Proses globalisasi membawa efek yang sangat signifikan yaitu membuat dunia ini seperti seakan tanpa batas (“borderless”), hal ini membuat keterkaitan antar negara, antar kota maupun antar bangsa menjadi semakin erat, terjalin dalam suatu ikatan kerjasama, bahkan sering kita mendengar adanya kerjasama antar pemerintah kota (”sister city”) seperti antara Pemerintah Kota DKI Jaya dengan Pemerintah Kota Tokyo dan sebagainya. Seiring dengan proses globalisasi tersebut kita melihat bahwa perkembangan kota-kota di Indonesia tidak dapat terlepas dari perkembangan ekonomi global, dengan demikian perlu kiranya diantisipasi bahwa pola perkembangan kota-kota di Indonesia akan terpengaruh/dipengaruhi oleh situasi dan kondisi global tersebut, jumlah kota besar akan bertambah banyak dan wilayah kota semakin melebar dan mendesak daerah-daerah pinggiran kota.
Efek tersebut baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada perkembangan kota-kota besar di Indonesia seperti : Jabodetabek, Bandung Raya, Kedungsepur (Semarang dsk), Gerbangkertasusila (Surabaya dsk), Mebidang (Medan dsk), Palembang, Mamminasata (Makassar dsk) dan Sarbagita (Denpasar dsk) yang berkembang semakin pesat kearah kota/kawasan metropolitan. Kota dan atau kawasan metropolitan merupakan perwujudan perkembangan yang alamiah dari suatu permukiman perkotaan yang berkembang sangat pesat. Perkembangan tersebut menyebabkan jumlah penduduk dan luas wilayah yang sangat besar, dengan karateristik dan persoalan yang berbeda serta spesifik. Oleh karenanya suatu kota dan atau kawasan metropolitan memerlukan pengelolaan tersendiri dalam hal pemecahan persoalan yang dihadapi, penyediaan prasarana dan layanan perkotaan, serta pengelolaan lingkungannya. Hal-hal tersebut menuntut pemikiran tersendiri bagi kota besar yaitu perlunya penyediaan kesempatan kerja yang lebih baik, perlunya penyediaan permukiman/tempat tinggal yang memadai, perlunya penyediaan prasarana dan sarana transportasi/ekonomi perkotaan dan pelestarian lingkungan.
KEBIJAKAN PENATAAN RUANG PENGOLAHAN SAMPAH
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah |
Melekat dalam setiap unsur perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, karakteristik penataan ruang sangat terkait erat dengan sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dan bahkan pertahanan-keamanan. Oleh karenanya penataan ruang menekankan pendekatan kesisteman yang kompleks berlandaskan 4 (empat) prinsip utama yakni : (1). holistik dan terpadu, (2). keseimbangan antar fungsi kawasan (misal antar kotadesa, lindung-budidaya, pesisir-daratan, atau hulu-hilir), (3). keterpaduan penanganan secara lintas sektor/stakeholders dan lintas wilayah administratif, serta (4). pelibatan peran serta masyarakat mulai tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Pada dasarnya upaya penataan ruang perlu diarahkan pada pencapaian visi strategis ke depan yang akan menjiwai seluruh gerak langkah penyelenggaraannya. Visi strategis penyelenggaraan penataan ruang dimaksud adalah “terwujudnya ruang Nusantara yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia”.
Sejalan dengan perkembangannya baik tingkat pertumbuhan ekonomi, peningkatan penduduk dengan data jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat dari 32,8 juta atau 22,3% dari total penduduk nasional (1980), meningkat menjadi 55,4 juta atau 30,9% (1990), menjadi 74 juta atau 37% (1998), menjadi 90 juta jiwa atau 44% (2002), dan diperkirakan akan mencapai angka 150 juta atau 60% dari total penduduk nasional (2015) dengan laju pertumbuhan penduduk kota rata-rata 4,49% (1990-1995). Dengan jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu akan memberikan implikasi pada meningkatnya tekanan pada pemanfaatan ruang kota seperti pembangunan prasarana dan sarana di Kota-kota besar dan Kawasan Metropolitan, sehingga penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian yang khusus dan diberikan perhatian yang lebih besar terhadap perlindungan lingkungannya. Karena polusi air dan udara semakin bertambah dengan meningkatnya volume limbah cair domestik dan limbah padat demikian pula kemacetan lalu lintas maka tindakan perlindungan lingkungan sangat dibutuhkan, misalnya dengan mendorong penerapan zoning regulation, penerapan mekanisme insentif dan disinsentif, prinsip-prinsip smart growth atau growth management, dan sebagainya.
SISTEM PENATAAN RUANG PENGOLAHAN SAMPAH
Dinamika dan perkembangan masyarakat bangsa Indonesia secara keseluruhan juga telah mengalami perubahan terutama tuntutan otonomi daerah sejak tahun 1997, dimana pada tahun 1999 telah dikeluarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, yang menekankan otonomi daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004. Perkembangan tersebut tentu saja membawa konsekuensi logis terhadap UU 24 tahun 1992 yang harus dilakukan revisi agar Penataan Ruang dapat menjawab setiap tantangan di bidang penataan ruang dalam era otonomi daerah.
Bila merujuk pada Undang-Undang 24 tahun 1992, kedudukan sistem penataan ruang Nasional merupakan salah satu bagian dalam perwujudan tujuan sistem perencanaan pembangunan Nasional, yaitu untuk menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi antar pemanfaatan ruang di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam sistem perencanaan pembangunan Nasional maupun perencanaan tata ruang keduanya menekankan suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan (prioritas) secara berhierarki, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia. Jika perencanaan pembangunan Nasional berwujud spasial dan non spasial, maka perencanaan tata ruang lebih menekankan pada aspek spasial yang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumberdaya alam lainnya.
Adapun produk yang dihasilkan dari upaya/proses perencanaan tata ruang adalah Rencana Tata Ruang. Pengertian Rencana Tata Ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dalam aktivitas sosial-ekonomi dan aktivitas lainnya dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability). Produk RTR secara garis besar terdiri atas RTRW Nasional, RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota untuk wilayah administratif yang berhirarki, serta RTR Kawasan fungsional.
PELESTARIAN LINGKUNGAN DAN PENATAAN RUANG PENGOLAHAN SAMPAH
Pelestarian lingkungan yang merupakan perhatian dari perencanaan tata ruang, bertujuan untuk mendorong secara sistematis kesadaran masyarakat terhadap lingkungan, misalnya dengan penerapan 3R (reduction-reuse-recycling) dari limbah padat dan pengelolaan lingkungan yang tepat sangat dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat berorientasi siklus di kawasan perkotaan dan Kota-kota besar serta Kawasan Metropolitan. Dalam hal ini pendekatan partisipatoris menjadi salah satu pilihan pendekatan, demikian pula untuk perlindungan lingkungan. Tanpa pengelolaan lingkungan yang sesuai, Kota-kota besar dan Kawasan Metropolitan dapat terjerumus menjadi wilayah yang tidak sehat dan tidak nyaman untuk dihuni serta berpotensi memunculkan perkembangan kota yang semrawut dan tidak terarah yang dibeberapa kota sudah terjadi, isu lainnya adalah menyangkut perkembangan kota-kota yang tidak terarah, cenderung membentuk konurbasi antara kota inti dengan kotakota sekitarnya. Konurbasi dimaksud dicirikan dengan munculnya 9 kota metropolitan dengan penduduk di atas 1 juta jiwa (Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Bekasi, Tangerang, Semarang, Palembang dan Makassar) dan 9 kota besar (Bandar Lampung, Malang, Padang, Samarinda, Pekanbaru, Banjarmasin, Solo, Yogyakarta, dan Denpasar). Konurbasi yang terjadi pada kota-kota tersebut menimbulkan berbagai permasalahan kompleks, seperti kemiskinan perkotaan, pelayanan prasarana dan sarana kota yang terbatas, kemacetan lalu lintas, dan pencemaran lingkungan.
Sebagai salah satu contoh Kota Makassar dan pusat kota di Kawasan Metropolitan Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar) misalnya, sudah menjadi kotakota yang tidak memiliki daya tarik lingkungan. Beberapa inisiatif telah dilakukan oleh sektor pemerintah dan swasta seperti program keindahan kampung. Kassi-kassi dengan penghijauan dan bunga-bunga, akan tetapi hasilnya masih belum maksimal. Sampah berserakan di manamana, sepanjang jalan, kanal, sungai dan pantai yang menyebabkan terkontaminasinya air dan perairan. Pemeliharaan selokan dan saluran drainase menurunkan kapasitas drainase dan menyebabkan genangan dan banjir di tempat-tempat yang rendah. Karena tidak terdapat Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik, maka kontaminasi akan semakin buruk jika tidak segera diambil tindakan yang tepat, baik oleh pemerintah maupun oleh penduduk setempat. Proyek pilot yang diujicobakan pada kawasan Metropolitan Mamminasata memperlihatkan bahwa dengan sedikit investasi dan biaya rendah, pengelolaan limbah padat dapat meningkatkan kesadaran masyarakat, mengurangi sampah dan meningkatkan kualitas lingkungan Kota.
Dengan memperhatikan keseluruhan uraian di atas, untuk mengatasi berbagai permasalahan aktual dalam pembangunan Kota dan Metropolitan, maka prinsip-prinsip penataan ruang tidak dapat diabaikan lagi. Dalam konteks ini, upaya pengendalian pembangunan dan berbagai dampaknya perlu diselenggarakan secara terpadu lintas sektor dan lintas wilayah melalui instrumen penataan ruang. Melalui instrumen ini pula, maka daya dukung lingkungan dari suatu wilayah menjadi pertimbangan yang sangat penting.
Kawasan Metropolitan Mamminasata yang dijadikan contoh di atas, terdiri dari Kota Makassar, Kabupaten Maros, Gowa, dan Takalar memiliki luas sekitar 2,462 dengan estimasi jumlah penduduk 2.25 juta jiwa (2005). Kawasan Metropolitan Mamminasata menyumbangkan 36% dari PDB Sulsel, sedangkan Kota Makassar memberikan kontribusi hampir 77% dari pertumbuhan ekonomi Mamminasata. Dengan mudah dapat dipahami peran yang akan dijalankan oleh Mamminasata dalam pembangunan ekonomi Sulawesi Selatan. Akan tetapi dengan peran yang penting tersebut Kawasan Mamminasata masih tergolong kurang dinamis.
Misalnya penanganan masalah sampah sebagai wujud pelestarian lingkungan di Kawasan Metropolitan Mamminasata direncanakan dengan Proyek peningkatan TPA untuk pengelolaan limbah padat yang merupakan contoh model untuk mengatasi masalah persampahan di Kawasan Perkotaan dan Kawasan Metropolitan lainnya. Desain awal untuk usulan TPA sampah baru di Pattallassang, Kabupaten Gowa telah dirancang dengan penerapan Sistem TPA semi-aerobic, dilengkapi dengan sarana-sarana yang memadai untuk pelindian, pengendalian gas dan langkah-langkah perlindungan lingkungan lainnya. Proyek tersebut juga memperlihatkan lokasi industri-industri daur ulang di Pattallassang. Keistimewaan pada proyek ini adalah bahwa setelah masa penggunaan, TPA akan dimanfaatkan sebagai taman rekreasi atau lapangan olah raga bagi sarana publik dengan dukungan fasilitas ruang terbuka hijau (RTH) agar tetap terjaga keasrian lingkungannya.
Kekurangan dalam pembuangan limbah padat telah menjadi salah satu persoalan serius di kawasan perkotaan, kota-kota kecil, sedang dan besar serta di Metropolitan, yang harus ditangani secara terpadu untuk mengembalikan kawasan tersebut menjadi bersih. Persoalan sampah yang sering ditemui di jalan-jalan, selokan dan kanal drainase serta lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang sulit ditentukan merupakan tantangan masalah dalam pelaksanaan konsep menjaga kelestarian lingkungan agar seimbang dan selaras. Hasil ujicoba program proyek pilot pemilahan sampah berbasis komunitas dan barter sehat atau kanal bersih, di Kawasan Metropolitan Mamminasata misalnya, memperlihatkan hasil yang baik dan perlu direplikasi secara sistematis. Model pembangunan TPA sampah di Metropolitan Mamminasata sekaligus merupakan contoh model proyek kerjasama regional bagi wilayah lainnya di Indonesia.
Tempat Pembuangan Akhir sampah pada dasarnya merupakan akhir dari proses penanganan sampah yang aman dan ramah lingkungan. Namun adanya keterbatasan biaya dan kapasitas SDM serta andalan pola kumpul-angkut-buang yang ada selama ini, telah berdampak pada pembebanan yang terlalu berat di TPA baik ditinjau dari kebutuhan lahan maupun beban pencemaran lingkungan. Permasalahan TPA sampah yang akhir-akhir ini telah mengemuka secara nasional antara lain kasus longsornya TPA Leuwigajah yang menelan korban jiwa lebih dari 140 orang, friksi TPA Bantar Gebang Bekasi dan TPST Bojong menunjukkan tingkat keterpurukan masalah penanganan sampah. Tanpa adanya komitmen dan upaya yang sungguh-sungguh dari para pelaksana pembangunan bidang persampahan, kondisi demikian dikhawatirkan hanya akan menuai bencana demi bencana. Persoalan TPA sampah pada dewasa ini terletak pada masalah pengelolaannya, untuk mendorong pengelolaan TPA sampah secara baik misalnya melalui sistem sanitary landfill dapat dilakukan dengan kerjasama antara pemerintah daerah terkait dalam bentuk usaha bersama (badan usaha bersama atau BUB).
PERTIMBANGAN PENETAPAN LOKASI TPA
Penetapan lokasi TPA sampah, dapat berdasarkan SNI 03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah dengan beberapa pertimbangan-pertimbangan antara lain :
- TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai dan laut;
- Disusun berdasarkan 3 tahapan yaitu : pertama, Tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan. kedua, Tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional. Ketiga, Tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh Instansi yang berwenang.
- Dalam hal suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi TPA Sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah ini dengan kriteria pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian :
- Kondisi geologi: tidak berlokasi di zona holocene fault; tidak boleh di zona bahaya geologi; Kondisi hidrogeologi: tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter; tidak boleh kelulusan tanah lebih besar dari 10-6 cm/det; jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter di hilir aliran; dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut di atas, maka harus diadakan masukan teknologi
- Kemiringan zona harus kurang dari 20 %
- Jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter untuk penerbangan turbo jet dan harus lebih besar dari 1.500 meter untuk jenis lain.
- Tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam dan daerah banjir dengan periode ulang 25 tahun
- Iklim: hujan : intensitas hujan makin kecil dinilai makin baik; angin : arah angin dominan tidak menuju kepermukiman dinilai makin baik
- Utilitas : tersedia lebih lengkap dinilai lebih baik
- Lingkungan biologis, meliputi faktor habitat : kurang bervariasi dinilai makin baik; faktor daya dukung : kurang menunjang kehidupan flora dan fauna, dinilai makin baik
- Ketersediaan tanah, meliputi : produktifitas tanah : tidak produktif dinilai lebih tinggi; kapasitas dan umur : dapat menampung lahan lebih banyak dan lebih lama dinilai lebih baik; ketersediaan tanah penutup : mempunyai tanah penutup yang cukup, dinilai lebih baik; status tanah : makin bervariasi dinilai tidak baik.
- Demografi : kepadatan penduduk lebih rendah dinilai makin baik
- Batas administrasi : dalam batas administrasi dinilai semakin baik
- Kebisingan : semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik
- Bau : semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik
- Etetika : semakin tidak terlihat dari luar dinilai semakin baik
- Ekonomi : semakin kecil biaya satuan pengelolaan sampah (per m3/ton) dinilai semakin baik
C. Produk yang dihasilkan
Produk yang dihasilkan sebagai berikut :
1. Tahap regional yaitu peta dasar skala 1 : 25.000, yang berisi :
* centroid sampah yang terletak di wilayah tersebut
* kondisi hidrogeologi
* badan-badan air
* TPA sampah yang sudah ada
* Pembagian zona-zona : zona 1 = zona tidak layak , zona 2 = zona layak untuk TPA sampah kota
2. Tahap penyisih yaitu rekomendasi lokasi TPA sampah kota dilengkapi :
* peta posisi calon-calon lokasi yang potensial
* peta detail dengan skala 1 : 25.000 dari sedikitnya 2 lokasi yang terbaik
3. Tahap penetapan yaitu keputusan penetapan lokasi TPA sampah kota
Pemilihan lokasi perlu mempertimbangkan aspek-aspek penataan ruang sebagai berikut :
- Lokasi TPA sampah diharapkan berlawanan arah dengan arah perkembangan daerah perkotaan (Urbanized Area).
- Lokasi TPA sampah harus berada di luar dari daerah perkotaan yang didorong pengembangannya (Urban Promotion Area)
- Diupayakan transportasi menuju TPA sampah tidak melalui jalan utama menuju perkotaan/daerah padat.
Selain hal-hal tersebut di atas, perencanaan TPA sampah perkotaan perlu memperhatikan hal - hal sebagai berikut :
- Rencana pengembangan kota dan daerah, tata guna lahan serta rencana pemanfaatan lahan bekas TPA.
- Kemampuan ekonomi pemerintah daerah setempat dan masyarakat, untuk menentukan teknologi sarana dan prasarana TPA yang layak secara ekonomis, teknis dan lingkungan.
- Kondisi fisik dan geologi seperti topografi, jenis tanah, kondisi badan air sekitarnya, pengaruh pasang surut, angin iklim, curah hujan, untuk menentukan metode pembuangan akhir sampah.
- Rencana pengembangan jaringan jalan yang ada, untuk menentukan rencana jalan masuk TPA.
- Rencana TPA di daerah lereng agar memperhitungkan masalah kemungkinan terjadinya longsor.
- Tersedianya biaya operasi dan pemeliharaan TPA.
- Sampah yang dibuang ke TPA harus telah melalui pengurangan volume sampah sedekat mungkin dengan sumbernya.
- Sampah yang dibuang di lokasi TPA adalah hanya sampah perkotaan yang bukan berasal dari industri, rumah sakit yang mengandung B3.
- Kota-kota yang sulit mendapatkan lahan TPA di wilayahnya, perlu melaksanakan model TPA regional serta perlu adanya institusi pengelola kebersihan yang bertanggungjawab dalam pengelolaan TPA tersebut secara memadai.
- Aksesibilitas jalan menuju TPA sampah harus tersedia
Selain itu ditetapkan pula Free Zone yang merupakan zona bebas dimana kemungkinan masih dipengaruhi leachate, sehingga harus merupakan Ruang Terbuka Hijau dan apabila dimanfaatkan disarankan bukan merupakan tanaman pangan, dengan ketebalan 50 sampai dengan 80 m dari batas luar buffer zone, sehingga TPA sampah dapat difungsikan secara terpadu dengan pengelolaannya, sistem pengolahan limbah organik dan non organik dilakukan secara terpisah agar setiap dampak/implikasi limbah dapat disortir sesuai dengan sifat dan jenisnya sehingga dapat diketahui limbah yang mengandung B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) disertai penanganannya, pengolahan limbah juga harus memperhatikan dampak terhadap lingkungan seperti air buangan dari limbah organik, materi limbah padat yang tidak dapat diolah atau didaur ulang sehingga perlu penanganan pemusnahan, pemisahan limbah padatpun harus sesuai dengan sifat dan jenis limbah tersebut.
Pendekatan pengelolaan sampah yang berasal dari limbah organik dengan cara diproses menjadi pupuk atau kompos, merupakan pendekatan yang perlu pula menjadi alternatif pilihan pengelolaan limbah, karena dapat memberikan nilai tambah baik secara ekologis, psikologis dan ekonomis.
Oleh karenanya pula dengan mengacu pada PP 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum yang di dalamnya mengatur masalah persampahan (bagian ketiga pasal 19-22), bahwa penanganan sampah yang memadai perlu dilakukan untuk perlindungan air baku air minum dan secara tegas dinyatakan bahwa TPA sampah wajib dilengkapi dengan penyangga dan metoda pembuangan akhirnya dilakukan secara sanitary landfill untuk kota besar dan metropolitan dan controlled landfill untuk kota kecil dan sedang. Selain itu perlu pula dilakukan pemantauan kualitas hasil pengolahan leachate secara berkala.
Perhatian terhadap kelestarian lingkungan melalui penanganan dan pengelolaan TPA sampah yang baik menjadi hal penting, TPA sampah yang didesain sesuai dengan ketentuan dapat difungsikan pula menjadi kawasan hijau sehingga sejalan dengan kebijakan penataan ruang yang menerapkan ketentuan bahwa setiap wilayah/kawasan menyediakan RTH minimal sebesar 30 % dari luas wilayah/kawasan tersebut. RTH yang tersedia bukan hanya mengandung nilai-nilai estetika tetapi juga mengandung nilai psikologis bagi masyarakat. Dapat dibayangkan apabila setiap kawasan permukiman, perkotaan dan kota-kota besar bahkan Metropolitan tidak terdapat ruang terbuka hijau yang bermanfaat untuk taman bermain, kesegaran udara, dan keindahan lingkungan bagi masyarakat maka yang terjadi adalah lingkungan permukiman kumuh, sensitivitas masyarakat sangat tinggi, polusi udara yang berpengaruh pada psikologis dan lingkungan yang tidak asri karena tidak adanya penghijauan.
- Rencana Tata Ruang (RTR) berperan mengintegrasikan kebijakan pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
- Penentuan lokasi TPA sampah harus mengacu pada RTR dan ketentuan lainnya yang terkait.
- Penataan Ruang sebelum dan sesudah penyelenggaraan TPA sampah perlu dikendalikan secara ketat dan konsisten.