Di tengah isu global warming yang semakin mendunia ini, agenda-agenda penyelamatan bumi (save our earth) dari ekses-eksesnya seperti kondisi iklim yang berubah-ubah, pencairan es di kutub utara dan selatan, serta efek rumah kaca, telah menjadi agenda wajib bagi semua pemerintah di setiap negara untuk menindaklanjutinya. Hal ini semata-mata didasari pada semangat untuk menyelamatkan planet biru yang “sementara ini” merupakan tempat tinggal manusia satu-satunya. Bentuk tindak lanjut ini bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah di setiap negara. Apakah mereka benar-benar membuat dan menerapkan kebijakan lingkungannya dengan tepat, atau hanya membuat suatu kebijakan lingkungan yang ala kadarnya agar tidak dikecam oleh lingkungan internasional.
Sebagai cerminan hal di atas, bisa dilihat pada diri pemerintahan Indonesia sendiri. Indonesia sebagai salah satu negara tropis, agraris, dan maritim di dunia, diharapkan mampu banyak berkontribusi untuk menjaga kelestarian alam yang ada, terutama di negaranya terlebih dahulu. Namun sayangnya, pemerintah dalam menerapkan beberapa kebijakan lingkungannya justru membuat rakyat semakin menderita dan lingkungan menjadi tidak lestari lagi. Contohnya saja UU nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang mana UU ini melegalkan privatisasi air sehingga air tidak bisa dinikmati lagi secara gratis oleh rakyat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Selain itu juga ada UU nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang justru menyingkirkan wilayah kelola rakyat dan petambak tradisional karena dalam penerapannya pemerintah lebih memerhatikan kepentingan investor asing. Implementasi UU yang tidak benar ini pada akhirnya justru mengkhianati semangat dari diterbitkannya kebijakan lingkungan itu. Dalam membuat suatu keputusan yang terkait dengan kebijakan, seharusnya pemerintah terlebih dahulu berpikir dengan matang dampak dari keputusan yang akan diambilnya. Masukan-masukan yang didapat saat hearing dengan para akademisi, tokoh masyarakat, dan LSM, harus sungguh-sungguh diperhatikan oleh para decision maker dalam membuat suatu keputusan. Oleh karena itu, sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya bila diketahui terlebih dahulu apa yang sebenarnya dimaksud dengan kebijakan lingkungan itu, dan agar lebih memahaminya, istilah tersebut akan diuraikan satu demi satu terlebih dahulu.
Kebijakan oleh Thomas R. Dye didefinisikan sebagai apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Selanjutnya, Dye mengatakan bahwa bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka harus ada tujuannya (obyektivitasnya) dan kebijakan itu harus meliputi semua tindakan pemerintah. Jadi, bukan semata-mata keinginan pemerintah atau pejabat negara saja. Di samping itu, “sesuatu yang tidak dilakukan” oleh pemerintah akan memiliki pengaruh (dampak) yang sama besarnya dengan “sesuatu yang dilakukan” oleh pemerintah (Islamy,1988). Selain Thomas R . Dye, Amara Raksasataya mengemukakan bahwa kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Oleh karena itu, kebijakan memuat tiga elemen, yakni: 1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.
2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.
Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah lingkungan hidup karena dalam realitasnya istilah lingkungan, lingkungan hidup, atau lingkungan hidup manusia, seringkali digunakan silih berganti dalam pengertian yang sama. Sehingga dalam hal ini, lingkungan hidup itu didefinisikan sebagai:
- Daerah di mana sesuatu mahluk hidup berada keadaan atau kondisi yang melingkupi suatu mahluk hidup.
- Keseluruhan keadaan yang meliputi suatu mahluk hidup atau sekumpulan mahluk hidup, terutama: a) Kombinasi dari berbagai kondisi fisik di luar mahluk hidup yang mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan kemampuan mahluk hidup untuk bertahan hidup. b) Gabungan dari kondisi sosial and budaya yang berpengaruh pada keadaan suatu individu mahluk hidup atau suatu perkumpulan/komunitas mahluk hidup.
Jadi, berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan lingkungan adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan demi menciptakan suatu perubahan yang lebih baik terhadap kondisi yang melingkupi suatu makhluk hidup dalam mencapai kesejahteraannya. Pengaruh ini dapat dirasakan dalam jangka waktu yang cepat ataupun lama, dan kondisi yang melingkupi makhuk hidup ini tentunya meliputi kondisi fisik dan sosial.
Pendekatan Pembuatan Keputusan (Decision making) dan Dampak (Impact) dalam Kebijakan Lingkungan
Setelah mengetahui definisi kebijakan lingkungan, di bawah ini akan dijelaskan tentang pendekatan decision making dan impact dalam merumuskan suatu kebijakan lingkungan. Namun sebagai pengantarnya, akan dipaparkan terlebih dahulu berbagai karakterisitik terkait lingkungan sebagai masalah kebijakan dan beberapa kelemahan pemerintah Indonesia dalam membuat kebijakan lingkungan. Terdapat tujuh karakteristik mengapa lingkungan bisa menjadi masalah penting dalam kebijakan, yaitu:
- Publics Goods, banyak sekali sumber daya lingkungan yang dapat dideskripsikan sebagai barang publik dan memiliki dampak eksternalitas bagi masyarakat.
- Masalah lintas batas (transboundary problems), banyak kasus lingkungan yang bersifat global dan melewati batas antar negara.
- Kompleksitas dan ketidakpastian, pembuatan sebuah keputusan bisa dirintangi oleh kompleksitas dan ketidakpastian dari banyak permasalahan lingkungan. Kadangkala sangat sulit untuk mengidentifikasikan hubungan yang kompleks dan interdependen antar alam dan fenomena perbuatan manusia.
- Irreversibility, dalam arti apabila sekali saja kapasitas alam terlampaui, maka aset-aset lingkungan dapat rusak dan tidak dapat diperbaiki (karenanya harus melihat kepada tindakan pencegahan).
- Variabilitas temporal dan spasial, dampak yang ditimbulkan akan berlangsung lama dan dapat memengaruhi generasi yang akan datang dibandingkan dengan generasi saat ini (long term problems, intergenerational) karenanya kebijakan untuk memperbaiki harus dilakukan sebelum dampak negatif secara penuh dirasakan.
- Fragmentasi administratif, banyak permasalahan lingkungan lintas sektor dan membutuhkan koordinasi di antara sektor-sektor tersebut.
- Intervensi peraturan, kerusakan lingkungan biasanya merupakan legitimate, karenanya pemerintah harus melakukan intervensi di dalam kegiatan ekonomi dan masyarakat untuk mengatur aktivitas yang merusak lingkungan.
Sedangkan, kelemahan-kelemahan pemerintah Indonesia dalam membuat suatu kebijakan lingkungan antara lain:
- Kebijakan pemerintah bersifat reaktif.
- Kebijakan yang dikeluarkan hanya mengatasi masalah secara sedikit demi sedikit (piecemeal).
- Kebijakan lingkungan diperlakukan sebagai wilayah kebijakan tersendiri.
- Suatu institusi memiliki sedikit kewenangan dalam pengambilan kebijakan di sektor lainnya.
- Kurangnya koordinasi dan ruang lingkup dalam menyelesaikan permasalahan.
- End of pipe solution, kebijakan hanya untuk menangani gejala daripada penyebab.
- Regulasi administratif lebih dipilih sebagai instrumen kebijakan.
Pembuatan keputusan tentunya bukanlah pekerjaan yang mudah. Setiap administrator dituntut memiliki kemampuan, kepekaan, tanggung jawab, dan kemauan sehingga dapat membuat keputusan dengan segala resikonya, baik yang diharapkan (intended risk) maupun yang tidak diharapkan (unintended risks). Berikut ini akan dijelaskan mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pembuatan keputusan serta beberapa kesalahan umum dalam pembuatan keputusan. Beberapa faktor yang memengaruhi pembuatan keputusan itu adalah sebagai berikut:
- Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar. Seringkali administrator harus membuat keputusan karena adanya tekanan-tekanan dari luar. Tekanan-tekanan ini bisa berupa tuntutan-tuntutan dari masyarakat yang merespon dampak dari suatu keputusan terdahulu, atau bisa juga tekanan ini datang dari desakan-desakan politik di sekitar administrator.
- Adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatisme). Kebiasaan-kebiasaan lama seringkali diwarisi oleh para administrator yang baru dan mereka sering segan secara terang-terangan mengritik atau menyalahkan kebiasaan-kebiasaan lama yang telah berlaku atau yang dijalankan oleh para pendahulunya. Kebiasaan lama itu akan terus diikuti lebih-lebih bila suatu keputusan yang ada dipandang memuaskan.
- Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi. Berbagai macamkeputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya. Seperti misalnya dalam proses penerimaan atau pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor-faktor sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.
- Adanya pengaruh dari kelompok luar. Lingkungan sosial dan para pembuat keputusan juga berpengaruh terhadap pembuatan keputusan. Seperti contoh mengenai masalah pertikaian kerja, pihak-pihak yang bertikai kadangkala kurang menaruh respek pada upaya penyelesaian oleh orang dalam, tetapi keputusan-keputusan yang diambil oleh pihak-pihak yang dianggap dari luar, lebih dapat memuaskan mereka. Seringkali juga pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman-pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada di luar bidang pemerintahan.
- Adanya pengaruh keadaan masa lalu. Pengalaman pekerjaan yang terdahulu juga berpengaruh pada pembuatan keputusan. Misalnya saja orang sering membuat keputusan untuk tidak melimpahkan sebagian kewenangannya kepada orang lain karena di masa lalu ia pernah mendapatkan pengalaman buruk bila ia melimpahkan sebagian kewenangannya.
Sedangkan, Nigro dan Nigro (dalam Islamy, 1988) menyebutkan bahwa ada tujuh macam kesalahan-kesalahan umum yang sering terjadi dalam proses pembuatan keputusan, yaitu:
- Cara berpikir yang sempit (Cognitive nearsightedness)
- Adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi masa lalu (assumption that future will repeat past)
- Terlampau menyederhanakan sesuatu (oversimplification)
- Terlampau menggantungkan pada pengalaman satu orang (overreliance on one’s own experiance)
- Keputusan-keputusan yang dilandasi oleh pra-konsepsi pembuat keputusan (preconceived nations)
- Tidak adanya keinginan untuk melakukan suatu percobaan (unwillingness to experiment)
- Keengganan untuk membuat keputusan (reluctance to decide)
- Dampak kebijakan yang diharapkan (intended consequences) atau tidak diharapkan (unintended consequence) baik pada problemanya maupun pada masyarakat. Sasaran kebijakan itu perlu ditentukan terlebih dahulu, misalnya pada masyarakat miskin, petani, mahasiswa, dan sebagainya. Bila kebijakan mengenai pemberantasan kemiskinan, maka sasarannya adalah masyarakat miskin dan dampak yang diharapkan adalah meningkatnya pendapatan mereka. Tetapi, mungkin akan timbul pula dampak yang tidak diharapkan, yaitu sebagian anggota masyarakat enggan berusaha keras memeroleh lapangan pekerjaan karena lebih senang menunggu subsidi dari pemerintah dengan adanya program anti-kemiskinan.
- Adanya limbah kebijakan terhadap situasi atau orang-orang yang bukan menjadi sasaran utama dari kebijakan tersebut. Hal ini biasanya disebut dengan “externalities” atau “spillover effect”. Limbah kebijakan ini bisa bersifat positif ataupun negatif.
- Dampak kebijakan dapat terjadi atau berpengaruh pada kondisi yang akan datang. Misalnya kebijakan tentang lokalisasi pelacuran, apakah akan memiliki dampak hilangnya pelacur-pelacur gelap ataukan pada jangka panjang suatu daerah akan bebas dari kegiatan pelacuran?
- Dampak kebijakan terhadap biaya langsung atau direct costs. Menghitung biaya pembangunan frontage road di kawasan pada penduduk jauh lebih mudah dibandingkan dengan menghitung dampak-dampak sosial terhadap adanya frontage road tersebut.
- Dampak kebijakan terhadap biaya tidak langsung (indirect costs) sebagaimana yang dialami oleh anggota-anggota masyarakat. Seringkali biaya seperti ini jarang dinilai karena sulitnya hal tersebut dikuantifikasikan. Misalnya saja begitu sulit mengukur keresahan sosial sebagai akibat adanya kebijakan pembangunan perkotaan.