Epidemiologi tidak berkembang dalam ruang hampa. Aneka ilmu dan peristiwa, seperti kedokteran, kedokteran sosial, revolusi mikrobiologi, demografi, sosiologi, ekonomi, statistik, fisika, kimia, biologi molekuler, dan teknologi komputer, telah mempengaruhi perkembangan teori dan metode epidemiologi. Demikian pula peristiwa besar seperti The Black Death (wabah sampar), pandemi cacar, revolusi industri (dengan penyakit okupasi), pandemi Influenza Spanyol (The Great Influenza) merupakan beberapa contoh peristiwa epidemiologis yang mempengaruhi filosofi manusia dalam memandang penyakit dan cara mengatasi masalah kesehatan populasi. Sejarah epidemiologi perlu dipelajari agar orang mengetahui konteks sejarah, konteks sosial, kultural, politik, dan ekonomi yang melatari perkembangan epidemiologi, sehingga konsep, teori, dan metodologi epidemiologi dapat diterapkan dengan tepat (Perdiguoero et al., 2001). Cara orang memandang penyakit, penyebab terjadinya penyakit, dan upaya untuk mengendalikannya, bisa dirunut ke belakang telah dimulai sejak zaman kedokteran Yunani kuno, lebih dari duapuluempat abad yang lampau. Terdapat beberapa teori/ hipotesis yang berhubungan dengan kesehatan dan penyakit pada manusia yang dibahas pada bagian ini: Teori Kosmogenik Empat Elemen, Teori Generasi Spontan, Teori Humor, dan Teori Miasma. Empedocles (490–430 SM).
Empedocles adalah seorang filsuf pra-Socrates, dokter, sastrawan, dan orator Yunani, yang tinggal di Agrigentum, sebuah kota di Sisilia. Para ahli sejarah menemukan sekitar 450 baris puisi karyanya yang ditulis pada daun papirus. Dari kumpulan puisi itu diketahui bahwa Empedocles memiliki pandangan tentang berbagai isu yang berhubungan dengan biologi modern, khususnya biologi genetik dan molekuler tentang terjadinya kehidupan, fisiologi komparatif dan eksperimental, biokimia, dan ensimologi. Lebih khusus, Empedocles adalah penggagas teori Kosmogenik Empat Elemen/ Akar Klasik (Classical Roots): bumi, api, air, dan udara. Menurut Empedocles, tumbuhan, binatang, termasuk manusia, diciptakan dari empat elemen itu. Jika dikombinasikan dengan cara yang berbeda, maka kombinasi itu akan menghasilkan aneka ragam spesies tumbuhan dan binatang di muka bumi. Campuran keempat elemen itu merupakan basis biologi genetik dan herediter yang terwujud dalam organ atau bagian tubuh manusia.
Di bagian lain puisi Empedocles menunjukkan, dia telah mempraktikkan epidemiologi terapan. Pada masa itu penduduk sebuah kota dekat dengan Agrigentum, yaitu Selinunta, tengah dilanda epidemi penyakit dengan gejala panas seperti malaria. Empedocles mendeteksi, penyebabnya terletak pada genangan air dan rawa yang berisi air terkontaminasi. Empedocles mengatasi masalah itu dengan membuka kanal (terusan) dan mengosongkan genangan air ke laut. Dengan membuka dua sungai besar dan menghubungkannya dengan laut, mengeringkan rawa, Empedocles berhasil menurunkan epidemi yang menjangkiti penduduk Selinunta. Empedocles berhasil membuat Selinunta sebuah kota sehat dengan sistem irigasi yang dibiayainya. Karya sanitasi ini bisa dipandang sebagai Projek Kesehatan Masyarakat pertama di muka bumi (Stathakou et al., 2007).
Pada baris puisi lainnya Empedocles menyebutkan, ―Miserable men, wholly miserable, restrain your hands from beans ―. Baris itu merujuk kepada suatu penyakit defisiensi genetik G6PD di dalam sel darah merah. Penyakit itu menyebabkan anemia hemolitik pada individu yang sensitif jika mengkonsumsi sejenis kacang-kacangan atau terpapar oleh bunga tanaman tersebut. Studi epidemiologi beberapa tahun yang lalu menunjukkan, terdapat sekitar 2% hingga 30% populasi di Sisilia (tergantung daerahnya) menderita penyakit defisiensi genetik G6PD. Diduga Empedocles membuat anjuran pencegahan penyakit itu berdasarkan pada pengamatan epidemiologis dan pengalaman klinis (Stathakou et al., 2007; Wikipedia, 2010emp).
Empedocles juga dikabarkan telah melakukan penyembuhan sampar di kota Athena dengan menggunakan api. Dia melakukan cara serupa, yaitu metode disinfeksi menggunakan asap, untuk mengatasi sampar di kota kelahirannya. Secara keseluruhan pandangan dan karya Empedocles merupakan prekursor kedokteran modern dan epidemiologi, mendahului Hippocrates yang lebih dikenal sebagai Bapak Kedokteran Modern (Stathakou et al., 2007; Wikipedia, 2010emp).
Aristoteles (384-322 SM). Aristoteles adalah seorang filsuf dan ilmuwan Yunani, berasal dari Stagira. Anak seorang dokter, Aristoteles merupakan murid Plato. Tetapi berbeda dengan gurunya dalam penggunaan metode untuk mencari pengetahuan, Aristoteles berkeyakinan, seorang dapat dan harus mempercayai panca-indera di dalam mengivestigasi pengetahuan dan realitas.
Aristoteles merupakan filsuf dan ilmuwan serba-bisa. Tulisannya mencakup aneka subjek. Tulisan resminya tentang anatomi manusia tidak diketemukan, tetapi banyak karyanya tentang binatang menunjukkan bahwa dia telah menggunakan pengamatan langsung dan perbandingan anatomis antar spesies melalui diseksi (penyayatan). Aristoteles memberikan fondasi bagi metode ilmiah.
Di sisi lain Aristoteles juga melakukan sejumlah kekeliruan. Dia mengkompilasi dan memperluas karya para filsuf alam Yunani sebelumnya, dan merumuskan hipotesis bahwa materi mati dapat ditransformasikan secara spontan oleh alam menjadi binatang hidup, dan proses itu bisa terjadi di mana saja dalam kehidupan sehari-hari. Teori itu disebut Generasi Spontan (―spontaneous generation‖, ―equivocal generation‖, abiogenesis), yang bertolak belakang dengan teori ―univocal generation‖ (teori reproduksi, biogenesis) bahwa kehidupan berasal dari reproduksi benda hidup. Sampai duaratus tahun yang lampau sebagian ilmuwan klasik percaya kepada vitalisme, suatu gagasan bahwa materi mati seperti kotoran, rumput mati, daging yang membusuk, memiliki vitalitas di dalamnya, yang memungkinkan terciptanya kehidupan sederhana secara spontan (Genesis Park, 2001; Wikipedia, 2010aris).
Setelah bertahan berabad-abad lamanya, akhirnya hipotesis generasi spontan digerus oleh bukti empiris baru yang membuktikan bahwa hipotesis itu salah. Pada abad ke 17 Francisco Redi melakukan eksperimen yang memeragakan bahwa larva terjadi bukan dari daging, melainkan karena lalat yang meletakkan telurnya di atas daging. Pada 1858 Rudolf Virchow memperkuat kesimpulan itu dalam publikasi epigramnya berjudul ―Omnis cellula e cellula‖ ("setiap sel berasal dari sel lainnya yang serupa‖). Pada 1860 Louis Pasteur melakukan sterilisasi nutrien dan menyimpannya ke dalam botol bersegel, ternyata tidak terjadi kuman. Temuan itu memeragakan bahwa ―hanya kehidupan yang bisa menghasilkan kehidupan‖ (omne vivum ex ovo), disebut hukum biogenesis (Genesis Park, 2001; Wikipedia, 2010aris; Wikipedia, 2010rv).
Humoralisme. Humoralisme atau Humorisme adalah teori yang menjelaskan bahwa tubuh manusia diisi atau dibentuk oleh empat bahan dasar yang disebut humor (cairan). Keempat humor itu adalah empedu hitam, empedu kuning, flegma (lendir), dan darah (Gambar 2). Pada orang yang sehat, keempat humor berada dalam keadaan seimbang. Sebaliknya semua penyakit disebabkan oleh ketidakseimbangan humor, sebagai akibat dari kelebihan atau kekurangan salah Konsep empat humor berasal dari Yunani kuno dan Mesopotamia, tetapi baru dikonseptualisasi secara sistematis oleh para filsuf Yunani kuno, termasuk Hippocrates sekitar 400 SM. Para filsuf Yunani menghubungannya dengan Teori Empat Elemen: bumi, api, air, dan udara. Bumi terutama berada dalam empedu hitam, api di dalam empedu kuning, air dalam lendir, dan semua elemen ada di dalam darah (Wikipedia, 2010h).
Komunitas medis Yunani, Romawi, dan kemudian Muslim dan Eropa Barat, selama berabad-abad mengadopsi dan mengadaptasi filosofi kedokteran klasik. Humoralisme sebagai sebuah teori kedokteran populer selama beberapa abad, terutama karena pengaruh tulisan Galen (131–201). Menurut Galen, kesehatan dihasilkan dari keseimbangan humor, atau eukrasia. Sebaliknya ketidakseimbangan humor, atau diskrasia, dipandang merupakan kausa langsung semua penyakit.
Kualitas humor mempengaruhi sifat penyakit yang dihasilkan. ―Empedu kuning‖ menyebabkan penyakit panas, dan ―flegma‖ menyebabkan penyakit dingin. Menurut Galen, aneka jenis makanan memiliki potensi yang beragam untuk menghasilkan berbagai humor. Demikian juga musim sepanjang tahun, periode kehidupan, area geografis, dan jenis pekerjaan, mempengaruhi sifat humor yang terbentuk. Sebagai contoh, makanan hangat (misalnya, cabe dan lada di Barat disebut ―hot‖) cenderung menghasilkan ―empedu kuning‖, menyeimbangkan defisit humor itu pada musim dingin. Makanan dingin cenderung menghasilkan ―flegma‖, menyeimbangkan defisit humor itu pada musim panas. Pada zaman yang hampir bersamaan, kedokteran kuno di India juga mengembangkan Ayurveda yang menggunakan teori tiga humor, yang berkaitan dengan lima unsur Hindu (Wikipedia, 2010h).
Pada 1912, Fahreus, seorang dokter Swedia yang menciptakan tingkat sedimentasi eritrosit, mengemukakan bahwa konsep keempat humor mungkin didasarkan pada fenomena pembekuan darah yang bisa diamati pada botol transparan. Jika darah diletakkan ke dalam sebuah botol kaca dan dibiarkan tanpa diganggu selama sekitar satu jam, akan terlihat empat lapis yang berbeda. Bentuk beku berwarna hitam pada dasar (―empedu hitam‖). Di atas bekuan terdapat lapisan sel darah merah (―darah‖). Di atasnya terdapat lapisan putih (―flegma‖, ―lendir‖). Lapisan paling atas adalah serum berwarna kuning jernih (―empedu kuning‖) (Wikipedia, 2010h).
Doktrin patologi humoral mendapat sanggahan ketika Rudolf Virchow (1821-1902) pada 1858 mengemukakan teori baru tentang penyakit dalam bukunya ―Cellular Pathology‖. Virchow menerapkan Teori Sel yang menekankan bahwa penyakit timbul tidak di dalam organ atau jaringan secara umum, melainkan pada masing-masing sel. Virchow mengibaratkan tubuh sebagai ―sebuah negara sel di mana masing-masing sel merupakan warga‖. Menurut Virchow, penyakit terjadi karena ―terdapat konflik antar warga-warga di dalam negara, yang disebabkan oleh kekuatan dari luar‖ (Wikipedia, 2010rv).
Dewasa ini sains kedokteran modern memandang doktrin patologi humoral keliru. Meskipun demikian keberadaan humoralisme dalam sejarah telah memberikan kontribusi dari kedokteran berdasarkan tahayul menuju kedokteran modern. Sejak timbulnya teori humoral, para ilmuwan kedokteran mulai mencari kausa biologis penyakit dan memberikan pengobatan secara biologis ketimbang mencari solusinya pada ranah supernatural. Kini sisa-sisa teori humoralisme masih bisa diidentifikasi dalam bahasa kedokteran. Sebagai contoh, praktisi kedokteraan menggunakan terma imunitas humoral atau regulasi humoral untuk merujuk kepada substansi yang beredar di seluruh tubuh (misalnya, hormon dan antibodi). Demikian juga masih dikenal istilah diskrasia darah untuk merujuk kepada penyakit atau abnormalitas darah.
Konsep empat humor berasal dari Yunani kuno dan Mesopotamia, tetapi baru dikonseptualisasi secara sistematis oleh para filsuf Yunani kuno, termasuk Hippocrates sekitar 400 SM. Para filsuf Yunani menghubungannya dengan Teori Empat Elemen: bumi, api, air, dan udara. Bumi terutama berada dalam empedu hitam, api di dalam empedu kuning, air dalam lendir, dan semua elemen ada di dalam darah (Wikipedia, 2010h).
Komunitas medis Yunani, Romawi, dan kemudian Muslim dan Eropa Barat, selama berabad-abad mengadopsi dan mengadaptasi filosofi kedokteran klasik. Humoralisme sebagai sebuah teori kedokteran populer selama beberapa abad, terutama karena pengaruh tulisan Galen (131–201). Menurut Galen, kesehatan dihasilkan dari keseimbangan humor, atau eukrasia. Sebaliknya ketidakseimbangan humor, atau diskrasia, dipandang merupakan kausa langsung semua penyakit.
Kualitas humor mempengaruhi sifat penyakit yang dihasilkan. ―Empedu kuning‖ menyebabkan penyakit panas, dan ―flegma‖ menyebabkan penyakit dingin. Menurut Galen, aneka jenis makanan memiliki potensi yang beragam untuk menghasilkan berbagai humor. Demikian juga musim sepanjang tahun, periode kehidupan, area geografis, dan jenis pekerjaan, mempengaruhi sifat humor yang terbentuk. Sebagai contoh, makanan hangat (misalnya, cabe dan lada di Barat disebut ―hot‖) cenderung menghasilkan ―empedu kuning‖, menyeimbangkan defisit humor itu pada musim dingin. Makanan dingin cenderung menghasilkan ―flegma‖, menyeimbangkan defisit humor itu pada musim panas. Pada zaman yang hampir bersamaan, kedokteran kuno di India juga mengembangkan Ayurveda yang menggunakan teori tiga humor, yang berkaitan dengan lima unsur Hindu (Wikipedia, 2010h).
Pada 1912, Fahreus, seorang dokter Swedia yang menciptakan tingkat sedimentasi eritrosit, mengemukakan bahwa konsep keempat humor mungkin didasarkan pada fenomena pembekuan darah yang bisa diamati pada botol transparan. Jika darah diletakkan ke dalam sebuah botol kaca dan dibiarkan tanpa diganggu selama sekitar satu jam, akan terlihat empat lapis yang berbeda. Bentuk beku berwarna hitam pada dasar (―empedu hitam‖). Di atas bekuan terdapat lapisan sel darah merah (―darah‖). Di atasnya terdapat lapisan putih (―flegma‖, ―lendir‖). Lapisan paling atas adalah serum berwarna kuning jernih (―empedu kuning‖) (Wikipedia, 2010h).
Doktrin patologi humoral mendapat sanggahan ketika Rudolf Virchow (1821-1902) pada 1858 mengemukakan teori baru tentang penyakit dalam bukunya ―Cellular Pathology‖. Virchow menerapkan Teori Sel yang menekankan bahwa penyakit timbul tidak di dalam organ atau jaringan secara umum, melainkan pada masing-masing sel. Virchow mengibaratkan tubuh sebagai ―sebuah negara sel di mana masing-masing sel merupakan warga‖. Menurut Virchow, penyakit terjadi karena ―terdapat konflik antar warga-warga di dalam negara, yang disebabkan oleh kekuatan dari luar‖ (Wikipedia, 2010rv).
Dewasa ini sains kedokteran modern memandang doktrin patologi humoral keliru. Meskipun demikian keberadaan humoralisme dalam sejarah telah memberikan kontribusi dari kedokteran berdasarkan tahayul menuju kedokteran modern. Sejak timbulnya teori humoral, para ilmuwan kedokteran mulai mencari kausa biologis penyakit dan memberikan pengobatan secara biologis ketimbang mencari solusinya pada ranah supernatural. Kini sisa-sisa teori humoralisme masih bisa diidentifikasi dalam bahasa kedokteran. Sebagai contoh, praktisi kedokteraan menggunakan terma imunitas humoral atau regulasi humoral untuk merujuk kepada substansi yang beredar di seluruh tubuh (misalnya, hormon dan antibodi). Demikian juga masih dikenal istilah diskrasia darah untuk merujuk kepada penyakit atau abnormalitas darah. Demikian juga bagi epidemiologi, teori humoralisme merupakan sebuah kemajuan menuju pandangan modern tentang kesehatan manusia. Teori humoralisme telah memainkan peran penting dalam menggantikan pandangan superstitif sebelumnya yang mencoba menjelaskan penyakit sebagai akibat dari ruh jahat.
Hippocrates (377-260 SM). Hippocrates adalah seorang filsuf dan dokter Yunani pasca-Socrates, yang dikenal sebagai Bapak Kedokteran Modern (Gambar 3). Hippocrates telah membebaskan hambatan filosofis cara berpikir orang-orang pada zaman itu yang bersifat spekulatif dan superstitif (tahayul) dalam memandang kejadian penyakit. Hippocrates memberikan kontribusi besar dengan konsep kausasi penyakit yang dikenal dalam epidemiologi dewasa ini, bahwa penyakit terjadi karena interaksi antara ‗host-agent-environment‘ (penjamu-agen-lingkungan). Dalam bukunya yang "On Airs, Waters and Places" (―Tentang Udara, Air, dan Tempat‖) yang diterjemahkan Francis Adam, Hipoccrates mengatakan, penyakit terjadi karena kontak dengan jazad hidup, dan berhubungan dengan lingkungan eksternal maupun internal seseorang (Rocket, 1999; Bannis & Assocatiates, 2001; Grammaticos dan Diamantis, 2003; Saracci, 2010).
Pandangan Hippocrates tentang kausa penyakit dipengaruhi oleh filsafat Empat Elemen dan Humoralisme Yunani kuno. Sebagai contoh, Hippocrates menegaskan peran penting iklim, sifat-sifat udara, angin, kualitas udara dan air, bagi kesehatan. Sebuah kutipan dari buku itu menyebutkan, ―Whoever wishes to investigate medicine properly should proceed thus: in the first place to consider the seasons of the year, and what effects each of them produces. Then the winds,the hot and the cold, especially such as are common to all countries, and then such as are peculiar to each locality…‖ Artinya, siapapun yang ingin mempelajari ilmu kedokteran dengan benar hendaknya melakukan langkah-langkah sebagai berikut: pertama-tama pertimbangkan musim sepanjang tahun dan efek yang dihasilkannya. Lalu angin, yang panas maupun dingin, terutama yang dialami oleh semua negara, lalu yang dialami secara khusus oleh daerah setempat (Rocket, 1999; Bannis & Assocatiates, 2001; Grammaticos dan Diamantis, 2003; Saracci, 2010).
Hippocrates mengemukakan teori ‗miasma‘, bahwa suatu materi bisa mengkontaminasi udara dan jika materi itu memasuki tubuh manusia, maka akan terjadi penyakit. ‗Miasma‘ atau ‗miasmata‘ berasal dari kata Yunani yang berarti ‗something dirty‘ (sesuatu yang kotor) atau ‗bad air‘ (udara buruk). Sebagai contoh, Hippocrates menyebutkan, ―di dalam luka terdapat miasmata yang menyebabkan penyakit jika memasuki tubuh…‖ Sejak itu teori miasma digunakan untuk menerangkan penyebab penyakit. Dua puluh tiga abad kemudian, berkat penemuan mikroskop oleh Anthony van Leuwenhoek, Louis Pasteur menemukan bahwa materi yang disebut ‗miasma‘ tersebut sesungguhnya merupakan ‗mikroba‘, sebuah kata Yunani yang artinya kehidupan mikro (small living) (Rockett, 1999; Bannis & Assocatiates, 2001; Grammaticos dan Diamantis, 2003).
Kausa penyakit menurut Hippocrates tidak hanya terletak pada lingkungan, tetapi juga dalam tubuh manusia. Sebagai contoh, dalam bukunya ―On the Sacred Disease‖ Hippocrates menyebutkan bahwa epilepsi bukan merupakan penyakit yang berhubungan dengan tahayul atau agama, melainkan suatu penyakit otak yang diturunkan. Dalam bidang psikiatri, Hippocrates mendahului teori Sigmund Freud dengan hipotesisnya bahwa kausa melankoli (suatu gejala kejiwaan atau emosi akibat depresi) yang dialami putra Raja Perdica II dari Macedonia adalah depresi yang dialami Perdica karena jatuh cinta secara rahasia dengan istri ayahnya (ibu tirinya) (Bannis & Assocatiates, 2001; Grammaticos dan Diamantis, 2003; Saracci, 2010).
Kontribusi Hippocrates untuk epidemiologi tidak hanya berupa pemikiran tentang kausa penyakit tetapi juga riwayat alamiah sejumlah penyakit. Dia mendeskripsikan perjalanan hepatitis akut pada bukunya ‗About Diseases‘: ―ikterus akut dengan cepat menyebar…urine menunjukkan warna agak kemerahan…panas tinggi, rasa tidak nyaman. Pasien meninggal dalam waktu 4 hingga 10 hari‖ (Bannis & Assocatiates, 2001; Grammaticos dan Diamantis, 2003). Dalam terminologi epidemiologi sekarang, ―meninggal dalam waktu 4 hingga 10 hari‖ sejak timbulnya gejala klinis merupakan durasi penyakit tersebut.
Era Romawi
Empedocles, Galen, Hippocrates, dan filsuf Yunani lainnya telah menunjukkan sejumlah determinan penting kesehatan manusia. Tetapi sebuah metode esensial epidemiologi modern yang belum mereka tunjukkan adalah kuantifikasi. Kuantifikasi kasus penyakit penting untuk menilai beratnya masalah kesehatan pada populasi maupun mengetahui etiologi penyakit pada level populasi. Temuan sejarah menunjukkan, pada abad ketiga, sekitar 800 tahun pasca Hippocrates, orang-orang Romawi telah membuat cacah jiwa tentang kehidupan mereka. Catatan kuantitatif cacah jiwa tersebut dapat dipandang merupakan prekursor tabel hidup (life table) dalam bentuk yang paling primitif. Tabel hidup dalam arti yang sesungguhnya, yaitu tabel yang berisi proporsi (probabilitas) orang untuk melangsungkan hidupnya pada tiap-tiap umur, baru diciptakan 13 abad kemudian oleh John Graunt di Inggris (Rockett, 1999).
The Black Death
Pada abad ke 13-14 terjadi epidemi penyakit dengan mortalitas tinggi di seluruh dunia, disebut The Black Death (penyakit sampar, pes, Bubonic plague). Penyakit sampar atau pes disebabkan oleh Yersinia pestis yang menginfeksi rodensia (terutama tikus), lalu menular ke manusia melalui gigitan kutu (flea). Penyakit sampar menyebabkan demam, pembengkakan kelenjar limfe, dan bercak-bercak merah di kulit, sehingga wabah sampar disebut Bubonic Plague (bubo‘ artinya inflamasi dan pembengkaan kelenjar limfe). The Black Death membunuh hampir 100 juta penduduk di seluruh dunia dalam tempo 300 tahun. Hampir sepertiga populasi Eropa (sekitar 34 juta) meninggal karena penyakit tersebut. Kematian dalam jumlah serupa terjadi pada penduduk China dan India. Timur Tengah dan benua Afrika juga mengalami epidemi tersebut. Meskipun jumlah total tidak diketahui, outbreak 1348 - 1349 diperkirakan telah membunuh 400,000 orang di Suriah (Rice dan McKay, 2001; Epic Disasters, 2010; Edmonds/ howstuffworks, 2010).
The Black Death dimulai pada awal 1330 ketika wabah sampar yang mematikan meletus di China. Pada waktu itu China merupakan pusat perdagangan paling ramai di dunia, sehingga epidemi sampar dengan cepat meluas ke Asia Barat dan Eropa. Pada Oktober 1347, sejumlah kapal dagang Italia kembali dari pelayaran di Laut Hitam yang merupakan kunci penghubung perdagangan Eropa dengan China. Ketika kapal berlabuh di bandar Messina di Sicilia, banyak penumpang kapal telah meninggal karena penyakit itu. Dalam waktu beberapa hari, penyakit menyebar ke seluruh kota dan sekitarnya. Korban penyakit sampar meninggal dengan cepat sehingga dilukiskan dengan ironis oleh penulis Italia, Giovanni Boccaccio, dalam bukunya The Decameron‘ tahun 1351: "ate lunch with their friends and dinner with their ancestors in paradise..." para korban makan siang bersama teman-teman dan makan malam bersama nenek-moyang di nirwana (Gambar 4)(Rice dan McKay, 2001; Epic Disasters, 2010; Edmonds/ howstuffworks, 2010).
Mula-mula penduduk percaya, penyakit sampar disebabkan kutukan Tuhan. Salah satu cara yang dilakukan penduduk untuk mencegah epidemi adalah mengubur korban sampar yang meninggal secepatnya. Tetapi upaya itu ternyata tidak membantu menurunkan wabah. Orang menarik pelajaran bahwa satu-satunya cara yang efektif untuk mengatasi The Black Death adalah mengisolasi individu yang terkena penyakit sampar dan keluarganya atau bahkan seluruh penduduk desa ke dalam karantina selama 40 hari. Periode karantina pertama kali diberlakukan Dalam terminologi epidemiologi sekarang, meninggal dalam waktu 4 hingga 10 hari sejak timbulnya gejala klinis merupakan durasi penyakit tersebut.
Secara tradisi The Black Death diyakini disebabkan oleh salah satu dari tiga bentuk Yersinia pestis (bubonik, pnemonik, dan spetikemik). Tetapi beberapa ilmuwan dewasa ini menduga, penyakit itu disebabkan suatu virus yang menyerupai Ebola atau antraks. Dua peneliti biologi molekuler dari Universitas Liverpool, Profesor Christopher Duncan dan Susan Scott, menganalisis sejarah Bubonic Plague dan menerapkan biologi molekuler dengan modeling menggunakan komputer. Berdasarkan analisis, Duncan dan Scott mengemukakan teori bahwa agen penyebab wabah sampar bukan suatu bakteri melainkan filovirus yang ditularkan langsung dari manusia ke manusia. Filovirus memiliki pertalian dengan virus Ebola yang melanda beberapa negara Afrika akhir abad ke 20. Menurut Profesor Duncan, gejala The Black Death ditandai oleh demam mendadak, nyeri, perdarahan organ dalam, dan efusi darah ke kulit yang menimbulkan bercak-bercak di kulit, khususnya sekitar dada. Karena itu Duncan dan Scott menamai epidemi penyakit sampar wabah hemoragis‘ (haemmorhagic plague), bukan Bubonic Plague yang lebih menonjolkan aspek pembesaran kelenjar limfe. Hasil riset Scott dan Duncan dipublikasikan dalam buku ‗Biology of Plagues‘, diterbitkan oleh Cambridge University Press (Connor, 2001; University of Liverpool, 2005).
Cacar dan Vaksinasi Edward Jenner
Pandemi Cacar. Cacar merupakan sebuah penyakit menular yang menyebabkan manifestasi klinis berat dan sangat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh virus Variola major atau Variola minor. Cacar disebut Variola atau Variola vera, berasal dari kata Latin ‗varius‘ yang berarti bercak, atau ‗varius‘ yang berarti gelembung kulit. Terma ‗smallpox‘ dalam bahasa Inggris digunakan pertama kali di Eropa pada abad ke 15 untuk membedakan cacar dengan ‗great pox‘ (sifilis). Masa inkubasi sekitar 12 hari. Virus cacar menempatkan diri di dalam pembuluh darah kecil di bawah kulit, mulut dan tenggorokan. Pada kulit penyakit ini menyebabkan keropeng (ruam) berbentuk makulopapular, kemudian membentuk gelembung kulit berisi cairan. Penderita cacar mengalami keropeng kulit, sehingga disebut ‗speckled monster‘ (monster bernoda). Selain itu cacar menyebabkan kebutaan karena ulserasi kornea dan infertilitas pada penderita pria. Variola major lebih sering dijumpai, menyebabkan bentuk klinis yang berat, dengan lebih banyak keropeng kulit, panas yang lebih tinggi, dengan case fatality rate 30-35%. Angka kematian karena Variola major pada anak bisa mencapai 80%. Variola minor memberikan manifestasi klinis yang lebih ringan disebut alastrim, lebih jarang terjadi, dengan angka kematian sekitar 1% dari korban. Gambar 5 menunjukkan seorang gadis muda Bangladesh yang terinfeksi variola tahun 1973 (Wikipedia, 2010aa).
Para ahli memperkirakan virus cacar mulai berevolusi dari bentuk virus yang menyerupai variola, ditularkan oleh sebuah rodensia (binatang pengerat) kuno di Afrika antara 16,000 dan 68,000 tahun yang lalu. Bentuk yang lebih berat diduga berasal dari Asia antara 400 dan 1600 tahun yang lalu. Alastrim minor, bentuk yang kedua ditemukan di Afrika barat dan benua Amerika, diduga telah berevolusi antara 1,400 dan 6,300 tahun yang lalu (Wikipedia, 2010aa).
Cacar diduga telah menjangkiti populasi manusia sekitar 10,000 SM. Catatan sejarah dari Asia menunjukkan bukti adanya penyakit menyerupai cacar di China kuno (1122 SM) dan India (1500 SM). Bukti fisik tertua tentang cacar ditunjukkan oleh lesi kulit pada mumi Firaun Ramses V dari Mesir yang meninggal 1157 SM. Terdapat spekulasi bahwa pedagang Mesir membawa cacar ke India selama milenium pertama SM, dan cacar menjadi penyakit endemik di India selama sedikit-dikitnya 2000 tahun. Tetapi sumber lain mengatakan, cacar dibawa ke India oleh orang-orang Portugis. Gambaran cacar yang meyakinkan ditemukan pada abad ke 4 di China dan ke 7 di India. Cacar diduga memasuki China selama abad pertama dari arah Barat Daya, dan pada abad ke 6 dibawa dari China ke Jepang. Di Jepang epidemi 735-737 diyakini telah membunuh lebih dari sepertiga penduduk. Sekurang-kurangnya tujuh dewa didedikasikan untuk cacar, seperti dewa Sopona di daerah Yoruba. Di India, dewi Hindu cacar, Sitala Mata, dipuja di candi-candi di seluruh negeri (Wikipedia, 2010aa; The College of Physicians of Philadelphia, 2010).
Sejarah kehadiran cacar di Eropa dan Barat Daya Asia tidak begitu jelas. Cacar tidak disebut-sebut dalam Kitab Perjanjian Lama maupun Baru, maupun dalam literatur Yunani dan Romawi. Para ilmuwan sepakat bahwa tidak mungkin Hippocrates tidak mendeskripsikan penyakit yang serius itu jika memang terdapat di daerah Mediterania. Para sejarawan menduga wabah Antonia (Antonine Plague) yang melanda Kekaisaran Roma pada 165–180 mungkin disebabkan oleh cacar, dan bala tentara Arab untuk pertama kali membawa cacar dari Afrika ke Barat Daya Eropa selama abad ke 7 dan 8. Pada abad ke 9, seorang dokter Persia, Rhazes, memberikan gambaran yang jelas tentang cacar dan merupakan orang pertama yang membedakan cacar dengan campak dan cacar air (varicella, chickenpox) dalam ―Kitab fi al-jadari wa-al-hasbah‖ (―Buku Cacar dan Campak‖) yang ditulisnya (Wikipedia, 2010aa).
Pada Abad Pertengahan, cacar menyerang secara berkala di Eropa, menjadi endemis setelah jumlah penduduk meningkat dan perpindahan penduduk meningkat pada zaman Perang Salib. Pada abad ke 16 cacar melanda sebagian besar Eropa. Di India, China, dan Eropa, cacar terutama menjangkiti anak-anak, dengan epidemi berkala yang menyebabkan kematian 30% dari yang terinfeksi. Pada 1545 epidemi cacar di Goa, India, menelan korban 8,000 anak meninggal. Secara epidemiologis timbulnya cacar di Eropa memiliki arti penting, sebab gelombang eksplorasi dan kolonisasi yang terus menerus dilakukan orang-orang Eropa pada abad ke 16 telah menyebarkan penyakit itu ke seluruh dunia. Selama abad ke 18 penyakit ini membunuh sekitar 400,000 penduduk Eropa per tahun (meliputi masa pemerintahan lima kerajaan), dan menyebabkan sepertiga di antaranya buta (Wikipedia, 2010aa; The College of Physicians of Philadelphia, 2010).
Pada akhir abad ke-18, sekitar 400,000 orang meninggal setiap tahun di seluruh dunia karena cacar. Pada abad ke 20 cacar menyebabkan sekitar 300–500 juta kematian. Belum terlalu lama, pada 1967, World Health Organization (WHO) memperkirakan 15 juta penduduk terjangkit penyakt itu dan 2 juta meninggal tahun itu. Setelah keberhasilan kampanye vaksinasi abad ke 19 dan 20, WHO menyatakan terbasminya cacar pada 1979. Dewasa ini cacar merupakan satu-satunya penyakit infeksi pada manusia yang telah terbasmi penuh dari alam.
Sejak 430 SM, orang telah mencoba menemukan penyembuhan penyakit cacar. Pada zaman pertengahan, berbagai pengobatan herbal, pengobatan dingin, dan pakaian khusus, telah digunakan untuk mencegah atau mengobati cacar. Dr.Sydenham (1624–1689) mengobati pasien-pasiennya dengan cara menempatkannya di ruang tanpa pemanas api, membiarkan jendela-jendela terbuka selamanya, meletakkan kain seprei lebih rendah daripada pinggang penderita, dan memberikan ―duabelas botol kecil bir setiap duapuluhempat jam sekali‖. Tetapi, cara yang paling berhasil untuk melawan cacar sebelum ditemukan vaksinasi adalah inokulasi. Terma inokulasi berasal dari kata Yunani ‗inculare‘, artinya mencangkok. Inokulasi adalah pencangkokan virus cacar subkutan pada individu non-imun. Inokulasi dilakukan dengan menggunakan lanset yang dibasahi dengan materi segar yang diambil dari pustula (nanah) matang dari seorang penderita cacar. Lalu materi itu dimasukkan di bawah kulit pada lengan atau tungkai orang yang non-imun. Terma ‗inokulasi‘ digunakan bergantian dengan ‗variolasi‘ untuk merujuk kepada pengertian yang sama. Inokulasi telah diterapkan di Afrika, India, dan China, jauh hari sebelum diperkenalkan di Eropa pada abad ke 18. Variolasi bisa menurunkan kematian sampai sebesar 2 hingga 3% pada orang-orang yang divariolasi. Variolasi dengan cepat menjadi populer di semua strata, termasuk di kalangan aristokrat (karena banyak raja, pangeran, dan keluarga bangsawan terjangkit cacar) di Inggris, Perancis, Rusia, Prusia, bagian Eropa lainnya. Variolasi diperkenalkan di Amerika Utara melalui Boston. Tetapi variolasi bukan tanpa risiko. Sejumlah individu menjadi kebal, tetapi banyak pula yang menderita cacar, meninggal, atau menyebarkan cacar kepada orang lain. Bahkan penerima dapat menyebarkan penyakit lain seperti sifilis dan tuberkulosis melalui jalan darah (Riedel, 2005).
Edward Jenner (1749–1823). Edward Jenner adalah penemu metode pencegahan cacar yang lebih aman, disebut vaksinasi (Gambar 6). Jenner lahir di Berkeley, Gloucestershire pada 1749, anak seorang pendeta komunitas gereja (Parish) setempat bernama Stephen Jenner. Pada 1764 ketika berusia 14 tahun, dia magang pada seorang dokter bedah setempat bernama George Harwicke. Selama beberapa tahun dia banyak memperoleh pengetahuan tentang praktik bedah dan kedokteran. Pada usia 21 tahun Jenner sekolah kedokteran di St. George‘s Hospital di London, dan menjadi murid John Hunter, seorang ahli bedah termashur, ahli biologi, anatomi, dan ilmuwan eksperimen. Pada 1772 dia kembali ke Berkely dan menghabiskan sebagian besar karirnya sebagai dokter di kota kelahirannya.
Di masa remaja Jenner beredar keyakinan di kalangan penduduk pedesaan bahwa wanita pemerah susu yang pernah menderita cowpox (cacar sapi) ringan akan terlindungi dari penyakit cacar. Dia mendengar pengakuan salah seorang pemerah susu: "I can't take the smallpox for I have already had the cowpox". Cerita itu menimbulkan ide pada Jenner bahwa pencegahan cacar mestinya bisa dilakukan dengan cara memberikan bahan yang diambil dari penderita cowpox kepada individu sehat, dan terdapat mekanisme proteksi yang ditularkan dari orang yang terlindungi ke orang lain. Setelah melalui proses yang panjang baru pada 1796 Jenner mengambil langkah pertama yang berpengaruh besar dalam sejarah kemanusiaan. Pada Mei 1796 Jenner melakukan eksperimen pertamanya yang kemudian menjadi sangat termashur. Jenner menemukan seorang wanita muda pemerah susu, Sarah Nelms, yang tengah mengalami lesi baru cowpox pada lengan dan tangannya. Jenner mengambil pus (nanah) dari pustula pada pemerah susu itu dan mencangkokkannya pada lengan seorang anak berusia 8 tahun bernama James Phipps. Anak tersebut mengalami demam ringan dan ketidaknyamanan pada ketiaknya. Sembilan hari setelah prosedur, anak itu mengalami kedinginan dan kehilangan selera makan, tetapi hari berikutnya merasa jauh lebih baik. Pada Juli 1796 Jenner melakukan inokulasi lagi, tetapi kali ini dengan materi segar dari lesi cacar. Ternyata Phipps tidak mengalami penyakit cacar, sehingga Jenner mengambil kesimpulan bahwa anak tersebut telah terlindungi dengan sempurna (Gordis, 2000; Riedel, 2005)
Temuan Jenner dicemoohkan. Kritik terutama dilancarkan oleh para pendeta yang menyatakan bahwa mencangkokkan materi dari hewan mati kepada seorang manusia merupakan tindakan yang tidak patut dan tidak tidak diberkati Tuhan. Bahkan pada 1802 muncul sebuah kartun satiris yang menggambarkan orang-orang yang telah divaksinasi berkepala sapi. Pada 1797 Jenner mengirimkan sebuah paper berisi laporan pendek kepada the Royal Society tentang hasil eksperimen dan pengamatannya. The Royal Society menolak paper itu. Lalu setelah menambahkan beberapa kasus baru pada eksperimennya, Jenner menerbitkan sebuah buku pada 1798 bertajuk ―An Inquiry into the Causes and Effects of the Variolae Vaccinae, a Disease Discovered in Some of the Western Counties of England, Particularly Gloucestershire and Known by the Name of Cow Pox‖. Jenner menamai prosedur baru itu vaksinasi, berasal dari kata latin ‗vacca‘ artinya sapi, dan ‗vaccinia‘ artinya cacar sapi (cowpox) (Rieldel, 2005).
Setelah puluhan tahun dicemoohkan akhirnya Jenner mendapatkan pengakuan melalui bukti nyata tentang keuntungan dan proteksi yang dihasilkan vaksinasi yang lebih efektif dan aman daripada variolasi dan cara lainnya. Prosedur vaksinasi kemudian diterapkan secara luas di Inggris dan banyak negara lain. Meskipun mendapat pengakuan dan kehormatan di seluruh dunia, Jenner tidak mencoba memperkaya diri dengan penemuannya. Dia dedikasikan waktunya untuk meneliti vaksin cacar dan melayani vaksinasi gratis bagi orang miskin yang dilakukannya pada gubuk ‗Temple of Vaccinia‘ di tempat praktik di kota kelahirannya Berkeley. Dia meninggal 26 Januari 1823. Berangsur-angsur vaksinasi menggantikan variolasi di Inggris dan dunia. Di India vaksinasi diperkenalkan pada 1802 oleh seorang dokter, Jean de Carro, untuk menggantikan variolasi. Variolasi dilarang dilakukan di Inggris pada 1840 (Riedel, 2005, BBC, 2010; The College of Physicians of Philadelphia, 2010).
Pada akhir abad ke 19 disadari bahwa vaksinasi tidak memberikan imunitas seumur hidup, sehingga diperlukan revaksinasi. Mortalitas karena cacar telah menurun, tetapi epidemi yang masih terjadi menunjukkan bahwa penyakit itu belum dapat dikendalikan sepenuhnya. Pada 1950an setelah dilakukan sejumlah langkah-langkah pengendalian, cacar telah berhasil dibasmi di banyak daerah di Eropa dan Amerika Utara. Gerakan global pembasmian cacar dicanangkan pada sidang the World Health Assembly pada 1958 setelah diterima laporan tentang akibat-akibat katasrofik dari cacar yang terjadi di 63 negara. Kampanye global melawan cacar yang dipimpin WHO akhirnya berhasil membasmi cacar pada 1977. Pada Mei 1980, WHO mengumumkan bahwa dunia telah bebas dari cacar dan merekomendasikan agar semua negara berhenti melakukan vaksinasi. Pernyataan WHO: ―The world and all its people have won freedom from smallpox, which was the most devastating disease sweeping in epidemic form through many countries since earliest times, leaving death, blindness and disfigurement in its wake‖ (Riedel, 2005; BBC, 2010).
Edward Jenner dengan eksperimennya telah berjasa besar menyelamatkan ratusan juta manusia di seluruh dunia dari kecacatan dan kematian karena cacar. Satu hal perlu dicatat, pada era Jenner (abad ke 17) belum dikenal virologi. Jenner sendiri meskipun diakui sebagai Bapak Imunologi, sesungguhnya bukan ahli virologi dan tidak tahu menahu tentang virus maupun biologi penyakit cacar. Virologi baru dikenal abad ke 18, dan virus cacar baru ditemukan beberapa dekade setelah Jenner meninggal. Tetapi kemajuan-kemajuan ilmiah yang terjadi selama dua abad sejak eksperimen Edward Jenner pada James Phipps telah memberikan bukti-bukti bahwa Jenner lebih banyak benarnya daripada salahnya. Teori kuman (Germ Theory) tentang penyakit, penemuan dan studi tentang virus, serta pengetahuan modern tentang imunologi, semuanya cenderung mendukung konklusi Jenner (Riedel, 2005; BBC, 2010).
Jenner sebenarnya bukan orang pertama yang melakukan vaksinasi. Menurut Riedel (2005), ada orang yang lebih dulu melakukan vaksinasi dengan menggunakan materi cacar sapi, yaitu Benjamin Jesty (1737–1816). Ketika daerahnya pertama kali dilanda cacar pada 1774, Jesty berikhtiar melindungi nyawa keluarganya. Jesti menggunakan kelenjar susu ternak sapi yang dia yakini mengandung cacar sapi, dan memindahkan materi itu dengan sebuah lanset kecil ke lengan istri dan kedua anak laki-lakinya. Ketiga serangkai terbebas dari cacar meskipun di kemudian hari beberapa kali terpapar cacar. Tetapi Jestypun bukan orang pertama dan terakhir yang melakukan eksperimen vaksinasi. Cara berpikir Jenner yang bebas dan progresif telah berhasil memanfaatkan data eksperimental dan observasi untuk upaya pencegahan penyakit. Selain itu Jenner berhasil meyakinkan dunia bahwa prosedur ilmiahnya benar. Tulis Francis Galton: ―In science credit goes to the man who convinces the world, not the man to whom the idea first occurs‖ (Riedel, 2005; BBC, 2010).
Pandemi Kolera
Pada 1816-1826 terjadi pandemi pertama kolera di berbagai bagian dunia. Penyakit itu menyerang korban dengan diare berat, muntah, sering kali berakibat fatal. Pandemi dimulai di Bengal (India), lalu menyebar melintasi India tahun 1820. Sebanyak 10,000 tentara Inggris dan tak terhitung penduduk India meninggal selama pandemi tersebut. Pandemi kolera meluas ke China, Indonesia (lebih dari 100,000 orang meninggal di pulau Jawa saja), dan Laut Kaspia, sebelum akhirnya mereda. Kematian di India antara 1817-1860 diperkirakan mencapai lebih dari 15 juta jiwa. Sebanyak 23 juta jiwa lainnya meninggal antara 1865-1917. Kematian penduduk di Rusia pada periode yang sama mencapai lebih dari 2 juta jiwa.
Pandemi kolera kedua terjadi 1829-1851, mencapai Rusia, Hungaria (sekitar 100,000 orang meninggal) dan Jerman pada 1831, London pada 1832 (lebih dari 55,000 orang meninggal di Inggris), Perancis, Kanada (Ontario), dan Amerika Serikat (New York) pada tahun yang sama, pantai Pasifik Amerika Utara pada 1834. Outbreak selama dua tahun terjadi di Inggris dan Wales pada 1848 dan merenggut nyawa 52,000 jiwa (Wikipedia, 2010a).
Influenza Besar (1918 - 1919 )
Pada Maret 1918 hingga Juni 1920 terjadi pandemi luar biasa yang disebut Influenza Besar (Flu Spanyol, The Great Influenza) (Gambar 7). Peristiwa itu dianggap pandemi yang paling mematikan dalam sejarah kemanusiaan. Penderita flu meninggal dalam tempo beberapa hari atau beberapa jam sejak gejala klinis. Virus influenza strain subtipe H1N1 yang sangat virulen diperkirakan menyerang 500 juta orang di seluruh dunia dan membunuh 50 hingga 100 juta orang hanya dalam waktu 6 bulan. Tidak seperti outbreak influenza lainnya, wabah Flu Spanyol tidak hanya menyerang orang dewasa tetapi juga anak-anak. Sebuah studi mengatakan, wabah itu menyerang 8-10 persen dari semua dewasa muda (eHow, 1999; Epic Disasters, 2010)
Pandemi Flu diperparah karena kondisi selama Perang Dunia I, khususnya berkumpulnya sejumlah besar pemuda di barak-barak militer. Flu tersebut dimulai dari mutasi terbatas di Haskell Country, Kansas (AS), lalu ditularkan melalui perpindahan masif serdadu Amerika dari basis ke basis, selanjutnya disebarkan ke seluruh dunia melalui perjalanan internasional para serdadu. Salah satu penderita adalah Presiden AS waktu itu, Woodrow Wilson, yang terkena flu pada akhir perang. Untuk mencegah penularan dianjurkan untuk tidak melakukan pertemuan kelompok, dan pemakamam wajib dilakukan dalam tempo 15 menit (eHow, 1999; Epic Disasters, 2010).
Sebuah riset yang dilakukan dengan menggunakan sampel jaringan beku dari korban untuk mereproduksi virus, menyimpulkan, virus membunuh korban via ―badai sitokin‖ (over-reaksi sistem imun tubuh dengan terbentuknya sitokin proinflamasi). Temuan itu dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa virus flu tersebut menjadi sangat virulen, dan mengapa distribusi penyakit terkonsentrasi pada kelompok umur tertentu. Over-reaksi sistem imun menyebabkan kerusakan dahsyat pada tubuh dewasa muda (seperti serdadu AS) yang memiliki sistem imun kuat, tetapi menyebabkan jumlah kematian yang lebih sedikit pada anak-anak dan dewasa tua yang memiliki sistem imun lebih lemah (Wikipedia, 2010d).
Pandemi flu besar memang dahsyat, karena pada waktu itu jumlah penduduk di dunia hanya 1.8 milyar. Seandainya Flu Spanyol itu terjadi sekarang dengan cara transmisi sama, maka wabah seperti itu bisa menyebabkan kematian 350 juta orang dalam tempo 6 bulan. Skenario seperti itu menyebabkan media massa dan banyak kalangan khawatir akan terulang ketika epidemi flu burung merebak pada pertengahan dekade 2000an.
Perkembangan Statistik Vital
John Graunt (1620-1674). Sejak 1538 setiap pemakaman jenazah pada komunitas-komunitas gereja (Parish) di Inggris harus disertai dokumen agar pemakaman tersebut legal. Dokumen itu merupakan prekursor (cikal) surat kematian modern yang dikenal dewasa ini. Para carik (clerk, juru tulis) dari masing-masing Parish mengkompilasi jumlah kematian setiap minggu dan setiap tahun. Kompilasi itu disebut Bills of Mortality. Bills of Mortality dibuat secara teratur tiap minggu, dengan tujuan untuk memberikan informasi kepada otoritas dan penduduk tentang peningkatan atau penurunan jumlah kematian, khususnya sehubungan dengan wabah sampar (The Black Death) yang tengah melanda Inggris dan Eropa pada masa itu. Sejak 1570 Bills of Mortality mencatat pula pembaptisan (umumnya kepada bayi, kadang-kadang orang dewasa), 1629 tentang kausa kematian, dan awal abad ke 18 tentang umur saat kematian (Answers Corporation, 2010; Last, 2010).
Medio abad ke 17 seorang pedagang pakaian (haberdasher) di London bernama John Graunt tertarik untuk memperbaiki Bills of Mortality di London. John Graunt memanfaatkan catatan kelahiran dan kematian untuk mempelajari fluktuasi epidemi sampar dan pengaruhnya terhadap jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Graunt meragukan klaim estimasi jumlah penduduk London yang dianggapnya terlalu besar. Karena itu dia menciptakan metode untuk menghitung populasi berdasarkan jumlah kelahiran dan pemakaman mingguan yang terdaftar pada Bills of Mortality. Populasi London menurut hitungannya 384,000 orang, jauh lebih rendah daripada taksiran sebelumnya sebesar 2 juta jiwa (Answers Corporation, 2010).
Graunt menggunakan sejumlah tabel untuk lebih memperjelas analisis perhitungannya. Sebagai contoh, dengan sebuah tabel Graunt menunjukkan, kelahiran anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan, tetapi jumlah laki-laki tidak lebih banyak daripada perempuan ketika mereka melewati masa kanak-kanak. Analisis Graunt, hal itu terjadi karena laki-laki memiliki kecenderungan lebih besar daripada perempuan untuk berpindah, mengalami kecelakaan, meninggal karena perang, atau dihukum mati. Graunt juga menemukan, angka kematian lebih tinggi pada daerah urban daripada rural, dan bervariasi menurut musim (Rocket, 1999; Saracci, 2010; Answers Corporation, 2010).
Graunt sampai pada kesimpulan bahwa kelahiran dan kematian sesungguhnya bervariasi secara teratur, karena itu dapat diramalkan. Lalu Graunt menciptakan sebuah tabel untuk memeragakan berapa banyak individu dari sebuah populasi terdiri atas 100 individu yang akan bertahan hidup pada umur-umur tertentu. Tabel temuan John Graunt ini disebut ‗tabel hidup‘ (life table, tabel mortalitas). Dengan tabel hidup dapat diprediksi jumlah orang yang akan mampu melangsungkan hidupnya pada masing-masing usia dan harapan hidup kelompok-kelompok orang dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, dengan tabel hidup dapat diestimasi berapa proporsi dari anak yang lahir hidup akan meninggal sebelum mencapai usia 6 tahun. Estimasi Graunt, 36% anak lahir hidup akan meninggal karena semua sebab sebelum mencapai usia 6 tahun.
Graunt mempublikasikan karyanya dalam ―Natural and Political Observations … Made upon the Bills of Mortality‖ pada 1662 (Gambar 8). Buku tersebut sangat populer dan diterima oleh banyak kalangan, sehingga diterbitkan sampai 5 edisi. Karena buku itu maka Graunt diangkat sebagai anggota the Royal Society dengan rekomendasi langsung Charles II, suatu kehormatan yang tidak biasa dianugerahkan kepada seorang pedagang di London. Graunt sendiri sesungguhnya tidak memiliki pendidikan formal matematika. Para ahli sejarah menduga, buku Graunt banyak mendapatkan bantuan dari temannya yang berpendidikan lebih tinggi, William Petty (1623-1687) (Rockett, 1999; Saracci, 2010; Wikipedia, 2010e; Answers Corporation, 2010).
Pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke 18 tabel hidup Graunt disempurnakan oleh matematikawan dan astronom termashur Edmund Halley (1656–1742) dan Antoine de Parcieux. Dewasa ini tabel hidup yang diciptakan John Graunt masih merupakan salah satu instrumen utama dalam demografi, epidemiologi, dan sains aktuarial (misalnya, asuransi). Ahli epidemiologi menggunakan tabel hidup untuk menghitung harapan hidup waktu lahir (life expectancy at birth) sebagai salah satu indikator utama status kesehatan populasi. Tabel hidup juga digunakan untuk menganalisis probabilitas kelangsungan hidup seorang pasien dengan suatu diagnosis penyakit dengan atau tanpa pengobatan. Karena penemuannya yang signifikan di bidang statistik vital, maka John Graunt disebut ―Columbus biostatistik‖(Rocket, 1999; Saracci, 2010; Answers Corporation, 2010; Videojug, 2010).
Di bagian lain puisi Empedocles menunjukkan, dia telah mempraktikkan epidemiologi terapan. Pada masa itu penduduk sebuah kota dekat dengan Agrigentum, yaitu Selinunta, tengah dilanda epidemi penyakit dengan gejala panas seperti malaria. Empedocles mendeteksi, penyebabnya terletak pada genangan air dan rawa yang berisi air terkontaminasi. Empedocles mengatasi masalah itu dengan membuka kanal (terusan) dan mengosongkan genangan air ke laut. Dengan membuka dua sungai besar dan menghubungkannya dengan laut, mengeringkan rawa, Empedocles berhasil menurunkan epidemi yang menjangkiti penduduk Selinunta. Empedocles berhasil membuat Selinunta sebuah kota sehat dengan sistem irigasi yang dibiayainya. Karya sanitasi ini bisa dipandang sebagai Projek Kesehatan Masyarakat pertama di muka bumi (Stathakou et al., 2007).
Pada baris puisi lainnya Empedocles menyebutkan, ―Miserable men, wholly miserable, restrain your hands from beans ―. Baris itu merujuk kepada suatu penyakit defisiensi genetik G6PD di dalam sel darah merah. Penyakit itu menyebabkan anemia hemolitik pada individu yang sensitif jika mengkonsumsi sejenis kacang-kacangan atau terpapar oleh bunga tanaman tersebut. Studi epidemiologi beberapa tahun yang lalu menunjukkan, terdapat sekitar 2% hingga 30% populasi di Sisilia (tergantung daerahnya) menderita penyakit defisiensi genetik G6PD. Diduga Empedocles membuat anjuran pencegahan penyakit itu berdasarkan pada pengamatan epidemiologis dan pengalaman klinis (Stathakou et al., 2007; Wikipedia, 2010emp).
Empedocles juga dikabarkan telah melakukan penyembuhan sampar di kota Athena dengan menggunakan api. Dia melakukan cara serupa, yaitu metode disinfeksi menggunakan asap, untuk mengatasi sampar di kota kelahirannya. Secara keseluruhan pandangan dan karya Empedocles merupakan prekursor kedokteran modern dan epidemiologi, mendahului Hippocrates yang lebih dikenal sebagai Bapak Kedokteran Modern (Stathakou et al., 2007; Wikipedia, 2010emp).
Aristoteles (384-322 SM). Aristoteles adalah seorang filsuf dan ilmuwan Yunani, berasal dari Stagira. Anak seorang dokter, Aristoteles merupakan murid Plato. Tetapi berbeda dengan gurunya dalam penggunaan metode untuk mencari pengetahuan, Aristoteles berkeyakinan, seorang dapat dan harus mempercayai panca-indera di dalam mengivestigasi pengetahuan dan realitas.
Aristoteles merupakan filsuf dan ilmuwan serba-bisa. Tulisannya mencakup aneka subjek. Tulisan resminya tentang anatomi manusia tidak diketemukan, tetapi banyak karyanya tentang binatang menunjukkan bahwa dia telah menggunakan pengamatan langsung dan perbandingan anatomis antar spesies melalui diseksi (penyayatan). Aristoteles memberikan fondasi bagi metode ilmiah.
Di sisi lain Aristoteles juga melakukan sejumlah kekeliruan. Dia mengkompilasi dan memperluas karya para filsuf alam Yunani sebelumnya, dan merumuskan hipotesis bahwa materi mati dapat ditransformasikan secara spontan oleh alam menjadi binatang hidup, dan proses itu bisa terjadi di mana saja dalam kehidupan sehari-hari. Teori itu disebut Generasi Spontan (―spontaneous generation‖, ―equivocal generation‖, abiogenesis), yang bertolak belakang dengan teori ―univocal generation‖ (teori reproduksi, biogenesis) bahwa kehidupan berasal dari reproduksi benda hidup. Sampai duaratus tahun yang lampau sebagian ilmuwan klasik percaya kepada vitalisme, suatu gagasan bahwa materi mati seperti kotoran, rumput mati, daging yang membusuk, memiliki vitalitas di dalamnya, yang memungkinkan terciptanya kehidupan sederhana secara spontan (Genesis Park, 2001; Wikipedia, 2010aris).
Setelah bertahan berabad-abad lamanya, akhirnya hipotesis generasi spontan digerus oleh bukti empiris baru yang membuktikan bahwa hipotesis itu salah. Pada abad ke 17 Francisco Redi melakukan eksperimen yang memeragakan bahwa larva terjadi bukan dari daging, melainkan karena lalat yang meletakkan telurnya di atas daging. Pada 1858 Rudolf Virchow memperkuat kesimpulan itu dalam publikasi epigramnya berjudul ―Omnis cellula e cellula‖ ("setiap sel berasal dari sel lainnya yang serupa‖). Pada 1860 Louis Pasteur melakukan sterilisasi nutrien dan menyimpannya ke dalam botol bersegel, ternyata tidak terjadi kuman. Temuan itu memeragakan bahwa ―hanya kehidupan yang bisa menghasilkan kehidupan‖ (omne vivum ex ovo), disebut hukum biogenesis (Genesis Park, 2001; Wikipedia, 2010aris; Wikipedia, 2010rv).
Humoralisme. Humoralisme atau Humorisme adalah teori yang menjelaskan bahwa tubuh manusia diisi atau dibentuk oleh empat bahan dasar yang disebut humor (cairan). Keempat humor itu adalah empedu hitam, empedu kuning, flegma (lendir), dan darah (Gambar 2). Pada orang yang sehat, keempat humor berada dalam keadaan seimbang. Sebaliknya semua penyakit disebabkan oleh ketidakseimbangan humor, sebagai akibat dari kelebihan atau kekurangan salah Konsep empat humor berasal dari Yunani kuno dan Mesopotamia, tetapi baru dikonseptualisasi secara sistematis oleh para filsuf Yunani kuno, termasuk Hippocrates sekitar 400 SM. Para filsuf Yunani menghubungannya dengan Teori Empat Elemen: bumi, api, air, dan udara. Bumi terutama berada dalam empedu hitam, api di dalam empedu kuning, air dalam lendir, dan semua elemen ada di dalam darah (Wikipedia, 2010h).
Komunitas medis Yunani, Romawi, dan kemudian Muslim dan Eropa Barat, selama berabad-abad mengadopsi dan mengadaptasi filosofi kedokteran klasik. Humoralisme sebagai sebuah teori kedokteran populer selama beberapa abad, terutama karena pengaruh tulisan Galen (131–201). Menurut Galen, kesehatan dihasilkan dari keseimbangan humor, atau eukrasia. Sebaliknya ketidakseimbangan humor, atau diskrasia, dipandang merupakan kausa langsung semua penyakit.
Kualitas humor mempengaruhi sifat penyakit yang dihasilkan. ―Empedu kuning‖ menyebabkan penyakit panas, dan ―flegma‖ menyebabkan penyakit dingin. Menurut Galen, aneka jenis makanan memiliki potensi yang beragam untuk menghasilkan berbagai humor. Demikian juga musim sepanjang tahun, periode kehidupan, area geografis, dan jenis pekerjaan, mempengaruhi sifat humor yang terbentuk. Sebagai contoh, makanan hangat (misalnya, cabe dan lada di Barat disebut ―hot‖) cenderung menghasilkan ―empedu kuning‖, menyeimbangkan defisit humor itu pada musim dingin. Makanan dingin cenderung menghasilkan ―flegma‖, menyeimbangkan defisit humor itu pada musim panas. Pada zaman yang hampir bersamaan, kedokteran kuno di India juga mengembangkan Ayurveda yang menggunakan teori tiga humor, yang berkaitan dengan lima unsur Hindu (Wikipedia, 2010h).
Pada 1912, Fahreus, seorang dokter Swedia yang menciptakan tingkat sedimentasi eritrosit, mengemukakan bahwa konsep keempat humor mungkin didasarkan pada fenomena pembekuan darah yang bisa diamati pada botol transparan. Jika darah diletakkan ke dalam sebuah botol kaca dan dibiarkan tanpa diganggu selama sekitar satu jam, akan terlihat empat lapis yang berbeda. Bentuk beku berwarna hitam pada dasar (―empedu hitam‖). Di atas bekuan terdapat lapisan sel darah merah (―darah‖). Di atasnya terdapat lapisan putih (―flegma‖, ―lendir‖). Lapisan paling atas adalah serum berwarna kuning jernih (―empedu kuning‖) (Wikipedia, 2010h).
Doktrin patologi humoral mendapat sanggahan ketika Rudolf Virchow (1821-1902) pada 1858 mengemukakan teori baru tentang penyakit dalam bukunya ―Cellular Pathology‖. Virchow menerapkan Teori Sel yang menekankan bahwa penyakit timbul tidak di dalam organ atau jaringan secara umum, melainkan pada masing-masing sel. Virchow mengibaratkan tubuh sebagai ―sebuah negara sel di mana masing-masing sel merupakan warga‖. Menurut Virchow, penyakit terjadi karena ―terdapat konflik antar warga-warga di dalam negara, yang disebabkan oleh kekuatan dari luar‖ (Wikipedia, 2010rv).
Dewasa ini sains kedokteran modern memandang doktrin patologi humoral keliru. Meskipun demikian keberadaan humoralisme dalam sejarah telah memberikan kontribusi dari kedokteran berdasarkan tahayul menuju kedokteran modern. Sejak timbulnya teori humoral, para ilmuwan kedokteran mulai mencari kausa biologis penyakit dan memberikan pengobatan secara biologis ketimbang mencari solusinya pada ranah supernatural. Kini sisa-sisa teori humoralisme masih bisa diidentifikasi dalam bahasa kedokteran. Sebagai contoh, praktisi kedokteraan menggunakan terma imunitas humoral atau regulasi humoral untuk merujuk kepada substansi yang beredar di seluruh tubuh (misalnya, hormon dan antibodi). Demikian juga masih dikenal istilah diskrasia darah untuk merujuk kepada penyakit atau abnormalitas darah.
Konsep empat humor berasal dari Yunani kuno dan Mesopotamia, tetapi baru dikonseptualisasi secara sistematis oleh para filsuf Yunani kuno, termasuk Hippocrates sekitar 400 SM. Para filsuf Yunani menghubungannya dengan Teori Empat Elemen: bumi, api, air, dan udara. Bumi terutama berada dalam empedu hitam, api di dalam empedu kuning, air dalam lendir, dan semua elemen ada di dalam darah (Wikipedia, 2010h).
Komunitas medis Yunani, Romawi, dan kemudian Muslim dan Eropa Barat, selama berabad-abad mengadopsi dan mengadaptasi filosofi kedokteran klasik. Humoralisme sebagai sebuah teori kedokteran populer selama beberapa abad, terutama karena pengaruh tulisan Galen (131–201). Menurut Galen, kesehatan dihasilkan dari keseimbangan humor, atau eukrasia. Sebaliknya ketidakseimbangan humor, atau diskrasia, dipandang merupakan kausa langsung semua penyakit.
Kualitas humor mempengaruhi sifat penyakit yang dihasilkan. ―Empedu kuning‖ menyebabkan penyakit panas, dan ―flegma‖ menyebabkan penyakit dingin. Menurut Galen, aneka jenis makanan memiliki potensi yang beragam untuk menghasilkan berbagai humor. Demikian juga musim sepanjang tahun, periode kehidupan, area geografis, dan jenis pekerjaan, mempengaruhi sifat humor yang terbentuk. Sebagai contoh, makanan hangat (misalnya, cabe dan lada di Barat disebut ―hot‖) cenderung menghasilkan ―empedu kuning‖, menyeimbangkan defisit humor itu pada musim dingin. Makanan dingin cenderung menghasilkan ―flegma‖, menyeimbangkan defisit humor itu pada musim panas. Pada zaman yang hampir bersamaan, kedokteran kuno di India juga mengembangkan Ayurveda yang menggunakan teori tiga humor, yang berkaitan dengan lima unsur Hindu (Wikipedia, 2010h).
Pada 1912, Fahreus, seorang dokter Swedia yang menciptakan tingkat sedimentasi eritrosit, mengemukakan bahwa konsep keempat humor mungkin didasarkan pada fenomena pembekuan darah yang bisa diamati pada botol transparan. Jika darah diletakkan ke dalam sebuah botol kaca dan dibiarkan tanpa diganggu selama sekitar satu jam, akan terlihat empat lapis yang berbeda. Bentuk beku berwarna hitam pada dasar (―empedu hitam‖). Di atas bekuan terdapat lapisan sel darah merah (―darah‖). Di atasnya terdapat lapisan putih (―flegma‖, ―lendir‖). Lapisan paling atas adalah serum berwarna kuning jernih (―empedu kuning‖) (Wikipedia, 2010h).
Doktrin patologi humoral mendapat sanggahan ketika Rudolf Virchow (1821-1902) pada 1858 mengemukakan teori baru tentang penyakit dalam bukunya ―Cellular Pathology‖. Virchow menerapkan Teori Sel yang menekankan bahwa penyakit timbul tidak di dalam organ atau jaringan secara umum, melainkan pada masing-masing sel. Virchow mengibaratkan tubuh sebagai ―sebuah negara sel di mana masing-masing sel merupakan warga‖. Menurut Virchow, penyakit terjadi karena ―terdapat konflik antar warga-warga di dalam negara, yang disebabkan oleh kekuatan dari luar‖ (Wikipedia, 2010rv).
Dewasa ini sains kedokteran modern memandang doktrin patologi humoral keliru. Meskipun demikian keberadaan humoralisme dalam sejarah telah memberikan kontribusi dari kedokteran berdasarkan tahayul menuju kedokteran modern. Sejak timbulnya teori humoral, para ilmuwan kedokteran mulai mencari kausa biologis penyakit dan memberikan pengobatan secara biologis ketimbang mencari solusinya pada ranah supernatural. Kini sisa-sisa teori humoralisme masih bisa diidentifikasi dalam bahasa kedokteran. Sebagai contoh, praktisi kedokteraan menggunakan terma imunitas humoral atau regulasi humoral untuk merujuk kepada substansi yang beredar di seluruh tubuh (misalnya, hormon dan antibodi). Demikian juga masih dikenal istilah diskrasia darah untuk merujuk kepada penyakit atau abnormalitas darah. Demikian juga bagi epidemiologi, teori humoralisme merupakan sebuah kemajuan menuju pandangan modern tentang kesehatan manusia. Teori humoralisme telah memainkan peran penting dalam menggantikan pandangan superstitif sebelumnya yang mencoba menjelaskan penyakit sebagai akibat dari ruh jahat.
Hippocrates (377-260 SM). Hippocrates adalah seorang filsuf dan dokter Yunani pasca-Socrates, yang dikenal sebagai Bapak Kedokteran Modern (Gambar 3). Hippocrates telah membebaskan hambatan filosofis cara berpikir orang-orang pada zaman itu yang bersifat spekulatif dan superstitif (tahayul) dalam memandang kejadian penyakit. Hippocrates memberikan kontribusi besar dengan konsep kausasi penyakit yang dikenal dalam epidemiologi dewasa ini, bahwa penyakit terjadi karena interaksi antara ‗host-agent-environment‘ (penjamu-agen-lingkungan). Dalam bukunya yang "On Airs, Waters and Places" (―Tentang Udara, Air, dan Tempat‖) yang diterjemahkan Francis Adam, Hipoccrates mengatakan, penyakit terjadi karena kontak dengan jazad hidup, dan berhubungan dengan lingkungan eksternal maupun internal seseorang (Rocket, 1999; Bannis & Assocatiates, 2001; Grammaticos dan Diamantis, 2003; Saracci, 2010).
Pandangan Hippocrates tentang kausa penyakit dipengaruhi oleh filsafat Empat Elemen dan Humoralisme Yunani kuno. Sebagai contoh, Hippocrates menegaskan peran penting iklim, sifat-sifat udara, angin, kualitas udara dan air, bagi kesehatan. Sebuah kutipan dari buku itu menyebutkan, ―Whoever wishes to investigate medicine properly should proceed thus: in the first place to consider the seasons of the year, and what effects each of them produces. Then the winds,the hot and the cold, especially such as are common to all countries, and then such as are peculiar to each locality…‖ Artinya, siapapun yang ingin mempelajari ilmu kedokteran dengan benar hendaknya melakukan langkah-langkah sebagai berikut: pertama-tama pertimbangkan musim sepanjang tahun dan efek yang dihasilkannya. Lalu angin, yang panas maupun dingin, terutama yang dialami oleh semua negara, lalu yang dialami secara khusus oleh daerah setempat (Rocket, 1999; Bannis & Assocatiates, 2001; Grammaticos dan Diamantis, 2003; Saracci, 2010).
Hippocrates mengemukakan teori ‗miasma‘, bahwa suatu materi bisa mengkontaminasi udara dan jika materi itu memasuki tubuh manusia, maka akan terjadi penyakit. ‗Miasma‘ atau ‗miasmata‘ berasal dari kata Yunani yang berarti ‗something dirty‘ (sesuatu yang kotor) atau ‗bad air‘ (udara buruk). Sebagai contoh, Hippocrates menyebutkan, ―di dalam luka terdapat miasmata yang menyebabkan penyakit jika memasuki tubuh…‖ Sejak itu teori miasma digunakan untuk menerangkan penyebab penyakit. Dua puluh tiga abad kemudian, berkat penemuan mikroskop oleh Anthony van Leuwenhoek, Louis Pasteur menemukan bahwa materi yang disebut ‗miasma‘ tersebut sesungguhnya merupakan ‗mikroba‘, sebuah kata Yunani yang artinya kehidupan mikro (small living) (Rockett, 1999; Bannis & Assocatiates, 2001; Grammaticos dan Diamantis, 2003).
Kausa penyakit menurut Hippocrates tidak hanya terletak pada lingkungan, tetapi juga dalam tubuh manusia. Sebagai contoh, dalam bukunya ―On the Sacred Disease‖ Hippocrates menyebutkan bahwa epilepsi bukan merupakan penyakit yang berhubungan dengan tahayul atau agama, melainkan suatu penyakit otak yang diturunkan. Dalam bidang psikiatri, Hippocrates mendahului teori Sigmund Freud dengan hipotesisnya bahwa kausa melankoli (suatu gejala kejiwaan atau emosi akibat depresi) yang dialami putra Raja Perdica II dari Macedonia adalah depresi yang dialami Perdica karena jatuh cinta secara rahasia dengan istri ayahnya (ibu tirinya) (Bannis & Assocatiates, 2001; Grammaticos dan Diamantis, 2003; Saracci, 2010).
Kontribusi Hippocrates untuk epidemiologi tidak hanya berupa pemikiran tentang kausa penyakit tetapi juga riwayat alamiah sejumlah penyakit. Dia mendeskripsikan perjalanan hepatitis akut pada bukunya ‗About Diseases‘: ―ikterus akut dengan cepat menyebar…urine menunjukkan warna agak kemerahan…panas tinggi, rasa tidak nyaman. Pasien meninggal dalam waktu 4 hingga 10 hari‖ (Bannis & Assocatiates, 2001; Grammaticos dan Diamantis, 2003). Dalam terminologi epidemiologi sekarang, ―meninggal dalam waktu 4 hingga 10 hari‖ sejak timbulnya gejala klinis merupakan durasi penyakit tersebut.
Era Romawi
Empedocles, Galen, Hippocrates, dan filsuf Yunani lainnya telah menunjukkan sejumlah determinan penting kesehatan manusia. Tetapi sebuah metode esensial epidemiologi modern yang belum mereka tunjukkan adalah kuantifikasi. Kuantifikasi kasus penyakit penting untuk menilai beratnya masalah kesehatan pada populasi maupun mengetahui etiologi penyakit pada level populasi. Temuan sejarah menunjukkan, pada abad ketiga, sekitar 800 tahun pasca Hippocrates, orang-orang Romawi telah membuat cacah jiwa tentang kehidupan mereka. Catatan kuantitatif cacah jiwa tersebut dapat dipandang merupakan prekursor tabel hidup (life table) dalam bentuk yang paling primitif. Tabel hidup dalam arti yang sesungguhnya, yaitu tabel yang berisi proporsi (probabilitas) orang untuk melangsungkan hidupnya pada tiap-tiap umur, baru diciptakan 13 abad kemudian oleh John Graunt di Inggris (Rockett, 1999).
The Black Death
Pada abad ke 13-14 terjadi epidemi penyakit dengan mortalitas tinggi di seluruh dunia, disebut The Black Death (penyakit sampar, pes, Bubonic plague). Penyakit sampar atau pes disebabkan oleh Yersinia pestis yang menginfeksi rodensia (terutama tikus), lalu menular ke manusia melalui gigitan kutu (flea). Penyakit sampar menyebabkan demam, pembengkakan kelenjar limfe, dan bercak-bercak merah di kulit, sehingga wabah sampar disebut Bubonic Plague (bubo‘ artinya inflamasi dan pembengkaan kelenjar limfe). The Black Death membunuh hampir 100 juta penduduk di seluruh dunia dalam tempo 300 tahun. Hampir sepertiga populasi Eropa (sekitar 34 juta) meninggal karena penyakit tersebut. Kematian dalam jumlah serupa terjadi pada penduduk China dan India. Timur Tengah dan benua Afrika juga mengalami epidemi tersebut. Meskipun jumlah total tidak diketahui, outbreak 1348 - 1349 diperkirakan telah membunuh 400,000 orang di Suriah (Rice dan McKay, 2001; Epic Disasters, 2010; Edmonds/ howstuffworks, 2010).
The Black Death dimulai pada awal 1330 ketika wabah sampar yang mematikan meletus di China. Pada waktu itu China merupakan pusat perdagangan paling ramai di dunia, sehingga epidemi sampar dengan cepat meluas ke Asia Barat dan Eropa. Pada Oktober 1347, sejumlah kapal dagang Italia kembali dari pelayaran di Laut Hitam yang merupakan kunci penghubung perdagangan Eropa dengan China. Ketika kapal berlabuh di bandar Messina di Sicilia, banyak penumpang kapal telah meninggal karena penyakit itu. Dalam waktu beberapa hari, penyakit menyebar ke seluruh kota dan sekitarnya. Korban penyakit sampar meninggal dengan cepat sehingga dilukiskan dengan ironis oleh penulis Italia, Giovanni Boccaccio, dalam bukunya The Decameron‘ tahun 1351: "ate lunch with their friends and dinner with their ancestors in paradise..." para korban makan siang bersama teman-teman dan makan malam bersama nenek-moyang di nirwana (Gambar 4)(Rice dan McKay, 2001; Epic Disasters, 2010; Edmonds/ howstuffworks, 2010).
Mula-mula penduduk percaya, penyakit sampar disebabkan kutukan Tuhan. Salah satu cara yang dilakukan penduduk untuk mencegah epidemi adalah mengubur korban sampar yang meninggal secepatnya. Tetapi upaya itu ternyata tidak membantu menurunkan wabah. Orang menarik pelajaran bahwa satu-satunya cara yang efektif untuk mengatasi The Black Death adalah mengisolasi individu yang terkena penyakit sampar dan keluarganya atau bahkan seluruh penduduk desa ke dalam karantina selama 40 hari. Periode karantina pertama kali diberlakukan Dalam terminologi epidemiologi sekarang, meninggal dalam waktu 4 hingga 10 hari sejak timbulnya gejala klinis merupakan durasi penyakit tersebut.
Secara tradisi The Black Death diyakini disebabkan oleh salah satu dari tiga bentuk Yersinia pestis (bubonik, pnemonik, dan spetikemik). Tetapi beberapa ilmuwan dewasa ini menduga, penyakit itu disebabkan suatu virus yang menyerupai Ebola atau antraks. Dua peneliti biologi molekuler dari Universitas Liverpool, Profesor Christopher Duncan dan Susan Scott, menganalisis sejarah Bubonic Plague dan menerapkan biologi molekuler dengan modeling menggunakan komputer. Berdasarkan analisis, Duncan dan Scott mengemukakan teori bahwa agen penyebab wabah sampar bukan suatu bakteri melainkan filovirus yang ditularkan langsung dari manusia ke manusia. Filovirus memiliki pertalian dengan virus Ebola yang melanda beberapa negara Afrika akhir abad ke 20. Menurut Profesor Duncan, gejala The Black Death ditandai oleh demam mendadak, nyeri, perdarahan organ dalam, dan efusi darah ke kulit yang menimbulkan bercak-bercak di kulit, khususnya sekitar dada. Karena itu Duncan dan Scott menamai epidemi penyakit sampar wabah hemoragis‘ (haemmorhagic plague), bukan Bubonic Plague yang lebih menonjolkan aspek pembesaran kelenjar limfe. Hasil riset Scott dan Duncan dipublikasikan dalam buku ‗Biology of Plagues‘, diterbitkan oleh Cambridge University Press (Connor, 2001; University of Liverpool, 2005).
Cacar dan Vaksinasi Edward Jenner
Pandemi Cacar. Cacar merupakan sebuah penyakit menular yang menyebabkan manifestasi klinis berat dan sangat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh virus Variola major atau Variola minor. Cacar disebut Variola atau Variola vera, berasal dari kata Latin ‗varius‘ yang berarti bercak, atau ‗varius‘ yang berarti gelembung kulit. Terma ‗smallpox‘ dalam bahasa Inggris digunakan pertama kali di Eropa pada abad ke 15 untuk membedakan cacar dengan ‗great pox‘ (sifilis). Masa inkubasi sekitar 12 hari. Virus cacar menempatkan diri di dalam pembuluh darah kecil di bawah kulit, mulut dan tenggorokan. Pada kulit penyakit ini menyebabkan keropeng (ruam) berbentuk makulopapular, kemudian membentuk gelembung kulit berisi cairan. Penderita cacar mengalami keropeng kulit, sehingga disebut ‗speckled monster‘ (monster bernoda). Selain itu cacar menyebabkan kebutaan karena ulserasi kornea dan infertilitas pada penderita pria. Variola major lebih sering dijumpai, menyebabkan bentuk klinis yang berat, dengan lebih banyak keropeng kulit, panas yang lebih tinggi, dengan case fatality rate 30-35%. Angka kematian karena Variola major pada anak bisa mencapai 80%. Variola minor memberikan manifestasi klinis yang lebih ringan disebut alastrim, lebih jarang terjadi, dengan angka kematian sekitar 1% dari korban. Gambar 5 menunjukkan seorang gadis muda Bangladesh yang terinfeksi variola tahun 1973 (Wikipedia, 2010aa).
Para ahli memperkirakan virus cacar mulai berevolusi dari bentuk virus yang menyerupai variola, ditularkan oleh sebuah rodensia (binatang pengerat) kuno di Afrika antara 16,000 dan 68,000 tahun yang lalu. Bentuk yang lebih berat diduga berasal dari Asia antara 400 dan 1600 tahun yang lalu. Alastrim minor, bentuk yang kedua ditemukan di Afrika barat dan benua Amerika, diduga telah berevolusi antara 1,400 dan 6,300 tahun yang lalu (Wikipedia, 2010aa).
Cacar diduga telah menjangkiti populasi manusia sekitar 10,000 SM. Catatan sejarah dari Asia menunjukkan bukti adanya penyakit menyerupai cacar di China kuno (1122 SM) dan India (1500 SM). Bukti fisik tertua tentang cacar ditunjukkan oleh lesi kulit pada mumi Firaun Ramses V dari Mesir yang meninggal 1157 SM. Terdapat spekulasi bahwa pedagang Mesir membawa cacar ke India selama milenium pertama SM, dan cacar menjadi penyakit endemik di India selama sedikit-dikitnya 2000 tahun. Tetapi sumber lain mengatakan, cacar dibawa ke India oleh orang-orang Portugis. Gambaran cacar yang meyakinkan ditemukan pada abad ke 4 di China dan ke 7 di India. Cacar diduga memasuki China selama abad pertama dari arah Barat Daya, dan pada abad ke 6 dibawa dari China ke Jepang. Di Jepang epidemi 735-737 diyakini telah membunuh lebih dari sepertiga penduduk. Sekurang-kurangnya tujuh dewa didedikasikan untuk cacar, seperti dewa Sopona di daerah Yoruba. Di India, dewi Hindu cacar, Sitala Mata, dipuja di candi-candi di seluruh negeri (Wikipedia, 2010aa; The College of Physicians of Philadelphia, 2010).
Sejarah kehadiran cacar di Eropa dan Barat Daya Asia tidak begitu jelas. Cacar tidak disebut-sebut dalam Kitab Perjanjian Lama maupun Baru, maupun dalam literatur Yunani dan Romawi. Para ilmuwan sepakat bahwa tidak mungkin Hippocrates tidak mendeskripsikan penyakit yang serius itu jika memang terdapat di daerah Mediterania. Para sejarawan menduga wabah Antonia (Antonine Plague) yang melanda Kekaisaran Roma pada 165–180 mungkin disebabkan oleh cacar, dan bala tentara Arab untuk pertama kali membawa cacar dari Afrika ke Barat Daya Eropa selama abad ke 7 dan 8. Pada abad ke 9, seorang dokter Persia, Rhazes, memberikan gambaran yang jelas tentang cacar dan merupakan orang pertama yang membedakan cacar dengan campak dan cacar air (varicella, chickenpox) dalam ―Kitab fi al-jadari wa-al-hasbah‖ (―Buku Cacar dan Campak‖) yang ditulisnya (Wikipedia, 2010aa).
Pada Abad Pertengahan, cacar menyerang secara berkala di Eropa, menjadi endemis setelah jumlah penduduk meningkat dan perpindahan penduduk meningkat pada zaman Perang Salib. Pada abad ke 16 cacar melanda sebagian besar Eropa. Di India, China, dan Eropa, cacar terutama menjangkiti anak-anak, dengan epidemi berkala yang menyebabkan kematian 30% dari yang terinfeksi. Pada 1545 epidemi cacar di Goa, India, menelan korban 8,000 anak meninggal. Secara epidemiologis timbulnya cacar di Eropa memiliki arti penting, sebab gelombang eksplorasi dan kolonisasi yang terus menerus dilakukan orang-orang Eropa pada abad ke 16 telah menyebarkan penyakit itu ke seluruh dunia. Selama abad ke 18 penyakit ini membunuh sekitar 400,000 penduduk Eropa per tahun (meliputi masa pemerintahan lima kerajaan), dan menyebabkan sepertiga di antaranya buta (Wikipedia, 2010aa; The College of Physicians of Philadelphia, 2010).
Pada akhir abad ke-18, sekitar 400,000 orang meninggal setiap tahun di seluruh dunia karena cacar. Pada abad ke 20 cacar menyebabkan sekitar 300–500 juta kematian. Belum terlalu lama, pada 1967, World Health Organization (WHO) memperkirakan 15 juta penduduk terjangkit penyakt itu dan 2 juta meninggal tahun itu. Setelah keberhasilan kampanye vaksinasi abad ke 19 dan 20, WHO menyatakan terbasminya cacar pada 1979. Dewasa ini cacar merupakan satu-satunya penyakit infeksi pada manusia yang telah terbasmi penuh dari alam.
Sejak 430 SM, orang telah mencoba menemukan penyembuhan penyakit cacar. Pada zaman pertengahan, berbagai pengobatan herbal, pengobatan dingin, dan pakaian khusus, telah digunakan untuk mencegah atau mengobati cacar. Dr.Sydenham (1624–1689) mengobati pasien-pasiennya dengan cara menempatkannya di ruang tanpa pemanas api, membiarkan jendela-jendela terbuka selamanya, meletakkan kain seprei lebih rendah daripada pinggang penderita, dan memberikan ―duabelas botol kecil bir setiap duapuluhempat jam sekali‖. Tetapi, cara yang paling berhasil untuk melawan cacar sebelum ditemukan vaksinasi adalah inokulasi. Terma inokulasi berasal dari kata Yunani ‗inculare‘, artinya mencangkok. Inokulasi adalah pencangkokan virus cacar subkutan pada individu non-imun. Inokulasi dilakukan dengan menggunakan lanset yang dibasahi dengan materi segar yang diambil dari pustula (nanah) matang dari seorang penderita cacar. Lalu materi itu dimasukkan di bawah kulit pada lengan atau tungkai orang yang non-imun. Terma ‗inokulasi‘ digunakan bergantian dengan ‗variolasi‘ untuk merujuk kepada pengertian yang sama. Inokulasi telah diterapkan di Afrika, India, dan China, jauh hari sebelum diperkenalkan di Eropa pada abad ke 18. Variolasi bisa menurunkan kematian sampai sebesar 2 hingga 3% pada orang-orang yang divariolasi. Variolasi dengan cepat menjadi populer di semua strata, termasuk di kalangan aristokrat (karena banyak raja, pangeran, dan keluarga bangsawan terjangkit cacar) di Inggris, Perancis, Rusia, Prusia, bagian Eropa lainnya. Variolasi diperkenalkan di Amerika Utara melalui Boston. Tetapi variolasi bukan tanpa risiko. Sejumlah individu menjadi kebal, tetapi banyak pula yang menderita cacar, meninggal, atau menyebarkan cacar kepada orang lain. Bahkan penerima dapat menyebarkan penyakit lain seperti sifilis dan tuberkulosis melalui jalan darah (Riedel, 2005).
Edward Jenner (1749–1823). Edward Jenner adalah penemu metode pencegahan cacar yang lebih aman, disebut vaksinasi (Gambar 6). Jenner lahir di Berkeley, Gloucestershire pada 1749, anak seorang pendeta komunitas gereja (Parish) setempat bernama Stephen Jenner. Pada 1764 ketika berusia 14 tahun, dia magang pada seorang dokter bedah setempat bernama George Harwicke. Selama beberapa tahun dia banyak memperoleh pengetahuan tentang praktik bedah dan kedokteran. Pada usia 21 tahun Jenner sekolah kedokteran di St. George‘s Hospital di London, dan menjadi murid John Hunter, seorang ahli bedah termashur, ahli biologi, anatomi, dan ilmuwan eksperimen. Pada 1772 dia kembali ke Berkely dan menghabiskan sebagian besar karirnya sebagai dokter di kota kelahirannya.
Di masa remaja Jenner beredar keyakinan di kalangan penduduk pedesaan bahwa wanita pemerah susu yang pernah menderita cowpox (cacar sapi) ringan akan terlindungi dari penyakit cacar. Dia mendengar pengakuan salah seorang pemerah susu: "I can't take the smallpox for I have already had the cowpox". Cerita itu menimbulkan ide pada Jenner bahwa pencegahan cacar mestinya bisa dilakukan dengan cara memberikan bahan yang diambil dari penderita cowpox kepada individu sehat, dan terdapat mekanisme proteksi yang ditularkan dari orang yang terlindungi ke orang lain. Setelah melalui proses yang panjang baru pada 1796 Jenner mengambil langkah pertama yang berpengaruh besar dalam sejarah kemanusiaan. Pada Mei 1796 Jenner melakukan eksperimen pertamanya yang kemudian menjadi sangat termashur. Jenner menemukan seorang wanita muda pemerah susu, Sarah Nelms, yang tengah mengalami lesi baru cowpox pada lengan dan tangannya. Jenner mengambil pus (nanah) dari pustula pada pemerah susu itu dan mencangkokkannya pada lengan seorang anak berusia 8 tahun bernama James Phipps. Anak tersebut mengalami demam ringan dan ketidaknyamanan pada ketiaknya. Sembilan hari setelah prosedur, anak itu mengalami kedinginan dan kehilangan selera makan, tetapi hari berikutnya merasa jauh lebih baik. Pada Juli 1796 Jenner melakukan inokulasi lagi, tetapi kali ini dengan materi segar dari lesi cacar. Ternyata Phipps tidak mengalami penyakit cacar, sehingga Jenner mengambil kesimpulan bahwa anak tersebut telah terlindungi dengan sempurna (Gordis, 2000; Riedel, 2005)
Temuan Jenner dicemoohkan. Kritik terutama dilancarkan oleh para pendeta yang menyatakan bahwa mencangkokkan materi dari hewan mati kepada seorang manusia merupakan tindakan yang tidak patut dan tidak tidak diberkati Tuhan. Bahkan pada 1802 muncul sebuah kartun satiris yang menggambarkan orang-orang yang telah divaksinasi berkepala sapi. Pada 1797 Jenner mengirimkan sebuah paper berisi laporan pendek kepada the Royal Society tentang hasil eksperimen dan pengamatannya. The Royal Society menolak paper itu. Lalu setelah menambahkan beberapa kasus baru pada eksperimennya, Jenner menerbitkan sebuah buku pada 1798 bertajuk ―An Inquiry into the Causes and Effects of the Variolae Vaccinae, a Disease Discovered in Some of the Western Counties of England, Particularly Gloucestershire and Known by the Name of Cow Pox‖. Jenner menamai prosedur baru itu vaksinasi, berasal dari kata latin ‗vacca‘ artinya sapi, dan ‗vaccinia‘ artinya cacar sapi (cowpox) (Rieldel, 2005).
Setelah puluhan tahun dicemoohkan akhirnya Jenner mendapatkan pengakuan melalui bukti nyata tentang keuntungan dan proteksi yang dihasilkan vaksinasi yang lebih efektif dan aman daripada variolasi dan cara lainnya. Prosedur vaksinasi kemudian diterapkan secara luas di Inggris dan banyak negara lain. Meskipun mendapat pengakuan dan kehormatan di seluruh dunia, Jenner tidak mencoba memperkaya diri dengan penemuannya. Dia dedikasikan waktunya untuk meneliti vaksin cacar dan melayani vaksinasi gratis bagi orang miskin yang dilakukannya pada gubuk ‗Temple of Vaccinia‘ di tempat praktik di kota kelahirannya Berkeley. Dia meninggal 26 Januari 1823. Berangsur-angsur vaksinasi menggantikan variolasi di Inggris dan dunia. Di India vaksinasi diperkenalkan pada 1802 oleh seorang dokter, Jean de Carro, untuk menggantikan variolasi. Variolasi dilarang dilakukan di Inggris pada 1840 (Riedel, 2005, BBC, 2010; The College of Physicians of Philadelphia, 2010).
Pada akhir abad ke 19 disadari bahwa vaksinasi tidak memberikan imunitas seumur hidup, sehingga diperlukan revaksinasi. Mortalitas karena cacar telah menurun, tetapi epidemi yang masih terjadi menunjukkan bahwa penyakit itu belum dapat dikendalikan sepenuhnya. Pada 1950an setelah dilakukan sejumlah langkah-langkah pengendalian, cacar telah berhasil dibasmi di banyak daerah di Eropa dan Amerika Utara. Gerakan global pembasmian cacar dicanangkan pada sidang the World Health Assembly pada 1958 setelah diterima laporan tentang akibat-akibat katasrofik dari cacar yang terjadi di 63 negara. Kampanye global melawan cacar yang dipimpin WHO akhirnya berhasil membasmi cacar pada 1977. Pada Mei 1980, WHO mengumumkan bahwa dunia telah bebas dari cacar dan merekomendasikan agar semua negara berhenti melakukan vaksinasi. Pernyataan WHO: ―The world and all its people have won freedom from smallpox, which was the most devastating disease sweeping in epidemic form through many countries since earliest times, leaving death, blindness and disfigurement in its wake‖ (Riedel, 2005; BBC, 2010).
Edward Jenner dengan eksperimennya telah berjasa besar menyelamatkan ratusan juta manusia di seluruh dunia dari kecacatan dan kematian karena cacar. Satu hal perlu dicatat, pada era Jenner (abad ke 17) belum dikenal virologi. Jenner sendiri meskipun diakui sebagai Bapak Imunologi, sesungguhnya bukan ahli virologi dan tidak tahu menahu tentang virus maupun biologi penyakit cacar. Virologi baru dikenal abad ke 18, dan virus cacar baru ditemukan beberapa dekade setelah Jenner meninggal. Tetapi kemajuan-kemajuan ilmiah yang terjadi selama dua abad sejak eksperimen Edward Jenner pada James Phipps telah memberikan bukti-bukti bahwa Jenner lebih banyak benarnya daripada salahnya. Teori kuman (Germ Theory) tentang penyakit, penemuan dan studi tentang virus, serta pengetahuan modern tentang imunologi, semuanya cenderung mendukung konklusi Jenner (Riedel, 2005; BBC, 2010).
Jenner sebenarnya bukan orang pertama yang melakukan vaksinasi. Menurut Riedel (2005), ada orang yang lebih dulu melakukan vaksinasi dengan menggunakan materi cacar sapi, yaitu Benjamin Jesty (1737–1816). Ketika daerahnya pertama kali dilanda cacar pada 1774, Jesty berikhtiar melindungi nyawa keluarganya. Jesti menggunakan kelenjar susu ternak sapi yang dia yakini mengandung cacar sapi, dan memindahkan materi itu dengan sebuah lanset kecil ke lengan istri dan kedua anak laki-lakinya. Ketiga serangkai terbebas dari cacar meskipun di kemudian hari beberapa kali terpapar cacar. Tetapi Jestypun bukan orang pertama dan terakhir yang melakukan eksperimen vaksinasi. Cara berpikir Jenner yang bebas dan progresif telah berhasil memanfaatkan data eksperimental dan observasi untuk upaya pencegahan penyakit. Selain itu Jenner berhasil meyakinkan dunia bahwa prosedur ilmiahnya benar. Tulis Francis Galton: ―In science credit goes to the man who convinces the world, not the man to whom the idea first occurs‖ (Riedel, 2005; BBC, 2010).
Pandemi Kolera
Pada 1816-1826 terjadi pandemi pertama kolera di berbagai bagian dunia. Penyakit itu menyerang korban dengan diare berat, muntah, sering kali berakibat fatal. Pandemi dimulai di Bengal (India), lalu menyebar melintasi India tahun 1820. Sebanyak 10,000 tentara Inggris dan tak terhitung penduduk India meninggal selama pandemi tersebut. Pandemi kolera meluas ke China, Indonesia (lebih dari 100,000 orang meninggal di pulau Jawa saja), dan Laut Kaspia, sebelum akhirnya mereda. Kematian di India antara 1817-1860 diperkirakan mencapai lebih dari 15 juta jiwa. Sebanyak 23 juta jiwa lainnya meninggal antara 1865-1917. Kematian penduduk di Rusia pada periode yang sama mencapai lebih dari 2 juta jiwa.
Pandemi kolera kedua terjadi 1829-1851, mencapai Rusia, Hungaria (sekitar 100,000 orang meninggal) dan Jerman pada 1831, London pada 1832 (lebih dari 55,000 orang meninggal di Inggris), Perancis, Kanada (Ontario), dan Amerika Serikat (New York) pada tahun yang sama, pantai Pasifik Amerika Utara pada 1834. Outbreak selama dua tahun terjadi di Inggris dan Wales pada 1848 dan merenggut nyawa 52,000 jiwa (Wikipedia, 2010a).
Influenza Besar (1918 - 1919 )
Pada Maret 1918 hingga Juni 1920 terjadi pandemi luar biasa yang disebut Influenza Besar (Flu Spanyol, The Great Influenza) (Gambar 7). Peristiwa itu dianggap pandemi yang paling mematikan dalam sejarah kemanusiaan. Penderita flu meninggal dalam tempo beberapa hari atau beberapa jam sejak gejala klinis. Virus influenza strain subtipe H1N1 yang sangat virulen diperkirakan menyerang 500 juta orang di seluruh dunia dan membunuh 50 hingga 100 juta orang hanya dalam waktu 6 bulan. Tidak seperti outbreak influenza lainnya, wabah Flu Spanyol tidak hanya menyerang orang dewasa tetapi juga anak-anak. Sebuah studi mengatakan, wabah itu menyerang 8-10 persen dari semua dewasa muda (eHow, 1999; Epic Disasters, 2010)
Pandemi Flu diperparah karena kondisi selama Perang Dunia I, khususnya berkumpulnya sejumlah besar pemuda di barak-barak militer. Flu tersebut dimulai dari mutasi terbatas di Haskell Country, Kansas (AS), lalu ditularkan melalui perpindahan masif serdadu Amerika dari basis ke basis, selanjutnya disebarkan ke seluruh dunia melalui perjalanan internasional para serdadu. Salah satu penderita adalah Presiden AS waktu itu, Woodrow Wilson, yang terkena flu pada akhir perang. Untuk mencegah penularan dianjurkan untuk tidak melakukan pertemuan kelompok, dan pemakamam wajib dilakukan dalam tempo 15 menit (eHow, 1999; Epic Disasters, 2010).
Sebuah riset yang dilakukan dengan menggunakan sampel jaringan beku dari korban untuk mereproduksi virus, menyimpulkan, virus membunuh korban via ―badai sitokin‖ (over-reaksi sistem imun tubuh dengan terbentuknya sitokin proinflamasi). Temuan itu dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa virus flu tersebut menjadi sangat virulen, dan mengapa distribusi penyakit terkonsentrasi pada kelompok umur tertentu. Over-reaksi sistem imun menyebabkan kerusakan dahsyat pada tubuh dewasa muda (seperti serdadu AS) yang memiliki sistem imun kuat, tetapi menyebabkan jumlah kematian yang lebih sedikit pada anak-anak dan dewasa tua yang memiliki sistem imun lebih lemah (Wikipedia, 2010d).
Pandemi flu besar memang dahsyat, karena pada waktu itu jumlah penduduk di dunia hanya 1.8 milyar. Seandainya Flu Spanyol itu terjadi sekarang dengan cara transmisi sama, maka wabah seperti itu bisa menyebabkan kematian 350 juta orang dalam tempo 6 bulan. Skenario seperti itu menyebabkan media massa dan banyak kalangan khawatir akan terulang ketika epidemi flu burung merebak pada pertengahan dekade 2000an.
Perkembangan Statistik Vital
John Graunt (1620-1674). Sejak 1538 setiap pemakaman jenazah pada komunitas-komunitas gereja (Parish) di Inggris harus disertai dokumen agar pemakaman tersebut legal. Dokumen itu merupakan prekursor (cikal) surat kematian modern yang dikenal dewasa ini. Para carik (clerk, juru tulis) dari masing-masing Parish mengkompilasi jumlah kematian setiap minggu dan setiap tahun. Kompilasi itu disebut Bills of Mortality. Bills of Mortality dibuat secara teratur tiap minggu, dengan tujuan untuk memberikan informasi kepada otoritas dan penduduk tentang peningkatan atau penurunan jumlah kematian, khususnya sehubungan dengan wabah sampar (The Black Death) yang tengah melanda Inggris dan Eropa pada masa itu. Sejak 1570 Bills of Mortality mencatat pula pembaptisan (umumnya kepada bayi, kadang-kadang orang dewasa), 1629 tentang kausa kematian, dan awal abad ke 18 tentang umur saat kematian (Answers Corporation, 2010; Last, 2010).
Medio abad ke 17 seorang pedagang pakaian (haberdasher) di London bernama John Graunt tertarik untuk memperbaiki Bills of Mortality di London. John Graunt memanfaatkan catatan kelahiran dan kematian untuk mempelajari fluktuasi epidemi sampar dan pengaruhnya terhadap jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Graunt meragukan klaim estimasi jumlah penduduk London yang dianggapnya terlalu besar. Karena itu dia menciptakan metode untuk menghitung populasi berdasarkan jumlah kelahiran dan pemakaman mingguan yang terdaftar pada Bills of Mortality. Populasi London menurut hitungannya 384,000 orang, jauh lebih rendah daripada taksiran sebelumnya sebesar 2 juta jiwa (Answers Corporation, 2010).
Graunt menggunakan sejumlah tabel untuk lebih memperjelas analisis perhitungannya. Sebagai contoh, dengan sebuah tabel Graunt menunjukkan, kelahiran anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan, tetapi jumlah laki-laki tidak lebih banyak daripada perempuan ketika mereka melewati masa kanak-kanak. Analisis Graunt, hal itu terjadi karena laki-laki memiliki kecenderungan lebih besar daripada perempuan untuk berpindah, mengalami kecelakaan, meninggal karena perang, atau dihukum mati. Graunt juga menemukan, angka kematian lebih tinggi pada daerah urban daripada rural, dan bervariasi menurut musim (Rocket, 1999; Saracci, 2010; Answers Corporation, 2010).
Graunt sampai pada kesimpulan bahwa kelahiran dan kematian sesungguhnya bervariasi secara teratur, karena itu dapat diramalkan. Lalu Graunt menciptakan sebuah tabel untuk memeragakan berapa banyak individu dari sebuah populasi terdiri atas 100 individu yang akan bertahan hidup pada umur-umur tertentu. Tabel temuan John Graunt ini disebut ‗tabel hidup‘ (life table, tabel mortalitas). Dengan tabel hidup dapat diprediksi jumlah orang yang akan mampu melangsungkan hidupnya pada masing-masing usia dan harapan hidup kelompok-kelompok orang dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, dengan tabel hidup dapat diestimasi berapa proporsi dari anak yang lahir hidup akan meninggal sebelum mencapai usia 6 tahun. Estimasi Graunt, 36% anak lahir hidup akan meninggal karena semua sebab sebelum mencapai usia 6 tahun.
Graunt mempublikasikan karyanya dalam ―Natural and Political Observations … Made upon the Bills of Mortality‖ pada 1662 (Gambar 8). Buku tersebut sangat populer dan diterima oleh banyak kalangan, sehingga diterbitkan sampai 5 edisi. Karena buku itu maka Graunt diangkat sebagai anggota the Royal Society dengan rekomendasi langsung Charles II, suatu kehormatan yang tidak biasa dianugerahkan kepada seorang pedagang di London. Graunt sendiri sesungguhnya tidak memiliki pendidikan formal matematika. Para ahli sejarah menduga, buku Graunt banyak mendapatkan bantuan dari temannya yang berpendidikan lebih tinggi, William Petty (1623-1687) (Rockett, 1999; Saracci, 2010; Wikipedia, 2010e; Answers Corporation, 2010).
Pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke 18 tabel hidup Graunt disempurnakan oleh matematikawan dan astronom termashur Edmund Halley (1656–1742) dan Antoine de Parcieux. Dewasa ini tabel hidup yang diciptakan John Graunt masih merupakan salah satu instrumen utama dalam demografi, epidemiologi, dan sains aktuarial (misalnya, asuransi). Ahli epidemiologi menggunakan tabel hidup untuk menghitung harapan hidup waktu lahir (life expectancy at birth) sebagai salah satu indikator utama status kesehatan populasi. Tabel hidup juga digunakan untuk menganalisis probabilitas kelangsungan hidup seorang pasien dengan suatu diagnosis penyakit dengan atau tanpa pengobatan. Karena penemuannya yang signifikan di bidang statistik vital, maka John Graunt disebut ―Columbus biostatistik‖(Rocket, 1999; Saracci, 2010; Answers Corporation, 2010; Videojug, 2010).