Menurunnya kualitas lingkungan hidup (udara, air, dan tanah) di kota - kota besar, cenderung disebabkan meningkatnya jumlah penduduk dengan berbagai aktivitasnya seperti kegiatan industri, transportasi, rumah tangga, serta perdagangan dan jasa. Disisi lain, keberadaan kondisi fisik wilayah kota - kota besar merupakan daerah hilir bermuaranya 13 aliran sungai, hingga tidaklah mengherankan bila setiap tahun muncul banjir musiman, akibat kiriman air dari bagian hulu aliran sungai, maupun meningkatnya tutupan tapak dalam bentuk bangunan beton dan aspal, serta semakin meluasnya intrusi air laut akibat pemanfaatan air tanah yang kurang terkendali.
Upaya pengendalikan lingkungan fisik kritis di wilayah ota - kota besar, pada hakekatnya telah diupayakan. Pada tahun 1970-an, upaya tersebut diwujudkan melalui gerakan penghijauan kota. Sekitar tahun 1980-an, Dinas Pertamanan di kota - kota besar memprogramkan pembangunan jalur hijau dan pertamanan kota, sedangkan Dinas Kehutanan di kota - kota besar mulai menerapkan program pembangunan dan pengembangan hutan kota. Periode berikutnya tahun 1993, muncul dengan nama gerakan penghijauan sejuta pohon, dan program penghijauan Sadpraja yang diprakarsai oleh Badan Dampak Pengendalian Lingkungan Hidup kota - kota besar di tahun 1993, muncul dengan nama gerakan penghijauan sejuta pohon, dan program penghijauan Sadpraja yang diprakarsai oleh Badan Dampak Pengendalian Lingkungan Hidup di kota - kota besar. Walaupun demikian, hasil-hasil yang dicapai, dinilai belum dapat memenuhi tuntutan dan harapan bagi pengelola sendiri maupun oleh masyarakat secara luas.
Sementara itu, penerapan rencana umum tata ruang (RUTR) 1985-2005 di kota - kota besar, pada hakekatnya mengatur dua aspek pokok yaitu pengaturan dan pengendalian ruang terbangun (build up area), maupun pengembangan ruang terbuka hijau (RTH). Diproyeksikannya RTH dalam pembangunan di kota - kota besar, berpijak pada kondisi alamiah nyata, hingga lebih menyakinkan kesadaran warga kota akan arti pentingnya upaya pembenahan lingkungan hidup di wilayahnya, melalui pemberdayaan pepohonan untuk mengatasi dan mengendalikan fenomena lingkungan krisis. Hal tersebut dilakukan mengingat bahwa potensi dan peluang pepohonan mampu memberikan jasa-jasanya secara lestari melalui fungsi bio-eko-hidrologisnya. Dalam pada itu, konsep pembangunan tata hijau dalam bentuk hutan kota, merupakan salah satu upaya pendekatan yang dinilai sangat tepat untuk dikembangkan, yang dijamin keberadaannya dalam penataan ruang pembangunan kota - kota besar.
Bangkitnya pembangunan hutan kota di kota - kota besar, pada awalnya diprakarsai oleh DinasKehutanan kota - kota besar sejak tahun 1986, atau tepatnya tanggal 24 Prebuari 1986, dengan diresmikannya pusat pembibitan (persemaian) hutan kota di kawasan hutan kota kampus Universitas di kota - kota besar, oleh Menteri Kehutanan Dr. Soedjarwo. Selama kurun waktu 20 tahun, pembangunan hutan kota di Provinsi kota - kota besar di bawah binaan dan pengelolaan Dinas Pertanian dan Kehutanan, telah mencapai luas rata - rata 412,5 ha yang tersebar di seluruh wilayah kota - kota besar.
Kota Hutan kota (urban forestry), pada hakekatnya merupakan hutan baik yang dipertahankan dan atau dibangun di wilayah perkotaan, hingga membentuk tegakan vegetasi berkayu, beserta semak dan tumbuhan bahwahnya, dan merupakan satuan ekologik terkecil yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi penduduk perkotaan dalam kegunaankegunaan proteksi dan atau penyangga kenyamanan lingkungan, estetika dan rekreasi, serta kegunaan khusus lainnya. Segala hal yang berkaitan dengan hutan kota disebut “program hutan kota” (urban forestry).
Kegunaan proteksi hutan kota disebabkan karena peranan jasa fungsi bio-hidroekologisnya. Sedangkan kegunaan estetika dan rekreasi, memberikan kenyamamanan, menciptakan keindahan nilai-nilai kotras lingkungan perkotaan, serta merupakan habitat sisa - sisa kehidupan satwa liar di wilayah perkotaan.
Kriteria satuan-satuan luas hutan kota, sekurang-kurangnya 0,25 ha dengan kerapatan tumbuhan sekurang-kurangnya 10% (equivalen jarak tanam 10 X 10 meter) atau 100 pohon besar/ha, ditambah dengan hamparan semak dan tumbuhan bawah setelah membentuk tegakkan. Makna pembangunan berasal dari “bangun” yang pada dasarnya merupakan suatu bentu/wujud yang tadinya tidak ada menjadi ada, karena upaya dan atau rekayasa, sedangkan pengembangan berasal dari kata “kembang” yang memberikan gambaran adanya perubahan berdasarkan ukuran dari kecil menjadi lebih besar, berbeda halnya dengan makna pengelolaan yang berasal dari kata “kelola” yang berarti suatu bentuk upaya dari serangkaian kegiatan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, upaya kegiatan dan pengawasan, untuk tujuan penyelamatan, pelestraian, pengendalian, dan pemanfaatan secara optimal terhadap hasil-hasil pembangunan hutan kota. Dengan demikian pembangunan, pengembangan dan pengelolaan hutan kota secara operasional merupakan tindakan untuk mewujudkan bentuk hutan di wilayah perkotaan, karena tujuan peranan fungsinya dikembangkan berdasarkan luas dan penyebarannya, yang dirancang dan dikelola untuk tujuan penyelamatan, pelestarian dan pengedaliannya.
Berdasarnya penyebarannya hutan kota merupakan kawasan penyangga wilayah resapan air tanah pada daerah kikisan; penyangga intrusi air laut pada wilayah endapan dan muara sungai, dan sangat efektif sebagai perlindungan kawasan sempadan sungai (bantaran), sempadan pantai dan atau penyangga kawasan tandon air. Besaran luas hutan kota diperhitungkan berdasarkan konsepsi keseimbangan alam di lingkungan perkotaan, yang diformulasikan dari persamaan proses fotosintesa, dimana luasan hutan kota dalam kemampuannya untuk mengabsorsi C02 dan menghasilkan O2 (oksigen) untuk kepentingan penghuni masyarakat perkotaan. Untuk keperluan luas hutan kota di wilayah kota - kota besar dengan patokan bahwa setiap 1.000 penduduk diperlukan luasan hijau 0,825 ha. Dengan jumlah penduduk 11,2 juta jiwa (Estimasi 1999), maka luas hutan kota yang diperlukan (11,2 juta/1.000) X 0,825 = 9.240 ha (14,21% dari luas daratan kota - kota besar), yang tersebar pada beberapa kawasan konservasi seperti uraian di atas.
Arah kebijakan pembangunan hutan kota, mencakup dua tatanan yaitu: (a) aspek legal pembangunan dan (b) tahapan pembangunan hutan kota, yang secara rinci diuraikan sebagai berikut :
Aspek Legal Pembangunan Hutan Kota
Berdasarkan ungkapan-ungkapan dimuka, yaitu kenyataan adanya permintaanpermintaan nyata akan hutan-hutan kota, serta pemikiran pendekatan-pendekatan dan keadaan sikon fisik wilayah kota - kota besar, pembangunan hutan-hutan kota harus bertolak (terliput) dalam “kerangka lingkungan Masterplan berdasar-kan masing - masing RTRW 2010”. Hal ini dimaksudkan bahwa pembangunan hutan kota berpijak dan merupakan bagian dari subsistem dari ruang terbuka hijau (RTH). Untuk itu dalam pembangunannya harus bertolak dengan terlebih dahulu mempersiapkan kerangka landasan kokoh yang merupakan arah dasar kebijakan pembangunan hutan kota, yang meliputi :
Berdasarkan landasan hukumnya, pembangunan hutan kota pada hakekatnya meliputi :
Tahapan Operasional Pembangunan Hutan Kota
Menyadari bahwa pembangunan hutan kota di kota - kota besar pada dasarnya merupakan prioritas terakhir setelah pembangunan kawasan hijau dalam bentuk taman dan keindahan kota, dan budidaya pertanian. Namun demikian, keterbatasan aset Pemda di kota - kota besar, tingginya harga tanah, dan semakin terdesaknya kawasan hijau budidaya pertanian, serta berdasarkan simulasi nilai-nilai konservasi jasa bio-hiro-ekologis ketiga bentuk kawasan hijau, untuk itu membangun hutan kota merupakan aplikasi pemba-ngunan kawasan hijau yang dinilai paling efektif dibanding dengan dua bentuk pembangunan kawasan hijau taman dan budidaya pertanian.
Dengan demikian jelas bahwa pembangunan hutan kota pada dasarnya merupakan gagasan baru untuk menjawab tantangan keternatasan aset lahan dan tingginya harga tanah. Dalam implentasinya pembangunan hutan kota harus ditempuh atas dasar tahapan-tahapan yang rasional, dan meliputi (a) tahap pra kondisi, (b) tahapan pelaksanaan, dan (c) tahapan umpan balik untuk penyempurnaan.
Pada tahapan pra-kondisi, seperti telah dikemukakan terdahulu, mencakup penyelesaian hukum, penyediaan lahan dan penyusunan aparatur. Oleh karena hutan kota merupakan sub-sistem dari RTH, maka landasan hukum harus merupakan pengisian dari Perda No. 6 Tahun 1999, tentang RTRW 2010. Penyediaan lahan, harus didahului dengan pengamatan dan penelusuran informasi dasar, yang pada akhirnya bermanfaat dalam pengukuhan yuridis kawasan dan atau konversi. Demikian halnya dengan pembentukan aparatur yang akan menangani program hutan kota, juga memerlukan prakondisi dalam wujud pengertian dan pemahaman arti pentingnya pembangunan hutan kota bagi isntasi terkait dan atau pihak-pihak Institusional pemilik lahan.
Semua tahapan dan kegiatan pada lingkup pra kondisi disadari tidak akan dapat seselai dalam satu dua tahun, dan konsekwensinya tinggal landas program yang didasari suatu perencanaan definitif akan memerlukan jangka waktu. Walaupun kegiatan-kegiatan pra kondisi pada hakekatnya dapat dipandang juga sebagai kegiatan program, sebenarnmya aktivitas nyata tahapan pelaksanaan di lapang umumnya telah dimulai pembangunannya. Meningkatnya suatu kegiatan dalam pembangunan hutan kota, sangat dipengaruhi
oleh proses umpan balik. Oleh karena itu proses umpan balik menjadi kegiatan terprogram yang diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan penelitian, pengembangan, penataran dan lain sebagainya. Walaupun proses umpan balik merupakan tahapan terakhir, akan tetapi dalam kenyataannya berlangsung secara simultan.
Arahan Kebijaksanaan Pengembangan Hutan Kota
Arah kebijakan pengembangan hutan kota, mencakup tiga tatanan yaitu (a) landasan pengembangan, (b) aspek legal kebijakan pengembangan, dan (c) jalur-jalur pengembangannya yang secara rinci diuraikan sebagai berikut : Landasan Pengembangan
Azas kelestarian dan tujuan manfaat serbaguna, pada dasarnya merupakan acuan program pembangunan dan pengembangan hutan kota. Azas dan tujuan dimaksud bersifat universal dan merupakan azas dan tujuan pembangunan nasional, dan merupakan acuan dasar dalam pembangunan hutan kota di kota - kota besar.
Dukungan dan partisipasi masyarakat, kesadaran Institusional, niat kesungguhan Pemda di kota - kota besar, dan aplikasi pemberdayaan program pembangunan kawasan hijau pada dasarnya merupakan landasan pengembangan hutan kota di kota -kota besar.
Aspek Legal Kebijakan Pengembangan
Landasan hukum pengembangan hutan kota, meliputi kebijaksanaan Na-sional, kebijaksanaan umum, kebijaksanaan teknis dan kebijaksanaan daerah, yang secara rinci diuraikan sebagai berikut :
(1). Kebijaksanaan Nasional Landasan hukum kebijaksanaan nasional dalam pengembangan hutan kota, adalah:
- Hasil pengukuran dan atau pemantauan terhadap beberapa parameter lingkungan fisik kritis di kota - kota besar, yang telah dikaji lebih jauh memperlihatkan tingkat pencemaran sebagai berikut :
- Cemaran rata-rata udara oleh gas carbon dioksida (CO2) rata - rata menunjukan angka 300 mg/m3, cemaran timbal (Pb) rata - rata 400 mg/m3, tingkat kebisingan 43 dB, dan kadar debu rata - rata 433 mg/m3, serta meningkatnya kutub-kutub panas kota (suhu udara) rata - rata dari 29,30C menjadi 30,10C, dimana nilai (angka) tersebut telah mendekati ambang batas kenyamanan di lingkungan perkotaan.
- Luas bangunan betonan dan aspal penutup tapak rata - rata 53,7% dari seluruh luas kota - kota besar dan cenderung semakin meningkat dengan tumbuh berkembangnya tingkat ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Demikian halnya dengan hilangnya pepohonan di daerah pinggiran kota, karena terdesaknya penggunaan tanah untuk kepentingan bangunan perumahan, yang luasnya mencapai sekitar rata - rata 670 ha pada dekade tahun 1998-2004.
- Luasnya genangan banjir, sebagai akibat terdegradasinya kawasan resapan air di daerah hulu aliran sungai yang melintas ke wilayah kota - kota besar, serta pendangkalan akibat polusi sampah plastik (960 ton/tahun), maupun pendangkalan 24 situ-situ di wilayah kota - kota besar.
Upaya pengendalikan lingkungan fisik kritis di wilayah ota - kota besar, pada hakekatnya telah diupayakan. Pada tahun 1970-an, upaya tersebut diwujudkan melalui gerakan penghijauan kota. Sekitar tahun 1980-an, Dinas Pertamanan di kota - kota besar memprogramkan pembangunan jalur hijau dan pertamanan kota, sedangkan Dinas Kehutanan di kota - kota besar mulai menerapkan program pembangunan dan pengembangan hutan kota. Periode berikutnya tahun 1993, muncul dengan nama gerakan penghijauan sejuta pohon, dan program penghijauan Sadpraja yang diprakarsai oleh Badan Dampak Pengendalian Lingkungan Hidup kota - kota besar di tahun 1993, muncul dengan nama gerakan penghijauan sejuta pohon, dan program penghijauan Sadpraja yang diprakarsai oleh Badan Dampak Pengendalian Lingkungan Hidup di kota - kota besar. Walaupun demikian, hasil-hasil yang dicapai, dinilai belum dapat memenuhi tuntutan dan harapan bagi pengelola sendiri maupun oleh masyarakat secara luas.
Sementara itu, penerapan rencana umum tata ruang (RUTR) 1985-2005 di kota - kota besar, pada hakekatnya mengatur dua aspek pokok yaitu pengaturan dan pengendalian ruang terbangun (build up area), maupun pengembangan ruang terbuka hijau (RTH). Diproyeksikannya RTH dalam pembangunan di kota - kota besar, berpijak pada kondisi alamiah nyata, hingga lebih menyakinkan kesadaran warga kota akan arti pentingnya upaya pembenahan lingkungan hidup di wilayahnya, melalui pemberdayaan pepohonan untuk mengatasi dan mengendalikan fenomena lingkungan krisis. Hal tersebut dilakukan mengingat bahwa potensi dan peluang pepohonan mampu memberikan jasa-jasanya secara lestari melalui fungsi bio-eko-hidrologisnya. Dalam pada itu, konsep pembangunan tata hijau dalam bentuk hutan kota, merupakan salah satu upaya pendekatan yang dinilai sangat tepat untuk dikembangkan, yang dijamin keberadaannya dalam penataan ruang pembangunan kota - kota besar.
Bangkitnya pembangunan hutan kota di kota - kota besar, pada awalnya diprakarsai oleh DinasKehutanan kota - kota besar sejak tahun 1986, atau tepatnya tanggal 24 Prebuari 1986, dengan diresmikannya pusat pembibitan (persemaian) hutan kota di kawasan hutan kota kampus Universitas di kota - kota besar, oleh Menteri Kehutanan Dr. Soedjarwo. Selama kurun waktu 20 tahun, pembangunan hutan kota di Provinsi kota - kota besar di bawah binaan dan pengelolaan Dinas Pertanian dan Kehutanan, telah mencapai luas rata - rata 412,5 ha yang tersebar di seluruh wilayah kota - kota besar.
Kota Hutan kota (urban forestry), pada hakekatnya merupakan hutan baik yang dipertahankan dan atau dibangun di wilayah perkotaan, hingga membentuk tegakan vegetasi berkayu, beserta semak dan tumbuhan bahwahnya, dan merupakan satuan ekologik terkecil yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi penduduk perkotaan dalam kegunaankegunaan proteksi dan atau penyangga kenyamanan lingkungan, estetika dan rekreasi, serta kegunaan khusus lainnya. Segala hal yang berkaitan dengan hutan kota disebut “program hutan kota” (urban forestry).
Kegunaan proteksi hutan kota disebabkan karena peranan jasa fungsi bio-hidroekologisnya. Sedangkan kegunaan estetika dan rekreasi, memberikan kenyamamanan, menciptakan keindahan nilai-nilai kotras lingkungan perkotaan, serta merupakan habitat sisa - sisa kehidupan satwa liar di wilayah perkotaan.
Kriteria satuan-satuan luas hutan kota, sekurang-kurangnya 0,25 ha dengan kerapatan tumbuhan sekurang-kurangnya 10% (equivalen jarak tanam 10 X 10 meter) atau 100 pohon besar/ha, ditambah dengan hamparan semak dan tumbuhan bawah setelah membentuk tegakkan. Makna pembangunan berasal dari “bangun” yang pada dasarnya merupakan suatu bentu/wujud yang tadinya tidak ada menjadi ada, karena upaya dan atau rekayasa, sedangkan pengembangan berasal dari kata “kembang” yang memberikan gambaran adanya perubahan berdasarkan ukuran dari kecil menjadi lebih besar, berbeda halnya dengan makna pengelolaan yang berasal dari kata “kelola” yang berarti suatu bentuk upaya dari serangkaian kegiatan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, upaya kegiatan dan pengawasan, untuk tujuan penyelamatan, pelestraian, pengendalian, dan pemanfaatan secara optimal terhadap hasil-hasil pembangunan hutan kota. Dengan demikian pembangunan, pengembangan dan pengelolaan hutan kota secara operasional merupakan tindakan untuk mewujudkan bentuk hutan di wilayah perkotaan, karena tujuan peranan fungsinya dikembangkan berdasarkan luas dan penyebarannya, yang dirancang dan dikelola untuk tujuan penyelamatan, pelestarian dan pengedaliannya.
Berdasarnya penyebarannya hutan kota merupakan kawasan penyangga wilayah resapan air tanah pada daerah kikisan; penyangga intrusi air laut pada wilayah endapan dan muara sungai, dan sangat efektif sebagai perlindungan kawasan sempadan sungai (bantaran), sempadan pantai dan atau penyangga kawasan tandon air. Besaran luas hutan kota diperhitungkan berdasarkan konsepsi keseimbangan alam di lingkungan perkotaan, yang diformulasikan dari persamaan proses fotosintesa, dimana luasan hutan kota dalam kemampuannya untuk mengabsorsi C02 dan menghasilkan O2 (oksigen) untuk kepentingan penghuni masyarakat perkotaan. Untuk keperluan luas hutan kota di wilayah kota - kota besar dengan patokan bahwa setiap 1.000 penduduk diperlukan luasan hijau 0,825 ha. Dengan jumlah penduduk 11,2 juta jiwa (Estimasi 1999), maka luas hutan kota yang diperlukan (11,2 juta/1.000) X 0,825 = 9.240 ha (14,21% dari luas daratan kota - kota besar), yang tersebar pada beberapa kawasan konservasi seperti uraian di atas.
Arah kebijakan pembangunan hutan kota, mencakup dua tatanan yaitu: (a) aspek legal pembangunan dan (b) tahapan pembangunan hutan kota, yang secara rinci diuraikan sebagai berikut :
Aspek Legal Pembangunan Hutan Kota
Berdasarkan ungkapan-ungkapan dimuka, yaitu kenyataan adanya permintaanpermintaan nyata akan hutan-hutan kota, serta pemikiran pendekatan-pendekatan dan keadaan sikon fisik wilayah kota - kota besar, pembangunan hutan-hutan kota harus bertolak (terliput) dalam “kerangka lingkungan Masterplan berdasar-kan masing - masing RTRW 2010”. Hal ini dimaksudkan bahwa pembangunan hutan kota berpijak dan merupakan bagian dari subsistem dari ruang terbuka hijau (RTH). Untuk itu dalam pembangunannya harus bertolak dengan terlebih dahulu mempersiapkan kerangka landasan kokoh yang merupakan arah dasar kebijakan pembangunan hutan kota, yang meliputi :
- landasan hukum sebagai jaminan yuridis bagi pelaksanaan fungsinya,
- penyediaan lahan, termasuk dalam alokasi penataannya serta informasi dasar kondisi fisik wilayahnya,
- penyusunan aparatur yang sesuai dengan ketatalaksanaanya, dan didukung oleh tenaga-tenaga profesional yang memadai.
Berdasarkan landasan hukumnya, pembangunan hutan kota pada hakekatnya meliputi :
- Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria,
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 yang disempurnakan melalui Rancangan Undang-undang Tentang Kehutanan Tahun 1999,
- Undang-undang No.4 tahun 1982, tentang Pokok Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,
- Undang-undang No. 22 tahun 1990, tentang Rencana Tata Ruang Nasional,
- Keputusan Presiden tahun 1992; tentang penghijauan kota,
- Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah,
- Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota, (I). Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau,
- Undang-undang No. 22 Tahun 1999, tentang Peraturan Daerah (Otonomi Daerah)
Tahapan Operasional Pembangunan Hutan Kota
Menyadari bahwa pembangunan hutan kota di kota - kota besar pada dasarnya merupakan prioritas terakhir setelah pembangunan kawasan hijau dalam bentuk taman dan keindahan kota, dan budidaya pertanian. Namun demikian, keterbatasan aset Pemda di kota - kota besar, tingginya harga tanah, dan semakin terdesaknya kawasan hijau budidaya pertanian, serta berdasarkan simulasi nilai-nilai konservasi jasa bio-hiro-ekologis ketiga bentuk kawasan hijau, untuk itu membangun hutan kota merupakan aplikasi pemba-ngunan kawasan hijau yang dinilai paling efektif dibanding dengan dua bentuk pembangunan kawasan hijau taman dan budidaya pertanian.
Dengan demikian jelas bahwa pembangunan hutan kota pada dasarnya merupakan gagasan baru untuk menjawab tantangan keternatasan aset lahan dan tingginya harga tanah. Dalam implentasinya pembangunan hutan kota harus ditempuh atas dasar tahapan-tahapan yang rasional, dan meliputi (a) tahap pra kondisi, (b) tahapan pelaksanaan, dan (c) tahapan umpan balik untuk penyempurnaan.
Pada tahapan pra-kondisi, seperti telah dikemukakan terdahulu, mencakup penyelesaian hukum, penyediaan lahan dan penyusunan aparatur. Oleh karena hutan kota merupakan sub-sistem dari RTH, maka landasan hukum harus merupakan pengisian dari Perda No. 6 Tahun 1999, tentang RTRW 2010. Penyediaan lahan, harus didahului dengan pengamatan dan penelusuran informasi dasar, yang pada akhirnya bermanfaat dalam pengukuhan yuridis kawasan dan atau konversi. Demikian halnya dengan pembentukan aparatur yang akan menangani program hutan kota, juga memerlukan prakondisi dalam wujud pengertian dan pemahaman arti pentingnya pembangunan hutan kota bagi isntasi terkait dan atau pihak-pihak Institusional pemilik lahan.
Semua tahapan dan kegiatan pada lingkup pra kondisi disadari tidak akan dapat seselai dalam satu dua tahun, dan konsekwensinya tinggal landas program yang didasari suatu perencanaan definitif akan memerlukan jangka waktu. Walaupun kegiatan-kegiatan pra kondisi pada hakekatnya dapat dipandang juga sebagai kegiatan program, sebenarnmya aktivitas nyata tahapan pelaksanaan di lapang umumnya telah dimulai pembangunannya. Meningkatnya suatu kegiatan dalam pembangunan hutan kota, sangat dipengaruhi
oleh proses umpan balik. Oleh karena itu proses umpan balik menjadi kegiatan terprogram yang diwujudkan melalui kegiatan-kegiatan penelitian, pengembangan, penataran dan lain sebagainya. Walaupun proses umpan balik merupakan tahapan terakhir, akan tetapi dalam kenyataannya berlangsung secara simultan.
Arahan Kebijaksanaan Pengembangan Hutan Kota
Arah kebijakan pengembangan hutan kota, mencakup tiga tatanan yaitu (a) landasan pengembangan, (b) aspek legal kebijakan pengembangan, dan (c) jalur-jalur pengembangannya yang secara rinci diuraikan sebagai berikut : Landasan Pengembangan
Azas kelestarian dan tujuan manfaat serbaguna, pada dasarnya merupakan acuan program pembangunan dan pengembangan hutan kota. Azas dan tujuan dimaksud bersifat universal dan merupakan azas dan tujuan pembangunan nasional, dan merupakan acuan dasar dalam pembangunan hutan kota di kota - kota besar.
Dukungan dan partisipasi masyarakat, kesadaran Institusional, niat kesungguhan Pemda di kota - kota besar, dan aplikasi pemberdayaan program pembangunan kawasan hijau pada dasarnya merupakan landasan pengembangan hutan kota di kota -kota besar.
Aspek Legal Kebijakan Pengembangan
Landasan hukum pengembangan hutan kota, meliputi kebijaksanaan Na-sional, kebijaksanaan umum, kebijaksanaan teknis dan kebijaksanaan daerah, yang secara rinci diuraikan sebagai berikut :
(1). Kebijaksanaan Nasional Landasan hukum kebijaksanaan nasional dalam pengembangan hutan kota, adalah:
- Undang-Undang Dasar 1945, pasal 33 ayat 2 menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, dan dalam ayat 3 bahwa bumi dan air, serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergu-nakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Hutan sebagai salah satu kekayaan alam dengan keanekaragaman fungsinya yang menyangkut hajat hidup orang banyak, harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
- Undang-undang No. 5 Tahun 1990, tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, pasal 15 menyatakan bahwa: Memelihara tanah termasuk memelihara kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban pada setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak ekonomis lemah.
- Undang-undang No. 41 Tahun 1997, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, pasal 5 ayat 2 menyatakan bahwa : Menetapkan dan mengatur perencanaan, penyediaan dan penggunaan hutan, sesuai dengan fungsinya, dalam memberikan manfaat dan Negara. Mengatur pengurusan hutan dalam arti luas. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan hukum mengenai hutan.
- Undang-undang No. 4 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem, bab-I pasal 1 ayat 15 yang menyebutkan bahwa Taman hutan raya dan atau satwa yang alami atau penangkaran (buatan), jenis asli dan atau bukas asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, parawisata dan rekreasi.
- Setiap hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut.
- Dalam rangka perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pemerintah mengatur serta melakukan tindakan penertiban terhadap penggunaan dan pengolahan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang terletak dalam wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud dalam pasal-8.
Peraturan Pemerintah
Sebelum Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2001, tentang hutan kota, kebijakan umum juga telah dilontarkan melalui pidato Presiden pada Acara Puncak Penghijauan Nasional ke-30, pada tanggal 17 Desember 1988 di Ngatabaru, Sulawesi Tengah, Dalam ajuran tersebut ditekankan Agar di kota-kota dapat dibangun hutan kota serta dilaksanakan penghijauan di sepanjang pantai, dan kanan-kiri alur sungai sebagai penyangga lingkungan, sebagai dasar tindak lanjut terhadap ketetapan Kepres 32 tahun 1990, tentang pengelolaan kawasan lindung.
Kebijaksanaan Teknis
- Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988, tentang Penempatan Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan, yang intinya antara lain :
- Merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan penyelenggaraan penataan ruang terbuka hijau (RTH), sebagai tindak lanjut pelaksanaan rencana umum tata ruang (RUTR) kota di ibukota propinsi atau kotamadya.
- Bagi kota-kota yang telah memiliki rencana RTH, supaya menyesuaikan dengan prioritas untuk kawasan hijau hutan kota dan kawasan hijau rekreasi kota.
- Melaksanakan pengelolaan dan pengendalian dalam rangka meningkatkan fungsi dan peranan RTH, dengan melarang atau membatasi penggunaan untuk kepentingan lain.
- Keputusan Bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Dalam Negeri No. 679.A/Kpts- V/1989 Tahun 1989, tentang Penghijauan Nasional yang bertujuan untuk lebih meningkatkan peran serta dan tanggung jawab masyarakat dalam memperbaiki, mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya alam, hutan, tanah dan air, serta lingkungan hidup.
Kebijaksanaan Daerah
(a). Kehutanan
Pembangunan kehutanan diarahkan untuk menjaga dan memelihara ekosistem sumberdaya alam hayati dalam rangka meningkatkan fungsi tanah, air, udara, iklim dan lingkungan hidup, memberikan manfaat serta meningkatkan kelancaran dan ketertiban tata niaga kayu dan hasil hutan lainnya yang masuk ke kota - kota besar, sehingga terjamin penyediaan kayu. Kegiatan penyuluhan, pendidikan, pelatihan dan pengelolaan sumber informasi dalam kaitannya dengan pembangunan hutan wilayah perkotaan.
(b).Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup
(1). Pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup diarahkan untuk mewujudkan keserasian antara kegiatan manusia dan ekosistem pendukungnya, sehingga tercipta kota - kota besar yang indah, sehat, nyaman, bersih dan menarik sebagai tempat mencari nafkah dan hunian. Kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup diwujudkan melalui kegiatan pembangunan yang berwawasan lingkungan, peningkatan budaya dan sadar lingkungan dengan penghijauan dan keindahan kota, peningkatkan kebersihan kota dengan berperan aktifnya masyarakat, mengendalikan kualitas air, tanah, udara dan lingkungan hidup, serta mengamankan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata dan taman laut.
(2). Air dan tanah mempunyai nilai ekonomis dan fungsi sosial, pemanfaatannya diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi, bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat, melalui berbagai penggunaan baik untuk keperluan pemukiman, industri, perdagangan dan jasa maupun sarana dan prasarana lainnya. Tata guna tanah dan air, diselenggarakan secara terpadu, hingga menjamin kelestarian fungsi dan lingkungan hidup.
(3). Pembinaan pelestarian dan pembangunan hutan kota diarahkan untuk menjaga fungsinya sebagai pengendali ekosistem, memelihara keseimbangan tata air dan tanah serta mengurangi atau mengendalikan polusi.
(c). Rencana Strategis Pengelolaang Terbuka Hijau
Rencana strategis pembangunan RTH tahun 1992-1997 di kota - kota besar yang telah dilakukan melalui Keputusan Gubernur kota - kota besar, pada dasarnya merupakan pedoman umum penyelenggaraan program-program prioritas strategis selama 5 tahun, secara hierarhi mulai dari tingkat propinsi sampai tingkat kelurahan Rencana ini merupakan suatu alat untuk memacu penyelenggaraan seluruh program - program pembangunan dan kemasyarakatan di Jakarta. Salah satu program kegiatan prioritas dalam rencana strategis tersebut adalah program kebersihan dan penghijauan. Berkaitan dengan program penghijauan, lebih dipacu terhadap pembangunan hutan kota, guna meningkatkan daya dukung tata ruang dan lingkungan hidup kota - kota besar.
(d). Sinkronisasi Pelaksana Program Penghijauan Terpadu
(1). Sinkronisasi pelaksanaan program penghijauan dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan hidup, peningkatan produktivitas lahan perkotaan, dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta peluang bekerja dan berusaha, dilakukan secara terpadu dibina oleh dinas teknis terkait (wewenang pengelolaan) di lingkungan Pemda kota - kota besar mulai dari tingkat pusat sampai ke Kelurahan, dan masyarakat itu sendiri.
(2). Secara Garis besar organisasi pelaksanaan program penghijauan dan hutan kota, baik di tingkat pusat maupun daerah (Kotamadya, Kecamatan dan Kelurahan), menjadi tanggung jawab dan diatur oleh masing-masing dinas teknis terkait.
Jalur-jalaur Pengembangan
Gagasan pengembangan RTH di kota - kota besar dapat dikatakan disebabkan oleh dua dorongan utama yaitu:
(a) kebutuhan akan manfaat yang multiguna dari keberadaan RTH yang terasa semakin meningkat, dan (b) semakin terdesaknya kawasan hijau oleh tumbuh berkembangnya wilayah perkotaan.
Faktor pendukung dalam mewujudkan pembangunan dan pengembangan RTH di kota - kota besar, terlihat jelas dari kesinambungan pembangunan kawasan tata hijau, keyakinan dan tekat Pemda, tumbuh berkembangnya kesadaran masyarakat dan kesadaran institusional yang secara rinci diuraikan sebagai berikut:
(1). Kemantapan Tekat Pemda di Kota - Kota Besar
Uraian gerakan-gerakan penghijauan di kota - kota besar dimuka mengungkapkan betapa besar keyakinan Pemerintah di kota - kota besar akan perlunya usaha-usaha pembangunan kawasan hijau. Keyakinan itu tercermin dalam banyak langkah yang mengusahakan agar penghijauan senantiasa tidak diabaikan dalam kegiatan-kegiatan yang menyangkut tanah dan air.
Disandangnya gelar Jakarta sebagai kota tropis dunia, menjadi tantangan baik bagi pemerintah pusat maupun daerah, untuk lebih berperan dalam mewujudkan pembangunan dan pengembangan RTH.
(2). Kesinambungan Gerakan Penghijauan
Berbagai upaya Pemerintah DKI Jakarta dalam mewujudkan pembangunan kawasan hijau, telah dimulai sejak dekade tahun 1970-an. Awal kegiatannya dikenal dengan nama “Gerakan Penghijauan Kota”. Dalam kiprahnya memprioritaskan Jakarta Hijau, melalui pembudidayaan jenis-jenis cepat tumbuh seperti angsana (Pterocarpus sp) dan pilang (Acacia auriculiformis).
Periode tahun 1975-an, dikenal dengan “Program Hijau Pertamanan Kota” dan diteruskan dengan “Gerakan Memasyarakatkan Keindahan, Kebersihan, dan Keteduhan Lingkungan Hidup” (GMK3LH), pada tahun 1980-an. Gerakan ini diperdayakan melalui bentuk-bentuk perlombaan pertamanan kota, pameran hortikultura, dan anjuran kepada masyarakat untuk menggalakan budidaya tanaman bunga. Pada periode tahun 1984, upaya pembangunan kawasan hijau muncul dengan istilah “Pembangunan di Kota Kota Besar Berwawasan Lingkungan”. Salah satu programnya yang cukup menonjol adalah pembangunan tata hijau dalam bentuk “Hutan Kota”.
(3). Kesadaran Institusional
Kesadaran akan program Pembangunan dan Pengembangan RTH di kota - kota besar telah tumbuh dan berkembang yang pengeloaannya oleh dinas teknis dalam lingkungan Pemda di kota - kota besar (Dinas Kehutanan, pertamanan, pertanian, olah raga, pemakaman dan pariwisata) dan juga di antara beberapa lembaga.
(4). Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat
Terbentuknya institusi Kantor Menteri Lingkungan Hidup, mulai muncul ditengahtengah masyarakat kelompok-kelompok yang menaruh perhatian kepada penghijauan kota dan masalah-masalah lingkungan pada umumnya. Kelompok-kelompok itu yang kini dikenal sebagai lembaga-lembaga swadaya organisasi masyarakat (LSM), walaupun sebelumnya telah dikenal seperti misalnya Wanadri (Bandung), Mapala UI (Jakarta) dan Dian Desa (Yogyakarta).
Arahan Kebijakan Pengelolaan Hutan Kota
Arah kebijakan pengelolaan hutan kota, mencakup lima tatanan yaitu (a) perencanaan pembangunan hutan kota, (b) organisasi pengelolaan hutan kota, (c) implentasi pembangunan hutan kota, (d) evaluasi dan monotoring, dan (e) pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan hutan kota yang secara rinci diuraikan sebagai berikut :
Perencanaan Pembangunan Hutan Kota
Dalam perencanaan hutan pada umumnya, berdasarkan tatanan waktu dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu (a) Rencana Jangka Panjang, (b) rencana jangka menengah, dan (c) rencana jangka pendek (tahunan). Dengan demikian atas dasar acuan di atas, kegiatan pemeliharaan hutan kota dapat juga disusun berdasarkan tatanan jangka waktunya.
A. Rencana Jangka Panjang
Rencana jangka panjang pembangunan hutan kota, pada dasarnya merupakan strategi dan aplikasi pembangunan yang dituangkan dalam bentuk misi dan visi masingmasing unit lokasi hutan kota, sesuai dengan peranan fungsi yang hendak diwujudkan. Berdasarkan tatanan waktunya disusun dan dievaluasi setiap 10 tahunan.
B. Rencana Jangka Menengah
Rencana jangka menengah pembangunan hutan kota, pada hakekatnya merupakan penjabaran rencana jangka panjang, yang dirancang berdasarkan alokasi jangka waktu setiap periode lima tahunan.
C. Rencana Jangka Pendek
Rencana jangka pendek pembangunan hutan kota, pada hakekatnya merupakan penjabaran rencana jangka menengah, yang dirancang berdasarkan alokasi jangka waktu periode tahun anggaran berjalan (tahunan).
Implementasi Pembangunan Hutan Kota
A. Perencanaan
Rencana Karya Tahunan (tahun anggran), disusun 3-4 bulan sebelum tahun anggaran baru, yang merupakan uraian dan penjabaran rincian kegiatan dalam RASK, serta memuat semua realisasi kegiatan yang telah dilakukan dalam curun waktu Lima Tahunan, dan atau rencana kegiatan tahun anggaran mendatang.
B. Pembibitan
Aktivitas dalam unit pembibitan setiap tahunnya ada dua kegiatan, yaitu (a) menyiapkan bibit untuk tahun anggaran mendatang (T-1), dan (b) mendistribusikan bibit pada anggaran berjalan (T=0). Kegiatan pembibitan (T=0), diran-cang dan disesuaikan dengan rencana operasional (RO), yang dirinci menurut jumlah bibit, berdasarkan lokasi proyek, (b).Kegiatan (T-1), menyiap kan bibit untuk tahun anggaran mendatang yang dirinci berdasar lokasi dan jumlah bibit yang diperlukan.
C. Penyiapan Lahan Tanam
Penyiapan lahan tanam, pada dasarnya merupakan perlakuan terhadap tapak hutan kota, hingga jenis tanaman yang dibudidayakan akan mempu tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi tapaknya. Penyiapan lahan tanam dapat dilakukan dengan cara (a) pengolahan tanah (fisik), (b) cara kimia (herbisida), dan (c) kombinasi fisik kimia. Pengolahan tanah secara fisik dapat dilakukan dengan pentraktoran, dan atau dengan cara cemplongkan (mempersiapkan lahan tanam) secara terbatas untuk letak pohon yang ditanam. Cara kimia dilakukan dengan menggunakan jenis herbisida khususnya untuk lahan alang-alang dan atau rerumputan yang lebat; jenis herbisida yang umum digunakan adalah RuudUP dan atau Dowpond, sedangkan cara kombinasi sering dimanfaatkan untuk penyiapan lahan cara strip/jalur dan atau berdasarkan lokasi-lokasi lubang tanaman.
D. Penanaman
Penanaman dilakukan pada saat waktu turun hujan, atau keadaan tanah cukup basah. Sebelum kegiatan penamanan dilakukan, hal-hal yang diperhatikan mencakup:
(1). Jenis yang ditanam sesuai dengan rencana operasional, sedangkan perubahan jenis merupakan catatan dalam reevaluasi rencana pembangunan hutan kota.
(2). Pada saat penanaman, ajir untuk menentukan jarak tanam telah disiapkan, demikian halnya dengan lubang tanaman dan penambahan unsur hara mineral (pupuk kimia) dan atau pupuk organik.
E. Pemeliharaan
Implementasi pelaksanaan program pemeliharaan hutan kota, dibedakan menjadi dua kegiatan yaitu (a) pemeliharaan tegakkan, dan (b) evaluasi dan monitoring. Kegiatan pemeliharaan berdasarkan umur tanaman, dikelompokan menjadi dua bagian yaitu pemeliharaan tanaman muda, dan tegakkan :
(1). Pemeliharaan tanaman muda
Pemeliharaan tanaman muda meliputi aktivitas penyulaman, pemupukan, dangir, dan penyiangan yang dilakukan pada saat tanaman masih berumur kurang dari satu tahun. Setelah tanaman berumur lebih dari satu tahun hingga 3 tahun, aktivitas kegiatan mencakup pemangkasan (pembebasan secara vertikal).
(2). Pemeliharaan Tegakkan
Pemeliharaan tegakkan dimulai sejak tanaman berumur lima tahun dan seterusnya, yang meliputi kegiatan penjarangan dan atau tebang perbaikan mutu tegakkan. Kegiatan ini dilakukan apabila diperlukan berdasarkan pertimbangan lapang, dan atau keseimbangan ekosistemnya.
F. Evaluasi dan monitoring
Evaluasi dan monitoring dilakukan sejak tanaman mulai berumur satu bulan dan seterusnya, hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain:
(1). Pengamatan terhadap kemungkinan adanya serangan hama dan penyakit tanaman, baik pada tanaman muda maupun tegakkan.
(2). Evaluasi terhadap terhadap ancaman bahaya kebakaran pada waktu musim kemarau, karena ulah tangan-tangan jahil tidak bertanggung jawab.
(3). Evaluasi dan pengaturan tegakkan hingga terbentuknya strata tajuk, serta evaluasi terhadap luas kawasan hutan kota.
G. Penyelamatan, Pelestarian, dan Perlindungan
Penyelamatan dalam uraian ini dimaksudkan sebagai upaya untuk tetap mempertahankan bentuk hutan kota yang dibangun sesuai dengan peranan fungsinya, sedangkan pelestarian merupakan upaya agar bentuk-bentuk hutan kota untuk tetap mampu memberikan peranan fungsi yang berkelanjutan, berbeda halnya dengan perlindungan, pada dasarnya merupakan upaya proteksi dari berbagai ancaman yang mnenyebabkan hancur dan rusaknya pembangunan hutan kota.
Dengan demikian ketiga istilah di atas, memberikan indikasi kearah keamanan untuk tujuan perlindungan terhadap hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengamanan kawasan hutan kota ini mencakup antara lain:
(1). Melakukan monitoring secara menyeluruh terhadap kondisi fisik masing-masing unit lokasi hutan kota.
(2). Memproses setiap pelanggaran yang terjadi di lapang.
(3). Memasang rambu-rambu larangan, sebagai tindakan preventif terhadap ancaman pembangunan hutan kota.
Rancangan Pemanfaatan
A. Wahana rekreasi
Berdasarkan peranan fungsinya kawasan hutan kota dapat dimanfaatkan sebagai wahana rekreasi dan wisata, baik wisata alam maupun wisata air, atau kesegaran jasmani (joging), dan atau rekreasi kamping.
B. Pendidikan dan Pelatihan
Hutan kota sesuai dengan peranan fungsi serta upaya pengembangan dan atau koleksi jenis sesuai dengan tujuan misionalnya, dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan dan pelatihan, baik untuk pengenalan lingkungan, ekologi, dan atau pengenalan terhadap flora dan faunanya.
C. Penelitian dan pengembangan
Tidak kalah pentingnya bahwa penelitian dan pengembangan juga dapat dilakukan di kawasan-kawasan hutan kota. Berbagai penelitian (Bio-eko-hidro-logis) juga sangat bermanfaat untuk memprediksi kecenderungan lingkungan perkotaan, baik terhadap flora dan fauna, kesehatan masyarakat dan atau konsepsi-konsepsi pengembangan yang erat kaitannya dengan hasil-hasil penelitian dan pengembangannya. Kesenjangan-kesenjangan yang dijumpai dalam banyak faktor pengetahuan dasar mengenai hutan kota mendesak keperluannya untuk diatasi melalui berbagai studi. Dengan perkembangan program hutan kota, kegiatan kegiatan studi harus berkesinambungan.
Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pembangunan Hutan Kota
Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan hutan kota dimaksudkan agar keikutsertaan masyarakat berperan dalam memahami pernan fungsi hutan kota sebagai bagian dari unsur konservasi, laboratorium alam hayati, sumber genetik dan plasma nutfah, arboretum (koleksi) jenis pepohonan keragaman jenis, yang secara rinci diueraikan sebagai berikut :
A. Peranan fungsi kawasan Hutan Kota
Hutan-hutan kota, dibangun untuk tujuan konservasi baik terhadap tanah, air dan lingkungan udara kotor perkotaan. Hutan kota konservasi tanah dan air, dibangun dan dikelola pada kawasan-kawasan resapan air; penyangga situ-situ, bantaran sungai dan sempandan pantai, sedangkan hutan-hutan kota Pemukiman dibangun untuk tujuan kenyamanan, dan hutan kota kawasan Industri diarahkan untuk mengendalikan berbagai bentuk polutan yang bersumber dari industri.
B. Laboratorium alam hayati (flora dan fauna)
Hutan kota selain merupakan sumber koleksi berbagai jenis pepohonan baik yang masih banyak ditemukan, jarang dan langka, juga merupakan koleksi-koleksi jenis yang bersal dari daerah lain :
Dengan berbagai jenis yang dikembangkan, serta atas dasar luasan tertentu, maka hadirnya satwa liar juga merupakan sumber pengetahuan yang berarti. Semakin banyak pepohonan yang dikoleksi, baik atas dasar jenis maupun ekosistemnya (daerah asal), cenderung akan memacu kehadiran berbagai jenis satwa liar.
C. Plasma nutfah sumber genetik
Pepohonan hutan kota yang dikembangkan pada dasarnya merupaskan koleksi hidup sebagai sumber jenis unggul (plasma nutfah), serta sebagai sumber-sumber genetik yang bisa dikembangkan melalui bioteknologinya.
D. Arboretum dan keanekaragaman hayati
Pembangunan hutan kota, selain sebagai wahana koleksi jenis pepohonan juga merupakan koleksi pepohonan berdasarkan habitat (keanekaragaman ekosistem), juga berdasarkan genus, famili dan atau jenisnya (keanekaragaman jenis), serta berdasarkan keunggulan-keunggulan jenis atas dasar sumber genetikanya.