawah baku mutu) yang ditetapkan Pemerintah adalah pH (keasaman), Biochemical Oxygen Demand, Chemical Oxygen Demand, Total Suspendid Solid . Sedangkan kadar ammoniaknya masih berada di atas baku mutu. Hal ini disebabkan oleh pengelolaan lumpur yang belum memadai. Disarankan sepuluh persen dari lumpur yang mengendap di bak clarifier dikembalikan ke bak aerasi. Sedangkan sisanya, yaitu 90% dari lumpur yang mengendap di bak clarifier dapat dilakukan pengolahan lumpur lebih lanjut.
Upaya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum, besar artinya bagi pengembangan sumber daya manusia Indonesia seutuhnya. Masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang diharapkan mampu memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan setinggi-tingginya. Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat tersebut. Rumah sakit sebagai salah satu upaya peningkatan kesehatan tidak hanya terdiri dari balai pengobatan dan tempat praktik dokter saja, tetapi juga ditunjang oleh unit-unit lainnya, seperti ruang operasi, laboratorium, farmasi, administrasi, dapur, laundry, pengolahan sampah dan limbah, serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.
Selain membawa dampak positif bagi masyarakat, yaitu sebagai tempat menyembuhkan orang sakit, rumah sakit juga memiliki kemungkinan membawa dampak negatif. Dampak negatifnya dapat berupa pencemaran dari suatu proses kegiatan, yaitu bila limbah yang dihasilkan tidak dikelola dengan baik. Pada tahun 1999, WHO melaporkan di Perancis pernah terjadi 8 kasus pekerja kesehatan terinfeksi HIV, 2 di antaranya menimpa petugas yang menangani limbah medis1. Hal ini menunjukkan bahwa perlunya pengelolaan limbah yang baik tidak hanya pada limbah medis tajam tetapi meliputi limbah rumah sakit secara keseluruhan. Namun, berdasarkan hasil Rapid Assessment tahun 2002 yang dilakukan oleh Ditjen P2MPL Direktorat Penyediaan Air dan Sanitasi yang melibatkan Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota, menyebutkan bahwa sebanyak 648 rumah sakit dari 1.476 rumah sakit yang ada, yang memiliki insinerator baru 49% dan yang memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sebanyak 36%. Dari jumlah tersebut kualitas limbah cair yang telah melalui proses pengolahan yang memenuhi syarat baru mencapai 52%.
Hasil dari kualitas pengolahan limbah cair tidak terlepas dari dukungan pengelolaan limbah cairnya. Suatu pengelolaan limbah cair yang baik sangat dibutuhkan dalam mendukung hasil kualitas effluent sehingga tidak melebihi syarat baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah dan tidak menimbulkan pencemaran pada lingkungan sekitar. Oleh karena pentingnya pengelolaan limbah cair rumah sakit, maka diamati pengelolaan limbah cair di Rumah Sakit.
Di dalam equalizing tank, air limbah dibuat menjadi homogen dan alirannya diatur dengan flow regulator. Flow regulator yang terdapat pada bak ekualisasi ini dan dapat mengendalikan fluktuasi jumlah air limbah yang tidak merata, yaitu selama jam kerja air diperlukan dalam jumlah banyak, dan sedikit sekali pada malam hari. Flow regulator juga dapat mengendalikan fluktuasi kualitas air limbah yang tidak sama selama 24 jam dengan menggunakan teknik mencampur dan mengencerkan. Dengan dibantu oleh diffuser, air limbah dari berbagai sumber teraduk dan bercampur menjadi homogen dan siap diolah. Selain itu, diffuser juga dapat menghilangkan bau busuk pada air limbah.
Setelah tahap diatas, proses pengolahan secara biologis terjadi di dalam aeration tank dengan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air limbah didekomposisikan oleh microorganisme menjadi produk yang lebih sederhana sehingga menyebabkan bahan organik semakin lama semakin berkurang. Dalam hal ini bahan buangan organik diubah dan digunakan untuk perkembangan sel baru (protoplasma) serta diubah dalam bentuk bahan-bahan lainnya seperti karbondioksida, air, dan ammonia. Massa dari protoplasma dan bahan organik baru yang dihasilkan, mengendap bersama-sama dengan endapan dalam activated sludge.
Kemudian air limbah beserta lumpur hasil proses biologis tadi dialirkan kedalam clarifier tank agar dapat mengendap. Lumpur yang sudah mengendap di bagian paling bawah dipompakan kembali ke bak aerasi dan lumpur pada air limbah yang baru datang dibiarkan turun mengendap ke bawah sehingga terjadi pergantian. Lumpur yang telah mengendap pada dasar bak clarifier dikembalikan ke bak aerasi tanpa ada yang diambil keluar atau dilakukan pengolahan lumpur lebih lanjut.
Air limbah dari bak clarifier yang sudah lebih jernih dialirkan ke bak effluent. Sebelum masuk ke effluent tank, air limbah diberikan khlorin untuk mengendalikan jumlah populasi bakteri pada ambang yang tidak membahayakan. Sebagai mata rantai terakhir, air limbah ditampung di dalam effluent tank yang pada akhirnya akan dibuang ke parit dan bermuara ke sungai. Pemeliharaan IPAL di Rumah Sakit X pada prinsipnya relatif mudah dilakukan. Yang terpenting adalah menjaga agar limbah padat tidak masuk ke dalam sistem dan mencegah penyumbatan-penyumbatan. Untuk mencegah limbah padat masuk dan mencegah terjadinya penyumbatan-penyumbatan, maka perlu selalu dilakukan pembersihan pada bar screen dari sampah padat secara rutin. Peralatan yang digunakan adalah serok, garu, bak sampah, dan senter. Sedangkan material yang digunakan adalah kaporit berupa khlorin sebagai disinfektan. Pengawasan dilakukan pada kualitas serta alat-alat dan mesin. Pengawasan kualitas air limbah terolah dilakukan tiap 3 bulan sekali. Sedangkan pengawasan terhadap alat-alat dan mesin dilakukan secara rutin 6 kali dalam sebulan.