Aspek Sosialisasi dan Pendidikan
Telah menjadi bagian dari studi sosiologi pendidikan bahwa sosialisasi merupakan salah satu topik kajian yang dipelajari secara serius. Mengingat arti sosialisasi itu sendiri merupakan proses alamiah yang membimbing individu untuk mempelajari, memahami dan mempraktikkan nilai-nilai, norma-norma, pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat, sosialisasi memiliki urgensi yang begitu kuat terhadap keberlangsungan pendidikan bagi individu sebagai anggota masyarakat.
Proses sosialisasilah yang membuat seseorang menjadi tahu bagaimana seharusnya seseorang bertingkah laku di tengahtengah masyarakat dan lingkungan budayanya. Proses sosialisasi membawa seseorang dari keadaan belum tersosialisasi menjadi masyarakat dan beradab. Melalui sosialisasi, seseorang secara berangsur-angsur mengenal persyaratan-persyaratan dan tuntutan- tuntutan hidup di lingkungan budayanya. Oleh karena pentingnya pembahasan sosialisasi, maka secara khusus para ahli memfokuskan perhatian studinya guna mengungkap arti sosialisasi sesuai dengan titik tolak dan sudut pandang yang berbeda-beda. Tokoh-tokoh seperti Kimbal Young, R.S. Lazarus, Havigurst, Naugarten, Thomas Ford Hoult serta George Herbert Mead seperti dirangkum Ahmadi (1991) mengemukakan pengertian sosialisasi mencakup :
- Proses sosialisasi adalah proses belajar. Yaitu suatu proses akomodasi di mana individu menahan, mengubah impulsimpuls dalam dirinya lalu diikuti oleh upaya pewarisan cara hidup atau kebudayaan masyarakatnya,
- Dalam proses sosialisasi itu individu mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, nilai-nilai dan tingkah laku dalam masyarakat di mana ia hidup, dan 3. Semua sikap dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkan secara sistematis dalam pribadinya.
- Kedirian itu bersifat sosial,
- Kedirian itu membutuhkan masyarakat untuk menjelaskannya secara sempurna, dan
- Kesadaran individu terhadap dirinya timbul akibat pergaulan dengan orang lain.
Ketiga, pada akhirnya sosialisasi juga membentuk kedirian manusia itu dengan jalan membangun suatu ego. Ego secara umum dapat dikatakan sebagai fungsi pengontrol yang integratif dalam diri seseorang. Menurut definisi yang populer, ego dapat dipersamakan dengan hati nurani. Bila seseorang menginjak dewasa, diharapkan ia dapat mengontrol dirinya sendiri seolah-olah orang lain juga mengamatinya, meskipun sebenarnya mungkin tidak ada orang lain yang memperhatikannya. Begitulah konsepsi teoretis yang dikembangkan oleh beberapa ahli dalam menanggapi masalah hakikat keberadaan seorang individu terkait dengan lingkungan sosialnya. Secara singkat dapat dikatakan sosialisasi merupakan upaya belajar sosial individu untuk menyesuaikan kondisi, situasi dan sinergisitas antara kebutuhan individu dengan tuntutan eksternalnya.
Oleh sebab itu di sisi lain muncul juga suatu konsepsi teoritis tentang sosialisasi yang dimaknai sebagai proses penyesuaian diri. Konsep penyesuaian diri ini berasal dari biologi, dan merupakan konsep dasar yang digunakan Teori Evolusi Darwin. Dalam biologi, istilah yang digunakan ialah adaptasi. Menurut teori tersebut hanya organisme yang berhasil menyesuaikan diri terhadap lingkungan fisiknya sajalah yang dapat tetap hidup.
Tingkah laku manusia itu diterangkan sebagai reaksi-reaksi terhadap tuntutan atau tekanan dari lingkungan eksternalnya. Di daerah yang dingin manusia harus berpakaian tebal untuk mengatasi iklim. Contoh tersebut menunjukkan bahwa tingkah laku manusia itu merupakan penyesuaian diri terhadap tuntutan - tuntutan lingkungan fisik. Namun karena manusia hidup dalam masyarakat, maka tingkah lakunya bukan sekadar penyesuaian diri terhadap tuntutan- tuntutan fisik lingkungan -nya, melainkan juga merupakan penyesuaian diri terhadap tuntutan dan tekanan sosial dari luar.
Sehingga konsep adaptasi yang berasal dari biologi itu dalam ilmu - ilmu sosial (khususnya Psikologi) mendapat istilah, adjusment. Baik adaptasi maupun adjusment kita terjemahkan dengan “proses penyesuaian diri terhadap lingkungan fisik maupun lingkungan sosial”. Proses penyesuaian diri itu merupakan reaksi terhadap tuntutan-tuntutan untuk dirinya. Tuntutan-tuntutan tersebut dapat digolongkan menjadi tuntutan internal dan eksternal. Keseimbangan antara pemenuhan dorongan internal dengan penyesuaian terhadap tuntutan lingkungan luarnya akan menghasilkan kepuasan bagi seorang individu. Adapun kepuasan itu dapat berupa kepuasan psikis, efisiensi kerja atau pengakuan sosial dari masyarakat atas kerja yang dilakukannya, sehingga pada tahap selanjutnya akan mengkisahkan wujud keserasian aktualisasi kebutuhan individu sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Namun apabila kedua komponen tersebut justru menimbulkan benturan-benturan maka bisa memicu konflik yang menghambat upaya pemenuhan kebutuhannya. Oleh sebab itu diperlukan proses penyesuaian yang lebih detail untuk mempertemukan kedua kutub ekstrim tersebut supaya menemui keselarasan. Proses penyesuaian diri itu suatu proses progresif yang memungkinkan individu dapat menguasai impulsimpuls pribadinya maupun tuntutan lingkungannya. Adapun proses penyesuaian itu dilalui dengan tiga tahap, yakni :
- Tahap akomodasi, yakni rangkaian penyesuaian diri individu untuk mengubah atau menahan impuls-impuls dalam dirinya. Dalam tahap ini individu berusaha menahan diri dan menerima cara hidup atau budaya masyarakatnya.
- Tahap asimilasi, merupakan proses perpaduan akibat interaksi titik ekstrim antara kepentingan individu dengan kondisikondisi lingkungannya sehingga dapat menimbulkan hal-hal yang benar-benar baru dari proses awal. Sebagai contoh, untuk mengubah tanah pertanian yang tandus menjadi subur orang menggunakan pupuk.
- Tahap integrasi, adalah rangkaian upaya sistemik dari seorang individu untuk mengorganisasikan hasil-hasil integrasi mutualistis antara kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam suatu konteks kepribadian yang selaras dengan lingkungan luarnya.
- Di rumah atau di dalam keluarga anak berinteraksi dengan orang tua (atau pengganti orang tua) dan segenap anggota keluarga lainnya. Ia memperoleh pendidikan informal, berupa pembentukan pembiasaan-pembiasaan (habit formation) seperti, cara makan, tidur, bangun pagi, gosok gigi, mandi, cara berpakaian, tata krama, sopan santun, religi dan lain sebagainya. Pendidikan informal dalam keluarga akan banyak membantu dalam meletakkan dasar pembentukan kepribadian anak. Misalnya sikap religius, disiplin, lembut/kasar, rapi/rajin, penghemat/pemboros, dan sebagainya dapat tumbuh, bersemi dan berkembang senada dan seirama dengan kebiasaannya di rumah.
- Di sekolah anak berinteraksi dengan guru-guru (pengajar) beserta bahan-bahan pendidikan dan pengajaran, temanteman peserta didik lainnya, serta pegawa-pegawai tata usaha. Ia memperoleh pendidikan formal (terprogram dan terjabarkan dengan tetap) di sekolah berupa pembentukan nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan dan sikap terhadap bidang studi/ mata pelajaran. Akibat bersosialisasi dengan pendidikan formal, terbentuklah kepribadiannya untuk tekun dan rajin belajar disertai dengan keinginan untuk meraih cita-cita akademis yang setinggi-tingginya.
- Di masyarakat anak berinteraksi dengan seluruh anggota masyarakat yang beraneka ragam (heterogen), seperti orangorang, benda-benda, dan peristiwa-peristiwa. Ia memperoleh pendidikan nonformal atau pendidikan luar sekolah berupa berbagai pengalaman hidup. Agar masyarakat dapat melanjutkan eksistensinya, maka kepada generasi muda harus diteruskan atau diwariskan nilai-nilai, sikap, pengetahuan, keterampilan dan bentuk-bentuk pola perilaku lainnya. Setiap masyarakat meneruskan kebudayaannya (beserta perubahannya) kepada generasi penerusnya melalui pendidikan dan interaksi sosial. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai sosialisasi, dan belajar adalah sosialisasi yang berkesinambungan.
B. Beberapa Pendekatan dalam Sosialisasi
individu dalam dunia sosialnya. Teori tersebut yakni sebagaiBagaimana sosialisasi itu dilaksanakan ? Dalam studi sosiologi para teoretikus mengemukakan beberapa teori sosialisasi yang menjelaskan cara melakukan sosilasisasi, di mana cara-cara tersebut merupakan proses komunikasi sosial dan komunikasi antarbudaya yang selama ini sekaligus menjadi medium dari interaksi berikut :
- Teori Sosialisasi Pasif. Pertama, dari Talcot Parson,1959 dalam Liliweri (2001) yang mengemukakan bahwa proses sosialisasi merupakan bagian dari perspektif fungsionalisme. Sosialisasi seperti belajar berlangsung terus selama hidup namun proses yang paling dramatis dikaitkan dengan anak didik. Jadi, ada proses yang mengharuskan perubahan terhadap struktur kepribadian dasar. Di satu pihak, tuntutan anak didik harus diubah namun di lain pihak anak didik masih bergantung pada keteraturan dalam struktur dan fungsi, misalnya fungsi keluarga. Kedua, sosialisasi dari Kluchkon yang konsepnya didasarkan pada proses mengubah orientasi anak didik. Misalnya orientasi nilai, orientasi terhadap kodrat, alam, waktu, modalitas. Ketiga, sosialisasi dari Mc. Clelland bahwa keinginan untuk mencapai prestasi pribadi, kebutuhan akan berprestasi sudah merupakan keinginan setiap manusia. Ketiga-tiganya tetap menekankan pengaruh dari struktur sosiokultur dominan yang paling vital membentuk individu dalam proses sosialisasi. Individu hanya sekadar bagian kecil dari sistem sosial makro yang melingkupi kehidupannya hanya bermaksud memberikan reaksi-reaksi pasif untuk menyesuaikan tuntutan-tuntutan eksternal.
- Teori Sosialisasi Aktif. Menurut Mead dalam Liliweri (2001) manusia tidak saja merespon nilai baru tetapi menciptakan peranannya dalam kondisi material di mana ia hidup agar bisa sukses merespon hal baru. Kondisi itu hanya bisa dibentuk melalui proses interaksi dengan orang lain.
- Teori sosialisasi radikal, yang berlangsung dalam masyarakat yang berlapis-lapis. Konsep ini mengacu pada hegemoni Gramsci yang mengemukakan bahwa kemampuan kelompok dominan selalu berusaha untuk mempertahankan statusnya kemudian mensosialisasikan nilainya kepada yang lain.
Sekolah dan Sosialisasi
1. Hakikat Sekolah
Sekolah memegang peranan penting dalam proses sosialisasi anak, walaupun sekolah merupakan hanya salah satu lembaga yang bertanggung jawab atas pendidikan anak. Anak mengalami perubahan dalam perilaku sosialnya setelah ia masuk ke sekolah.
Di rumah ia hanya bergaul dengan anggota keluarga yang terbatas jumlahnya, terutama dengan anggota keluarga dan anak-anak tetangga. Suasana dirumah bercorak informal dan banyak tindakan yang diizinkan menurut suasana di rumah. Anak itu mengalami suasana yang berbeda di sekolah. Ia bukan lagi anak istimewa yang diberi perhatian khusus oleh ibu guru, melainkan hanya salah seorang di antara puluhan murid lainnya di dalam kelas. Dengan suasana kelas demikian, anak itu melihat dirinya sebagai salah seorang di antara anak-anak lainnya. Jadi di sekolah anak itu belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang baru yang memperluas keterampilan sosialnya. Ia juga berkenalan dengan anak yang berbagai ragam latar belakang dan belajar untuk menjalankan peranannya dalam struktur sosial yang dihadapinya di sekolah.
Dalam perkembangan fisik dan psikologis anak, selanjutnya anak memperoleh pengalaman-pengalaman baru dalam hubungan sosialnya dengan anak-anak lain yang berbeda status sosial, kesukuan, agama, jenis kelamin dan kepribadiannya. Lambat laun ia membebaskan diri dari ikatan rumah tangga untuk mencapai kedewasaan dalam hubungan sosialnya dengan masyarakat luas. Sebagian besar proses sosialisasi terjadi secara informal. Namun tiap-tiap masyarakat mengenal institusi sosial khusus tempat berlangsungnya proses sosialisasi secara formal yang disebut sekolah. Dalam sejarah telah diketemukan sekolah-sekolah di Mesir dan Tiongkok Kuno kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi. Sekolah-sekolah tempat mendidik para pendeta dan ulama hampir terdapat pada semua masyarakat. Pada zaman dahulu pendidikan sekolah merupakan hak istimewa bagi golongan elite, baik golongan politik, agama, militer maupun ekonomi.
Dewasa ini pendidikan sekolah menjadi makin penting dan mencakup ruang lingkup yang lebih luas. Masyarakat modern menuntut adanya pendidikan sekolah yang bersifat massal. Untuk itu masyarakat modern mencurahkan investasinya kepada institusi- institusi pendidikan. Seperti proses sosialisasi pada umumnya, pendidikan sekolah mempunyai dua aspek penting, yaitu aspek individual dan sosial. Di satu pihak pendidikan sekolah bertugas mempengaruhi dan menciptakan kondisi yang memungkinkan perkembangan pribadi anak secara optimal. Di pihak lain pendidikan sekolah bertugas mendidik agar anak mengabdikan dirinya kepada masyarakat.
Menurut Webster, 1991 (dalam Hasbullah, 1999) sekolah merupakan tempat atau institusi/lembaga yang secara khusus didirikan untuk menyelenggarakan proses belajar mengajar atau pendidikan. Sebagai institusi, sekolah merupakan tempat untuk mengajar murid-murid, tempat untuk melatih dan memberi instruksi-instruksi tentang suatu lapangan keilmuan dan keterampilan tertentu kepada siswa. Tempat yang dinamakan sekolah itu merupakan satu kompleks bangunan, laboratorium, fasilitas fisik yang disediakan sebagai pusat kegiatan belajar dan mengajar. Berdasarkan pendapat itu maka sekolah mengandung dua makna, secara fisik sekolah terdiri dari bangunan-bangunan gedung dan laboratorium, jadi sekolah dalam artian material. Sedangkan yang nonfisik terdiri dari sistem-sistem hubungan antara mereka yang ditugaskan untuk mengajar (guru, pelatih dan lain-lain) dengan yang diajar (murid, siswa), jadi sekolah dalam artian spiritual.
Kedua artian tersebut di atas saling mendukung, misalnya guru tidak bisa mengajar, mensosialisasikan nilai-nilai (artian spritual) dengan sempurna apabila tidak didukung oleh fasilitas (artian material) belajar-mengajar yang memadai. Baik artian material maupun spiritual, sekolah tetap sekolah, dia merupakan suatu “area” khusus dalam strata sosial dan budaya masyarakat sehingga eksistensi sekolah yang mendidik manusia tidak dapat dipisahkan dengan konteks masyarakat. Jadi sekolah merupakan salah satu agen sosialisasi norma dan nilai, sekolah merupakan tempat lembaga (institusi) pendidikan menyelenggarakan seluruh kegiatannya baik praktis maupun substantif.
Secara sosiologis, pendidikan juga mencakup proses sosialisasi yang dilembagakan melalui sekolah sebagai institusi, karena kita membawa anak-anak dari lingkungan keluarga ke lingkungan yang lebih luas. Perbuatan ini sama saja dengan bmengalihkan perhatian kita dari pembentukan identitas individu dalam suatu unit keluarga kepada pembentukan struktur sosial yang lebih luas dan pada gilirannya akan saling memberikan pengaruh oleh identitas tersebut. Jadi, kita beralih dari suatu orientasi mikro ke makro yang dengan logika itu maka pendidikan secara bersistem tetap diperlukan untuk memanusiakan manusia utuh dan kaya arti.
Sebagaimana telah terungkap dalam Liliweri (2001) ada beberapa gagasan teoretis yang dapat digunakan untuk menjelaskan pentingnya pendidikan modern bagi manusia. Pertama, Teori Fungsionalisme dari Collins. Teori ini berpendapat bahwa sistem pendidikan modern berasal dari kebutuhan riil fungsional di lapangan. Sebagai contoh, industrialisasi telah menyebabkan semakin besarnya tuntutan tingkat keterampilan kerja. Akibatnya, pendidikan harus diperluas agar anak didik berfungsi sesuai dengan kebutuhan untuk mengisi struktur kerja. Ahli lain yang memfokuskan diri membahas peran utama sekolah dalam masyarakat adalah Talcot Parsons tahun 1959, yang tulisan-tulisannya menganut pendekatan aliran fungsionalis. Parsons melakukan suatu upaya ilmiah untuk menunjukkan fungsi mendasar dari sekolah sebagai perantara hubungan lintas lembaga pendidikan primer menuju orientasi pendidikan sekunder di mana anak yang sebelumnya mendapat pembinaan dan naungan kehidupan keluarga maka di dalam sekolah anak akan dipersiapkan untuk mempelajari peran-peran orang dewasa dalam struktur sosial masyarakat modern. Dalam Mifflen (1986) dia melihat dua fungsi dari peran sekolah yaitu :
- Mengarahkan anak dari orientasi kekhususan ke orientasi yang universal serta dari orientasi askriptif menuju orientasi prestasi (meritokratis), dan
- Alokasi seleksi atau diferensial ke peran-peran dewasa yang mendapat kedudukan tidak sama.
Ketiga, Teori Inflasi Kredensial dari Collins dan Dore. Menurut mereka bahwa pendidikan adalah komoditas bernilai tinggi yang dicari oleh individu-individu sebagai alat sukses ekonomi dan mobilitas ke atas. Sistem pendidikan menjadi suatu fokus untuk mendapatkan diploma dan gelar kesarjanaan. Terjadilah apa yang disebut dengan Inflasi Kredensial (Inflasi Ijasah), karena penyelenggara pendidikan cenderung mengejar jumlah tamatan (kuantitas) sedangkan prinsip kualitas kurang mendapat perhatian. Akibatnya terjadi kelebihan ijasah sehingga ada ijasah yang tidak dapat digunakan.
Keempat, Teori Pendidikan sebagai pembangunan bangsa. Asumsi teori ini adalah pendidikan massal modern timbul dan meluas untuk dapat memberi sosialisasi intensif kepada individuindividu yang menjadi warga negara yang layak dalam masyarakat modern, rasionalistis dan industri maju berteknologi tinggi. Pendidikan menjadi suatu alat besar yang mengikat individuindividu pada tujuan sistem politik modern dalam meningkatkan pembangunan ekonomi dan modernisasi masyarakat secara menyeluruh.
Beberapa konsep teoretis di atas telah memaparkan rangkaian analisis tentang peran dan fungsi lembaga sekolah dalam kehidupan masyarakat khususnya menjadi salah satu agen sosialisasi bagi individu. Tentu saja masing-masing konsep tersebut memiliki signifikansi yang berbeda-beda terhadap model penerapan dan realitas pendidikan (sekolah) kita. Sesuai dengan konstruksi sosial dan kebudayaan yang terbentuk maka secara prinsipil model pendidikan kita diarahkan pada tipe birokratis bagi seluruh kalangan (education for all) dengan fokus teori pendidikan untuk membangun bangsa. Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah yang lahir dan berkembang di dalam masyarakat merupakan perangkat yang berkewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam mendidik warga negara. Sekolah di kelola secara formal, hierarkis dan kronologis yang berhaluan pada falsafah dan tujuan nasional suatu bangsa.
Sifat-Sifat Lembaga Pendidikan Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan kedua setelah keluarga yang bersifat formal namun tidak kodrati. Kendatipun demikian banyak orang tua (dengan berbagai alasan) menyerahkan tanggung jawab pendidikan anaknya kepada sekolah. Dari kenyataan tersebut, maka menurut Hasbullah (1999) sifat-sifat dari pendidikan sekolah tersebut adalah:
a. Tumbuh Sesudah Keluarga (pendidikan kedua)
Dalam sebuah keluarga tidak selamanya tersedia kesempatan dan kesanggupan memberikan pendidikan kepada anaknya, sehingga keluarga menyerahkan tanggung jawabnya kepada sekolah. Di sekolah, anak-anak memperoleh kecakapan seperti membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu yang lain. Di samping itu juga diberikan pelajaran menghargai keindahan, membedakan benar dan salah serta pendidikan agama. Materi-materi tersebut jelas sangat sulit diselenggarakan di lingkungan keluarga.
b. Lembaga Pendidikan Formal
Dinamakan lembaga pendidikan formal, karena sekolah mempunyai bentuk yang jelas, dalam arti memiliki program yang telah direncanakan dengan teratur dan ditetapkan dengan resmi, misalnya di sekolah ada rencana pengajaran, jam pelajaran dan peraturan lain yang menggambarkan bentuk sekolah secara keseluruhan.
c. Lembaga Pendidikan yang Tidak Bersifat Kodrati
Lembaga pendidikan didirikan atas dasar hubungan darah antara guru dan murid seperti halnya di keluarga, tetapi berdasarkan hubungan yang bersifat formal. Murid juga secara kodrat harus mengikuti pendidikan sekolah tertentu, karena itu sekolah merupakan pendidikan yang tidak bersifat kodrati. Dalam hal ini sudah barang tentu hubungan antara pendidik dan anak didik di sekolah tidak seakrab hubungan di dalam kehidupan keluarga, sebab di antara guru dan murid tidak ada ikatan berdasarkan hubungan darah, di samping itu terlalu banyak murid yang harus dihadapi oleh guru.
Fungsi dan Peranan Lembaga Sekolah
Peranan sekolah sebagai lembaga yang membantu lingkunganDalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa jalur pendidikan sekolah/formal merupakan jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang (Pasal 1 ayat 10). keluarga, maka sekolah bertugas mendidik dan mengajar serta memperbaiki dan memperhalus tingkah laku anak didik yang dibawa dari keluarganya. Sementara dalam perkembangan kepribadian anak didik, peranan sekolah dengan melalui kurikulum, antara lain yaitu :
- Anak didik belajar bergaul sesama anak didik, antara guru dengan anak didik, dan antara anak didik dengan orang yang bukan guru (karyawan).
- Anak didik belajar mentaati peraturan-peraturan sekolah.
- Mempersiapkan anak didik untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
- Mengembangkan kecerdasan pikiran dan memberikan pengetahuan; di samping bertugas untuk mengembangkan pribadi anak didik secara menyeluruh, fungsi sekolah yang lebih penting sebenarnya adalah menyampaikan pengetahuan dan melaksanakan pendidikan kecerdasan. Fungsi sekolah dalam pendidikan intelektual dapat disamakan dengan fungsi keluarga dalam pendidikan moral.
- Spesialisasi; sebagai konsekuensi makin meningkatnya kemajuan masyarakat ialah makin bertambahnya diferensiasi sosial yang melaksanakan tugas tersebut. Sekolah mempunyai fungsi sebagai lembaga sosial yang spesialisasinya dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
- Efisiensi; terdapatnya sekolah sebagai lembaga sosial yang berspesialisasi di bidang pendidikan dan pengajaran, maka pelaksanaan pendidikan dan pengajaran dalam masyarakat menjadi lebih efisien, sebab: Apabila tidak ada sekolah dan pekerjaan mendidik hanya harus dipikul oleh keluarga, maka hal ini tidak akan efisien, karena orang tua terlalu sibuk dengan pekerjaannya, serta banyak orang tua tidak mampu melaksanakan pendidikan dimaksud, Oleh karena pendidikan sekolah dilaksanakan dalam program yang tertentu dan sistematis, dan Di sekolah dapat dididik sejumlah besar anak secara sekaligus.
- Sosialisasi; sekolah mempunyai peranan yang penting di dalam proses sosialisasi, yaitu proses membantu perkembangan individu menjadi makhluk sosial, makhluk yang dapat beradaptasi dengan baik di masyarakat. Sebab bagaimanapun pada akhirnya dia berada di masyarakat.
- Konservasi dan transmisi kultural; Fungsi lain dari sekolah adalah memelihara warisan budaya yang hidup dalam masyarakat dengan jalan menyampaikan warisan kebudayaan tadi (transmisi kultural) kepada generasi muda, dalam hal ini tentunya adalah anak didik.
- Transisi dari rumah ke masyarakat; ketika berada di keluarga, kehidupan anak serba menggantungkan diri pada orang tua, maka memasuki sekolah di mana ia mendapat kesempatan untuk melatih berdiri sendiri dan tanggung jawab sebagai persiapan sebelum ke masyarakat.