Sanitasi Air Bersih

Written By Lumajangtopic on Tuesday, January 22, 2013 | 3:47 AM

Akses dan Sanitasi Air Bersih 

Lemahnya pengelolaan lingkungan di Indonesia, memberikan dampak negatif terhadap sektor air bersih dan sanitasi. Terbatasnya ketersediaan air baku menjadi salah satu masalah yang dihadapi dalam penyediaan layanan air bersih di Indonesia. Berdasarkan laporan MDGs 2010 yang diterbitkan oleh Bappenas, jumlah rumah tangga yang memiliki akses terhadap air bersih yang layak sebanyak 47,71% dan rumah tangga yang memiliki akses sanitasi sebanyak 51,19%. Target yang ingin dicapai Indonesia pada tahun 2015 sebesar 68,87% untuk air bersih dan 62,41% untuk sanitasi.

Berita acara yang disusun oleh Unicef dan WHO baik pada tahun 2008 maupun 2010 menunjukkan bahwa 80% penduduk Indonesia telah memliki akses terhadap air bersih. Sedangkan laporan ADB meskipun tidak menyebutkan angka, menunjukkan bahwa Indonesia berada pada off track untuk tercapainya MDGs air bersih dan sanitasi. Jika dilihat lebih dalam lagi, semua laporan tersebut menunjukkan rendahnya akses masyarakat Indonesia terhadap air perpipaan, padahal air perpipaan dipandang sebagai air yang memiliki kualitas yang dapat diandalkan dan lebih sehat dibandingkan dengan sumber air lainnya. Apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, bisa dikatakan Indonesia masih tertinggal, kecuali jika dibandingkan dengan Kamboja Malaysia misalnya, akses masyarakat terhadap air bersih telah mencapai 100%, dimana 97% berasal dari air perpipaan. Demikian pula dengan Thailand yang akses air bersihnya telah mencapai 98%.

Pembiayaan air bersih dan sanitasi menjadi salah satu penyebab rendah tingkat keterkasesan masyarakat terhadap air bersih. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Water and Sanitation Program (WSP) Bank Dunia, terkait dengan pembiayaan publik untuk sektor air bersih dan sanitasi pada tahun 2006, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara peningkatan PDB di daerah dengan peningkatan alokasi pembiayaan untuk sektor air bersih dan sanitasi. Studi tersebut juga menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah (nasional, provinsi dan kabupaten/ kota) pada tahun 2002 untuk pembangunan di sektor air bersih dan sanitasi, rata-rata hanya 0,64 % dari PDB.

Salah Kelola Air di Indonesia

Secara umum, Indonesia menjadi satu dari sedikit negara yang “ditakdirkan” memiliki sumber daya air berlimpah. Berbagai laporan mengenai kondisi neraca air Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia masih mengalami surplus air. Meskipun demikian, terdapat beberapa pulau di Indonesia yang telah mengalami defisit air. pada dasarnya bahwa persoalan sumber daya air di Indonesia tidaklah disebabkan kelangkaan ketersediaan air, tetapi lebih kepada ketidakmampuan negara untuk mengelola sumber daya air. Kebijakan pembangunan yang terlalu bertumpu di Jawa, menyebabkan 65 % penduduk Indonesia saat ini bermukim di pulau Jawa dengan daya dukung air yang semakin terbatas. Bukan sesuatu yang mengherankan jika Jawa mengalami defisit air.

Menurut Widianarko (2009), banyaknya permasalahan dalam pengelolaan sumber daya air akibat kurang memperhatikan relasi kompleks antara air, ekosistem dan manusia. Hal ini dapat terjadi karena paradigma dominan dalam pengelolaan sumber daya air adalah pendekatan manajemen dan ekonomi. Dominasi epistemologi yang ekonomistik cenderung menafikan kenyataan bahwa air adalah entitas sarat makna – bukan sekedar komoditi. Lebih lanjut Widianarko berdasarkan Clough-Riquelme (2003) menyatakan bahwa, perdebatan di seputar sumber daya air yang tampaknya masih akan berlangsung terus setidaknya menegaskan tiga hal, yaitu: (1) keterbatasan kapitalisme dalam menangani sumber daya air, (2) peran esensial negara dalam distribusi sumber daya air, dan (3) perlunya kepatuhan terhadap prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya air.

Di tengah perdebatan tersebut, sebenarnya keberlanjutan sumber daya air di dunia saat ini, sedang menghadapi tiga (3) tantangan berat, yaitu: (1) kebutuhan yang terus meningkat (rising demand), (2) distribusi yang air tawar yang tidak merata (unequal distribution) dan (3) pencemaran air yang semakin meningkat (increasing pollution) (Davis and Cornwell, 1998). Rejim pengelolaan sumberdaya air di suatu kawasan atau negara akan gagal total jika tidak memperhitungkan ketiga tantangan tersebut dalam agenda programnya.

Kondisi Layanan Air Perpipaan di Indonesia

Rendahnya tingkat keterkasesan penduduk Indonesia terhadap air bersih bukan hanya akibat buruknya pengelolaan lingkungan, tetapi juga persoalan-persoalan lain termasuk soal pembiayaan infrastruktur air bersih dan lemahnya kapasitas penyedia layanan air bersih di Indonesia. Secara total terdapat 392 PDAM di Indonesia yang tersebar di 77 kota dan 315 kabupaten, dengan 31 diantaranya merupakan PDAM besar yang memiliki jumlah pelanggan lebih dari 50.000. Cakupan layanan PDAM secara nasional hanya mencapai 24% (8.006.814 jiwa). Berdasarkan data yang dimiliki BPKP tahun 2009, lebih dari 62,65% PDAM di Indonesia berada dalam kondisi tidak sehat, sedangkan sisanya berada berada dalam kondisi sehat . Namun PDAM yang mendapatkan kategori sehat, bukan berarti memiliki cakupan layanan yang besar, karena kategori sehat diukur melalui beberapa indikator yaitu kinerja manajemen, keuangan, dan teknis. Dengan demikian, PDAM yang sehat pun belum tentu memiliki cakupan layanan yang besar.

Air sebagai Sumber Daya yang Unik

Tiada satupun manusia di dunia yang tidak mengakui air sebagai barang yang paling penting bagi kehidupan. Kedudukan yang vital dan sangat khas telah menjadikan air sebagai barang yang pengaturannya sangat kompleks dan menimbulkan penafsiran yang beragam. Beberapa kalangan meyakini bahwa air merupakan public goods, yaitu barang yang non-rival dimana apabila barang tersebut dikonsumsi oleh seseorang maka tidak akan mengurangi kesempatan orang lain untuk ikut mengkonsumsinya. Selain itu dalam public goods juga melekat sifat nonexcludable yang berarti hampir tidak mungkin (mustahil) meniadakan hak seseorang untuk mengkonsumsinya. Dalam konteks ini, pemahaman air sebagai public goods bisa dikatakan benar jika air masih berada dalam kondisi tidak terbatas, persoalannya saat ini adalah air ditengarai dalam kondisi terbatas. Konsepsi air sebagai public goods saat ini lebih menekankan pada kepemilikan publik daripada menunjukkan ketidakterbatasan air. Sehingga public goods dalam hal ini lebih merupakan konsepsi hukum ketimbang ekonomi. Pandangan lain adalah air merupakan common pool resources, yang bersifat terbatas namun tidak tergantikan. Common pool resources dianggap sebagai konsepsi yang paling pantas diterapkan dalam air.

Menurut Hadipuro (2009), sebagai common pool resources air memiliki banyak wajah terkait dengan hak kepemilikan. Pertama air bisa menjadi open access yang bercirikan tidak adanya hak kepemilikan yang dapat diklaim untuk ditegakkan, kedua air sebagai hak milik komunitas atau kelompok dimana hak milik ada pada anggota komunitas, selain anggota komunitas dilarang untuk ikut menggunakannya, ketiga air sebagai hak milik pribadi atau individu, yang tentunya mengeksklusi semua pihak lain untuk menggunakannya, dan terakhir air sebagai hak milik negara dimana pemerintah sebagai wakil negara dapat mengeluarkan regulasi atau memberikan subsidi dalam penggunaannya. Lebih lanjut Hadipuro mengatakan perbedaan rezim pemilikan akan menghasilkan outcomes yang berbeda pula, karena institusi yang melekat pada satu rezim hak milik menentukan akses, penggunaan, eksklusi, manajemen, monitoring, pemberian sanksi dan arbitrasi jika terjadi masalah.

Terkait dengan hak kepemilikan tersebut, persoalan selanjutnya adalah bagaimana sebaiknya air sebagai barang yang terbatas harus dikelola. Pendukung mekanisme pasar bersikukuh bahwa pendekatan pasar lah yang paling baik untuk mengelola air yang terbatas tersebut. Konsekuensi logis dari pendekatan ini tentu saja pemberian nilai ekonomi untuk air, memperlakukan air sebagai barang ekonomi, dan hak milik pribadi. Penganut paham pasar percaya bahwa keterbatasan air, salah satunya terjadi akibat penggunaan yang tidak efisien, dengan kata lain boros air. Hal ini terjadi karena air tidak diberi harga dan kalaupun diberikan harganya terlalu murah dan tidak mencerminkan nilai ekonomi air.

Oleh karenanya air harus diberi harga, dan kemudian harga inilah yang akan mengontrol permintaan, yang pada akhirnya akan membuat air yang terbatas dapat teralokasi dengan baik. Pertanyaannya kemudian, harga yang ditetapkan pada air merupakan cerminan dari nilai kegunaan air atau nilai pertukaran air. Jika air dipahami dan diyakini sebagai benda yang sangat vital dan tidak tergantikan, maka harga yang melekat pada air sebenarnya merupakan nilai pertukaran air. Nilai ini biasanya muncul atas pertimbangan supply dan demand, Pada titik inilah sebenarnya banyak pihak meragukan penetapan nilai ekonomi air. Sebagai kebutuhan dasar, permintaan akan air tidak mungkin dibatasi hanya karena persoalan daya beli. Seseorang tidak akan pernah berhenti untuk dapat memperoleh air sebagai kebutuhan dasar, meskipun harus mengorbankan kebutuhan yang lainnya. Banyak pihak semakin ragu dengan pendekatan pasar yang diterapkan di air, ketika air harus diperlakukan sebagai barang ekonomi. Menurut Gleick (2002), mengelola air sebagai barang ekonomi adalah air akan dialokasikan kepada pengguna yang saling bersaing satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga memberikan nilai maksimal pada pemanfaat. Nilai maksimal yang dimaksud disini tentu saja nilai pertukaran.

Hal ini diyakini akan menempatkan kelompok masyarakat miskin menjadi kalah bersaing, karena tidak mampu mencapai nilai maksimal yang diinginkan. Keraguan bahwa mekanisme pasar dapat bekerja dengan baik, mendorong munculnya pendekatan baru terhadap air, yakni pendekatan air sebagai hak asasi manusia. Pendekatan ini pada dasarnya telah diupayakan cukup lama, namun baru terlihat hasilnya pada tahun 2002 ketika Komite Ekonomi Sosial dan Budaya (Ekosob) PBB, membuat komentar umum tentang hak atas air. Selain itu seperti yang diungkapkan di awal, pertengahan tahun 2010 Majelis Umum PBB telah mendeklarasikan air bersih dan sanitasi sebagai hak asasi manusia. Menariknya, pendekatan air sebagai hak asasi ini belakangan juga digunakan oleh kelompok yang mendukung air sebagai barang ekonomi. Kelompok ini percaya bahwa dengan kemampuan finansial dan kapasitas manajerial yang dimiliki, mampu membantu terwujudnya pemenuhan hak atas air.

Pendekatan hak asasi manusia, meyakini bahwa negara menjadi pihak yang paling bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas air. Menurut Benny D. Setianto (2009), penghormatan akan hak atas air dapat dilakukan dengan usaha-usaha untuk menjamin aksesabilitas individu maupun kelompok, termasuk pengelolaannya. Bentuk pemajuan hak atas air dapat diwujudkan dengan adanya rencana yang cukup tegas akan ketersediaan segi kuantitas maupun kualitas. Sementara itu pemenuhan hak atas air, disamping memperhatikan kedua hal tersebut juga memberikan jaminan bahwa ketersediaan dan aksesabilitasnya dapat menjangkau rakyat yang lebih membutuhkan sekaligus juga dapat dijangkau oleh penghasilan kebanyakan masyarakat

Meskipun banyak pendekatan dan cara pandang terhadap air, faktanya saat ini pendekatan pasar dengan menempatkan air sebagai barang ekonomi berada pada posisi terdepan. Hal ini disebabkan air sebagai barang ekonomi sejalan dengan paradigma pembangunan yang berkembang saat ini, dimana peran negara dalam pembangunan sebisa mungkin diminimalkan. sebagai barang ekonomi, menjadi usulan utama dalam kerangka melakukan reformasi pengelolaan sumber daya air hampir di seluruh negara termasuk Indonesia.

Air Bersih dan Sanitasi; Antara Hak dan Komoditas

Kurang lebih enam tahun yang lalu, pemerintah Indonesia mengesahkan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang merupakan salah hasil dari reformasi kebijakan pengelolaan sumber daya air di Indonesia. Reformasi ini sejatinya telah dimulai sejak tahun 1997 bersamaan dengan krisis ekonomi yang menimpa Indonesia saat itu. Hadirnya UU No.7 Tahun 2004, menimbulkan pro-kontra di masyarakat pada saat itu. Aktivis hak asasi dan lingkungan berpendapat bahwa UU Sumber Daya Air didasarkan terutama oleh cara pandang air sebagai barang ekonomi bukan air sebagai public goods, sehingga dikhawatirkan akan membuat kelompok masyarakat miskin akan semakin jauh untuk mendapatkan akses terhadap air. Sebagai bentuk penolakan terhadap UU Sumber Daya Air, beberapa kelompok masyarakat sipil kemudian mengajukan Judicial Review terhadap UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004. Setelah melalui proses persidangan selama kurang lebih satu tahun, Mahkamah Konstitusi akhir memutuskan untuk menolak gugatan yang diajukan kelompok masyarakat sipil terhadap UU Sumber Daya Air. Salah satu hal yang menarik dari persidangan Judicial Review UU Sumber Daya Air adalah bagaimana Mahkamah Konstitusi melihat dan memahami air serta bagaimana sebaiknya air dikelola sehingga mereka memutuskan bahwa tidak ada pelanggaran konstitusional dalam materi UU Sumber Daya Air.

Mahkamah Konstitusi mencoba menyelaraskan UU Sumber Daya Air dalam semangat konstitusi Indonesia dengan perkembangan yang terjadi dalam konteks air sekarang ini. Hal ini terlihat dimana Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa selain negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas air, negara juga berkewajiban untuk mengatur pemanfaatan sumber daya air, karena pengaturan ini sangat penting agar manusia tetap hidup. Hal lain bisa dilihat dari cara pandang Mahkamah Konstitusi dalam perdebatan mengenai Hak Guna Air, yang menurut Mahkamah Konstitusi merupakan cerminan dari keselarasan antara hak asasi manusia dan fungsi-fungsi ekonomi yang melekat pada air. Hak Guna Pakai Air merupakan cerminan hak asasi manusia, sedangkan Hak Guna Usaha Air merupakan cerminan dari fungsi ekonomi air. Hak Guna Usaha Air adalah instrumen sistem perizinan yang digunakan oleh pemerintah untuk membatasi jumlah atau volume air yang dapat diperoleh atau diusahakan oleh yang berhak.

Begitupun dalam memahami mengenai siapa yang memiliki air, meskipun Mahkamah Konstitusi secara tegas menyatakan air merupakan public goods, namun hak milik pribadi yang juga merupakan hak asasi manusia juga menjadi salah satu pertimbangan. Berdasarkan itu, menurut Hamid Chalid (2009), negara memiliki kekuatan hukum “menguasai” air dan sumber-sumbernya untuk memungkinkan tegaknya hak asasi manusia atas air itu tanpa ada kemungkinan pelanggaran atas hak atas milik pribadi yang juga merupakan hak asasi manusia. Lebih lanjut Chalid menyatakan bahwa secara umum putusan Mahkamah Konstitusi telah mengembalikan UU Sumber Daya Air ke jalur yang sesuai dengan UUD 1945. Namun dalam prakteknya, tafsir Mahkamah Konstitusi yang ingin menyelaraskan fungsi sosial dan fungsi ekonomi sangat berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh pemerintah sebagai pembuat UU Sumber Daya Air. Satu bulan sebelum Mahkamah Konstitusi memberikan putusan terhadap uji materiil UU Sumber Daya Air, pemerintah telah membuat Peraturan Pemerintah (PP) No.16 Tahun 2005 tentang Sistem Penyediaaan Air Minum (SPAM) yang isinya bertentangan dengan tafsir Mahkamah Konstitusi soal UU Sumber Daya Air. Dalam menyelenggarakan layanan air minum (bersih) menurut PP No.16/2005, tarif yang dibuat harus didasarkan prinsip “full cost recovery” yang sering disebut harga keekonomian.

Prinsip ini merupakan dasar bagi terlibatnya sektor swasta dalam penyediaan layanan air. Hak penguasaan yang di dalam tafsir Mahkamah Konstitusi meliputi perumusan kebijakan, pengurusan dan pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan, sebagian menjadi hilang dengan hadirnya PP No.16/2005, dimana pengurusan dan pengelolaan bisa diserahkan kepada swasta dengan mengedepankan prinsip full cost recovery. Lebih esktrem lagi, PP No.16 tahun 2005, menyatakan bahwa penyedia layanan air minum (bersih), bisa memutus sambungan air jika pemakai atau pelanggan tidak memenuhi kewajibannya sebagai pelanggan atau pemakai. Aturan ini semakin memperjelas apa yang diinginkan oleh pemerintah dalam penyediaan layanan air di Indonesia.

Air Bersih dan Kebijakan Sosial

Berdasarkan uraian sebelumnya, sebenarnya terlihat bahwa terdapat kebingungan dalam memahami bagaiamana seharusnya air di kelola dan kemudian didistribusikan bagai sebesarbesar kemakmuran rakyat. Kebingungan ini berimplikasi kepada kebijakan dan aturan terkait dengan penyediaan layanan air bersih dan sanitasi. Pada satu sisi konstitusi Indonesia mengakui bahwa air merupakan “public goods” dengan pendekatan hak asasi menjadi pendekatan utama, pada sisi yang lain terdapat kebimbangan bagaimana harus mengelola layanan air bersih sebagai kegiatan ekonomi tanpa harus meninggalkan cara pandang air yang sesuai dengan konstitusi yang berlaku di negara ini.

Apabila melihat sejarah penyediaan layanan air bersih di Indonesia, bisa jadi kebimbangan yang terjadi pada saat ini salah satunya dipicu oleh sejarah kelam penyediaan layanan air bersih di Indonesia, sehingga pada saat air bersih dan sanitasi mulai menjadi diskusi global, Indonesia masih belum memiliki kerangka dasar yang bisa dijadikan pijakan dalam penyediaan layanan air bersih ataupun sanitasi.

Sebagai negara berkembang, sejarah layanan air bersih di Indonesia memiliki kesamaan dengan negara-negara berkembang lainnya dimana layanan air bersih merupakan warisan kolonial. Pada saat itu layanan air bersih memang hanya diperuntukkan bagi kepentingan elit kolonial belaka dan bagi masyarakat biasa yang ingin mendapatkan layanan air bersih harus membayar dengan harga yang mahal. Kondisi ini kemudian meninggalkan warisan fisik berupa jaringan infrastruktur yang tidak utuh. Dengan alasan ketiadaan dana, memang sangat sedikit sekali atau bahkan tidak ada investasi publik yang dialokasikan bagi infrastruktur air bersih. Kesadaran akan pentingnya layanan air bersih juga belum muncul pada saat itu.

Pada awal orde baru, ketika Indonesia mulai banyak melakukan pembangunan termasuk air bersih, pembiayaannya diperoleh melalui hutang luar negeri. Sejak saat itu, pembangunan air bersih memang sangat bergantung pada mekanisme dan kebijakan yang dianut oleh Lembaga Keuangan Internasional seperti Bank Dunia atau ADB. Orde baru yang kemudian berkembang menjadi rezim otoriter ditambah dengan dominasi pemerintah pusat, hutang luar negeri dan ketiadaan cara pandang yang baik bagaimana seharusnya layanan dasar seperti air harus dikelola, menjadikan pembangunan di sektor air bersih tidak bisa berjalan dengan baik.

Persoalan “public health” tidak pernah atau setidaknya terlambat menjadi salah satu basis pembangunan di sektor air bersih dan sanitasi. Kesadaran yang nyata akan pentingnya air bersih dan sanitasi di Indonesia baru muncul pada akhir 90-an, dan menjadi terasa sangat terlambat. Kebingungan ini sangat terlihat ketika pada tahun 2008, pemerintah mencanangkan program 10 juta sambungan air bersih yang harus dicapai pada tahun 2013. Program yang ditujukan untuk mempercepat pencapaian Indonesia dalam MDGs dengan kebutuhan dana mencapai kurang lebih Rp. 70 triliun, menjadi sangat tidak mungkin untuk tercapai.Pada satu sisi sangat tidak memungkinkan menyerahkan program tersebut kepada PDAM yang sebagian besar berada dalam kondisi tidak sehat ditambah dengan rendahnya investasi pemerintah, pada sisi yang lain juga tidak mungkin menyerahkan sepenuhnya program tersebut kepada sektor swasta.

Bentuk kebingungan lain adalah, adanya dualisme kebijakan dalam penyediaan layanan air bersih di Indonesia, yaitu tetap mempertahankan PDAM sebagai satu-satunya utilitas penyedia layanan air bersih dan memperkenalkan pendekatan pasar dalam tata kelola PDAM, termasuk dengan memperkenalkan swastanisasi atau Public Private Partnerships (PSP). Parahnya, ketika sektor swasta diizinkan untuk terlibat, tidak disertai dengan kebijakan ataupun regulasi yang baik. Posisi pemerintah dan sektor swasta dibiarkan berada dalam kondisi setara dan kerjasama dengan pihak swasta dibuat melalui mekanisme hukum private (kontrak), yang sebenarnya bertentangan dengan cara pandang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, sebenarnya apa yang bisa dilakukan dalam kondisi penyediaan layanan air bersih dan sanitasi yang telah terlanjur berantakan seperti ini ? Bisa jadi jawabannya sangat tidak mudah, tetapi bisa dimulai kembali. Setidaknya, cara pandang air sebagai “public goods” yang selaras dengan mandat konstitusi di negara ini harus dijadikan pijakan awal. Berdasarkan pijakan awal tersebut, kemudian diurutkan kembali bagaimana seharusnya peran negara dalam kerangka hak penguasaan atas air dan bisa mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi dalam kerangka penyediaan layanan air bersih dan sanitasi di Indonesia, yaitu pembiayaan infrastuktur, sosial politik, dan lingkungan.

Dalam kerangka menjawab tantangan tersebut di atas dan memastikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, kebijakan sosial yang baik harus dibuat. Pada sektor air bersih dan sanitasi, hadirnya kebijakan sosial memiliki sejarah yang panjang dan telah diterapkan di negara-negara seperti Inggris, Perancis, Brazil dan Wales. Terlepas dari mana pembiayaan dan kebijakan sosial apa yang digunakan, yang harus diperhatikan adalah kebutuhan investasi. Seringkali kebutuhan investasi untuk layanan air bersih dan sanitasi menjadi sangat besar karena didasarkan oleh usulan-usulan dari luar. Seharusnya kebutuhan investasi harus berdasarkan pada analisa lokal melalui proses yang demokratis. Penyedia layanan air bersih seperti PDAM, seharusnya memanfaatkan desentralisasi untuk melakukan analisa kebutuhan investasi, bukan hanya menunggu atau menerima usulan-usulan investasi dari luar.

Pelayanan air bersih dan sanitasi merupakan kegiatan padat modal, sehingga untuk memelihara jaringan yang ada atau memperluas jaringan dibutuhkan biaya yang besar. Sumber-sumber pendapatan publik, harus mampu mengcover kebutuhan akan layanan air bersih dan sanitasi. Di Indonesia, pembiayaan layanan air biasanya bersumber dari pajak dan retribusi. Yang perlu diingat adalah, retribusi hanya bisa di dapat dari masyarakat yang memiliki koneksi terhadap sistem air bersih. Persoalan menjadi lebih rumit jika retribusi air harus menutup seluruh biaya (full cost recovery), karena meskipun terdapat mekanisme subsidi silang, retribusi tidak berkaitan dengan kekayaan atau pendapatan seseorang. Retribusi hanya terkait dengan tingkat konsumsi seseorang terhadap air. Tidak ada jaminan, bahwa orang yang berpendapatan lebih tinggi mengkonsumsi air lebih banyak dibandingkan orang yang berpendapatan lebih rendah. Apalagi jika upaya untuk mencari pelanggan baru dengan tingkat pendapatan yang tinggi juga mulai jenuh (akibat pasar yang tidak ada maupun keterbatasan air baku), bisa dipastikan upaya perluasan jaringan akan terhambat, meskipun sudah ditetapkan pengelompokkan pelanggan.

Dengan kata lain, subsidi silang melalui retribusi jarang sekali dapat membantu pembiayaan layanan air bersih atau sanitasi. Selain itu, solidaritas antar warga menjadi kurang terbangun karena keseluruhan pembiayaan dibebankan hanya kepada masyarakat yang memiliki koneksi terhadap sitem layanan air. Oleh karenanya, pajak menjadi menjadi alternatif pembiayaan. Pada beberapa negara di Inggris misalnya, pembiayaan layanan air diperoleh melalui pajak properti bukan melalui konsumsi air. Sedangkan di Jerman dan Italia, pembiayaan layanan air bersih di danai melalui subsidi silang antar layanan publik yang mendasar, misalnya melalui laba yang diperoleh layanan listrik. Lebih jauh, sebagai sebuah layanan publik maka pajak merupakan instrumen yang paling baik dalam pembiayaan layanan air bersih. Perluasan basis pajak menjadi sangat penting dilakukan. Dalam konteks ini, pendapatan pajak nasional menjadi lebih bermanfaat ketimbang pajak daerah, dimana mekanisme subsidi silang melalui pajak bisa lebih terjamin keberlanjutannya. Dengan demikian, pemerintah pusat berperan penting dalam pembiayaan air bersih dan sanitasi, karena pemerintah pusat yang memiliki basis pajak paling besar. Mekanisme seperti ini, dilakukan di banyak negara baik negara maju ataupun berkembang.
 
berita unik