Epidemiologi Demam Berdarah

Written By Lumajangtopic on Wednesday, March 27, 2013 | 11:51 PM

Epidemiologi dan Metode Pengendalian Vektor Demam Berdarah

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan suatu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan hampir semua propinsi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena penyakit tersebut penyebarannya sangat cepat dan sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB), sehingga menyebabkan banyak penderita yang sakit bahkan meninggal. Ditemukan pertama kali pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, sejak itu setiap tahun jumlah penderita menunjukkan kecenderungan meningkat dan kasus DBD banyak terjadi di kota-kota yang penduduknya padat. Kejadian Luar Biasa (KLB) atau epidemi hampir terjadi setiap tahun di daerah yang berbeda tetapi seringkali berulang di wilayah yang sama dan secara nasional berulang setiap lima tahun ( Suroso, 2004).

Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Ae.aegypti dan Ae.albopictus, tetapi yang menjadi vektor utama adalah Ae. aegypti. Saat ini belum ada vaksin untuk pencegahan dan obat untuk penyembuhannya. Oleh karena itu cara penanggulangan yang tepat sekarang ini adalah dengan memberantas vektor DBD. Menurut Depkes (2004), cara memberantas vektor DBD yang paling tepat adalah dengan cara pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan akan memberikan hasil yang lebih baik daripada cara pemberantasan vektor nyamuk, oleh karena cukup efektif untuk mengurangi tempat perkembangbiakan nyamuk, bermanfaat untuk jangka waktu yang lama dan bermanfaat untuk sektor lain.

Pengelolaan sanitasi lingkungan yang dapat diterapkan di masyarakat dalam rangka menekan sumber habitat larva Aedes antara lain adalah dengan melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), perbaikan penyediaan air bersih, perbaikan pengelolaan sampah padat, pengubahan tempat perkembangbiakan buatan manusia dan perbaikan disain rumah (Depkes, 2004).

Menurut Depkes (2004), salah satu faktor penyebab munculnya kembali Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah berkembangnya penyebaran dan kepadatan nyamuk vektor. Kepadatan populasi nyamuk vektor sangat tergantung dari pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan, khususnya kebersihan tempat penampungan air dan sampah yang dapat menampung air (Munif, 1994), karena keberlangsungan hidup nyamuk vektor penyakit sangat tergantung kepada lingkungannya, terutama pada tersedianya habitat-habitat yang cocok untuk stadium pradewasanya (Mardihusodo, 2006). Kontainer-kontainer seperti bak mandi, WC, tempat penyimpanan air, kaleng bekas dan sebagainya bila terisi air akan mempunyai potensi untuk menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti. Hal ini disebabkan karena nyamuk ini cenderung untuk berkembangbiak pada air yang bersih daripada air yang terpolusi (Depkes, 2004). Contohnya Kabupaten Kutai Timur adalah salah satu kabupaten endemis DBD di Propinsi Kalimantan Timur. Kabupaten ini merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Kutai pada tahun 2000. Di Kabupaten Kutai Timur telah terjadi tiga kali KLB, yaitu pada tahun 2002, 2006 dan 2007. Pada tahun 2002 jumlah kasus 173 penderita dengan empat kematian (CFR 2,32%), tahun 2006 104 kasus (CFR 0%) dan tahun 2007 sampai bulan Mei jumlah kasus 150 penderita dengan dua kematian (CFR 1,3% ) seperti pada Tabel 1 (Dinkes Kabupaten Kutai Timur, 2007).

Pengelolaan sampah dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mengangkut sampah pada TPS yang ada pada jalan besar, sedangkan sampah yang ada di gang-gang jalan dikelola sendiri oleh masyarakat. Keadaan ini menyebabkan penduduk membuang sampah di sembarang tempat seperti di pekarangan rumah, tanah-tanah kosong, kebun terutama sampah padat seperti kaleng-kaleng bekas, botol-botol, gelas air mineral, plastik dan sebagainya, yang dapat menampung air sehingga berpotensi sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk. Barang bekas tersebut semuanya memberi peluang bertambahnya tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes (Sukana, 1993).

Kegiatan penanggulangan yang dilaksanakan selama ini adalah penyuluhan, fogging fokus dan fogging massal. Kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) sampai saat ini belum optimal dilaksanakan terbukti dari rendahnya Angka Bebas Jentik (ABJ) tahun 2006 sebesar 58,9% (Misalnya : Data diambil dari Dinkes Kabupaten Kutai Timur, 2007), padahal ABJ yang dapat membatasi penularan penyakit DBD adalah 95% atau lebih dari 95% (Muyassirun, 2003). Untuk itu diperlukan kegiatan PSN yang berkesinambungan dan kegiatan PSN ini merupakan program pemerintah yang paling diandalkan (Hasyimi, 1999).

Perilaku masyarakat dalam kegiatan pemberantasan tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes dapat dilihat dari angka kepadatan populasi larva dan pupa nyamuk Aedes yang ada atau ditemukan di rumah atau lingkungannya. Ukuran yang biasa dipakai adalah menggunakan indikator entomologis House Index (HI), Container Index (CI), Breteau Index (BI) dan Pupae Index (PI) (WHO, 2001).

Penyakit Demam Berdarah Dengue

Penyakit demam berdarah dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Ae.aegypti, yang ditandai dengan: (1) demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2 - 7 hari disertai perdarahan; (2) Manifestasi perdarahan termasuk uji Torniquet positif; (3) Jumlah trombosit ≤100.000/µl); (4) peningkatan hematokrit ≥20%; dan (5) Disertai dengan atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali) (Depkes, 2005).

Penyebab DBD adalah virus dengue yang sampai sekarang dikenal empat serotipe (dengue-1, dengue-2, dengue-3 dan dengue-4), termasuk dalam group B Artropod Borne Virus (Arbovirus). Keempat serotipe ini telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh dengue-2, dengue-1 dan dengue-4 (Depkes, 2005).

Tiga faktor yang berperan penting pada penularan infeksi virus dengue adalah manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, kemudian virus yang ada di kelenjar liur nyamuk berkembangbiak dalam waktu 8-10 hari sebelum dapat ditularkan kembali pada manusia pada saat gigitan berikutnya (Depkes, 2005).

Karakteristik Nyamuk Ae. aegypti

Nyamuk adalah serangga kecil berkaki panjang, bersayap dua, mempunyai antena yang panjang, beruas-ruas, sayapnya mempunyai noda-noda dan mempunyai vena dan jumbai, termasuk dalam Fylum Arthropoda, Kelas Insekta, Ordo Diptera, Family Culicidae, Genus Anophilini dan species Ae. aegypti (Iskandar et al, 1985). Martini et al (2004) menyatakan bahwa nyamuk Ae.aegypti merupakan vektor utama yang menularkan virus dengue penyebab DBD. Nyamuk Ae. aegypti lebih menyukai darah manusia daripada binatang (antropofilik) dan bersifat menggigit pada beberapa orang sebelum merasa kenyang (multiple biters).

1) Morfologi

Nyamuk Ae. aegypti mempunyai morfologi sebagai berikut :

a. Telur

Telur berwarna hitam dengan ukuran ± 0,80 mm, berbentuk oval yang mengapung satu persatu pada permukaan air yang jernih atau menempel pada dinding tempat penampung air.

b. Jentik (larva)

Larva Ae. aegypti terdiri dari kepala, toraks dan abdomen serta terdapat segmen anal dan sifon dengan satu kumpulan rambut. Ada empat tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu instar I berukuran paling kecil yaitu 1-2 mm, instar II 2,5-3,8 mm, instar III lebih besar sedikit dari instar II dan instar IV berukuran paling besar 5 mm. Larva instar IV mempunyai tanda khas yaitu pelana yang terbuka pada segmen anal, sepasang bulu sifon dan gigi sisir yang berduri lateral pada segmen abdomen (Hamzah, 2004).

Pada stadium larva ada perbedaan mendasar antara Ae. aegypti dan Ae.albopictus. Larva Ae. aegypti, prosesus torakalis jelas, tunggal dan tidak bergerigi. Abdomen berciri sifon pendek, bulu satu pasang, warna lebih gelap daripada abdomen, segmen anal dengan pelana tidak menutup segmen. Gigi sisir pada sifon dan segmen VII dengan duri samping. Larva Ae. albopictus mempunyai prosesus torakalis tidak jelas dan bergerigi. Abdomen berciri sifon pendek, bulu sifon satu berkas, warna lebih gelap daripada abdomen, segmen anal dengan pelana tidak menutup segmen, gigi sisir pada sifon dan segmen abdomen VII tanpa duri samping (Juwono, 1999).

c. Kepompong

Pupa Ae. aegypti terdiri dari sefalotoraks, abdomen dan kaki pengayuh. Sefalotoraks mempunyai sepasang corong pernapasan yang berbentuk segitiga. Pada bagian distal abdomen ditemukan sepasang kaki pengayuh yang lurus dan runcing. Jika terganggu, pupa akan bergerak cepat untuk menyelam beberapa detik kemudian muncul kembali ke permukaan air (Hamzah, 2004). Kepompong (pupa) berbentuk seperti koma, bentuknya lebih besar tetapi lebih ramping dibandingkan dengan larva (jentiknya). Pupa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain (Depkes, 2005).

d. Nyamuk dewasa

Nyamuk Ae. aegypti dewasa tubuhnya terdiri dari kepala, toraks dan abdomen. Ae. aegypti dewasa mempunyai ciri-ciri morfologi yang khas, yaitu :

1. Mempunyai warna dasar yang hitam dengan belang-belang putih yang terdapat pada bagian badannya, terutama tampak jelas pada kaki pada bagian basal.

2. Pada bagian dorsal toraks tumbuh bulu-bulu halus yang membentuk gambaran lyra, yaitu sepasang garis putih sejajar di tengah dan garis lengkung putih yang tebal pada tiap sisinya (Hamzah, 2004). Nyamuk dewasa Ae. aegypti berukuran panjang 3-4 mm (Depkes, 2004). Menurut Djakaria (1998), Ae. aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki. Nyamuk Ae. aegypti dewasa memiliki probosis berwarna hitam, skutelum bersisik lebar berwarna putih dan abdomen berpita putih pada bagian basal. Ruas tarsus kaki belakang berpita (Sungkar, 2005).

Nyamuk Ae. albopictus mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut :

a. Nyamuk berukuran lebih kecil, berwarna gelap tidak tampak kasar.

b. Tibia kaki belakang tanpa gelang putih.

c. Mesotonum dengan garis memanjang atau kumpulan sisik berwarna putih mirip ”tanda seru”.

d. Sisik-sisik putih pada paha atau femur dalam bentuk bercak-bercak putih tidak teratur.

e. Ada kumpulan sisik-sisik putih yang lebar di atas akar sayap di antara bulu- bulu supra alar (Pratomo dan Rusdyanto, 2003).

2) Siklus hidup

Nyamuk Ae. Aegypti, seperti juga nyamuk Anophelini, lainnya mengalami metamorfosis sempurna, yaitu telur- jentik-kepompong-nyamuk. Stadium telur, jentik dan kepompong hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ±2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6 - 8 hari, dan stadium kepompong berlangsung antara 2 - 4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa selama 9 - 10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2 - 3 bulan. Gambar dibawah ini merupakan Siklus hidup nyamuk Ae. aegypti (Womack, 1993)

3) Tempat perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti

Tempat perkembangbiakan utama adalah tempat-tempat penampungan air berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana di dalam atau sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah (Depkes, 2005).

Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut :
  • a. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti drum, tangki, tempayan, bak mandi, WC dan ember.
  • b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain).
  • c. Tempat penampungan air alamiah seperti lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu.
4) Perilaku nyamuk Ae. aegypti

Setelah lahir (keluar dari kepompong), nyamuk istirahat di kulit kepompong untuk sementara waktu. Beberapa saat setelah lahir sayap meregang menjadi kaku, sehingga nyamuk mampu terbang mencari mangsa/darah. Nyamuk Ae. aegypti jantan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya, sedangkan yang betina menghisap darah. Nyamuk betina lebih menyukai darah manusia daripada binatang (bersifat antropofilik). Darah diperlukan untuk mematangkan telur agar jika dibuahi oleh sperma nyamuk jantan, dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk menghisap darah sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi antara 3 - 4 hari. Jangka waktu tersebut disebut siklus gonotropik (Hamzah, 2004).

Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya mulai dari pagi sampai petang hari, dengan dua puncak aktivitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Tidak seperti nyamuk lain, Ae. aegypti mempunyai kebiasaan menghisap darah berulangkali (multiple bites) dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit (Hamzah, 2004).

Setelah menghisap darah, nyamuk hinggap (beristirahat) di dalam atau kadang-kadang di luar rumah, biasanya berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya. Di tempat tersebut nyamuk menunggu proses pematangan telur. Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakkan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya sedikit di atas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ±2 hari setelah telur terendam air. Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100 butir. Telur ini di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu -2 derajat C sampai 42 derajat C, bila tempat tersebut tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat (Sungkar, 2005).

5) Penyebaran nyamuk Ae. aegypti

Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 meter, maksimal 100 meter namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat berpindah lebih jauh. Di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat umum. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembangbiak sampai ketinggian daerah ± 1.000 meter dari permukaan laut. Di atas ketinggian 1.000 meter tidak dapat berkembangbiak, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Hamzah, 2004).

Pengendalian Vektor DBD

Pemberantasan vektor DBD dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu :

1. Pengelolaan lingkungan

Pengelolaan lingkungan mencakup semua perubahan yang dapat mencegah atau meminimalkan perkembangan vektor sehingga kontak manusia dengan vektor berkurang. Upaya pengelolaan lingkungan yang dapat diterapkan dalam rangka mengendalikan populasi Ae. aegypti adalah :

a. Modifikasi lingkungan

Menurut Kusnoputranto (2000), modifikasi lingkungan adalah suatu transformasi fisik permanen (jangka panjang) terhadap tanah, air dan tumbuh - tumbuhan untuk mencegah/menurunkan habitat jentik tanpa mengakibatkan kerugian bagi manusia. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan untuk modifikasi lingkungan antara lain : perbaikan persediaan air bersih, tanki air atau reservoar di atas atau di bawah tanah dibuat anti nyamuk dan pengubahan fisik habitat jentik yang tahan lama (WHO, 2001).

b. Manipulasi lingkungan

Menurut Kusnoputranto (2000), manipulasi lingkungan adalah suatu pengkondisian sementara yang tidak menguntungkan atau tidak cocok sebagai tempat berkembangbiak vektor penular penyakit. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan untuk manipulasi lingkungan antara lain drainase instalasi penyediaan air, penyimpanan air rumah tangga dan pengubahan sementara habitat vektor atau pemusnahan tempat perkembangbiakan vektor. Pengubahan sementara habitat vektor yang dapat dilakukan di rumah tangga adalah pot bunga/vas bunga dilubangi untuk saluran air keluar, pemeriksaan wadah penampungan hasil kondensasi lemari es/AC, pemeriksaan pipa aliran air dari talang atap secara berkala, Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) dengan melakukan kegiatan 3M (menguras, menutup, mengubur), yaitu menguras bak mandi, bak WC, menutup tempat-tempat penampungan air di rumah (seperti : tempayan, drum, ban bekas, botol dan lain-lain), serta mengubur atau memusnahkan barang-barang bekas (seperti : kaleng, ban bekas, botol dan lain - lain). Kegiatan ini dilakukan secara rutin sekurang-kurangnya seminggu sekali agar daur hidup nyamuk stadium larva yang memerlukan 8 - 10 hari tidak tercapai untuk menjadi dewasa.

c. Perubahan habitat atau perilaku manusia

Upaya untuk mengurangi kontak antara manusia dengan vektor, misalnya pemakaian obat nyamuk bakar, penolak serangga dan penggunaan kelambu (WHO, 2001).

2. Pengendalian biologis

Antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikan cupang) dan penggunaan bakteri endotoxin seperti Bacillus thuringiensis dan Bacillus sphaericus.

3. Pengendalian dengan bahan kimia

Antara lain dengan cara pengasapan (fogging) menggunakan malathion sebagai upaya pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dan pemberantasan terhadap jentik dengan memberikan bubuk abate (abatisasi) yang biasa digunakan yakni temephos (Depkes, 2004).

Surveilans Vektor

Surveilans vektor nyamuk merupakan aspek yang paling penting dalam program pengendalian vektor. Tujuan dari surveilans adalah untuk mendapatkan informasi mengenai keberadaan vektor, frekuensi adanya nyamuk, jumlah dan distribusinya menurut tempat dan waktu, perubahan tingkat kepadatan, distribusi dan parameter epidemiologi lain yang berhubungan dengan kapasitas vektorial. (Satoto, 2007). Surveilans vektor yang dilakukan antara lain meliputi :

Survei jentik
Survei jentik dilakukan sebagai berikut :
  • a. Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti diperiksa (dengan mata telanjang) untuk mengetahui ada tidaknya jentik.
  • b. Untuk memeriksa tempat penampungan air (TPA) yang berukuran besar seperti bak mandi, tempayan, drum dan bak penampungan air lainnya, jika pada pandangan (penglihatan) pertama tidak ditemukan jentik, tunggu kira - kira ½ -1 menit untuk memastikan bahwa benar jentik tidak ada.
  • c. Untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil seperti vas bunga/pot tanaman/botol yang airnya keruh seringkali airnya perlu dipindahkan ke tempat lain.
  • d. Untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap, atau airnya keruh, biasanya digunakan lampu senter.
Metode survei jentik ada dua yaitu single larva dan visual. Single larva dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut, sedangkan visual dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik di setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya.
 
berita unik