Sanitasi Filariasis

Written By Lumajangtopic on Friday, March 21, 2014 | 7:52 PM


Pengaruh Faktor Lingkungan dengan Penyakit Kaki Gajah (Filariasis)

Filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi cacing filarial pada kelenjar getah bening, menimbulkan gejala klinik akut berupa demam berulang, peradangan kelenjar getah bening, oedema dan gejala klinik kronis berupa elephanthiasis, hidrokel. Filariasis ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk (Ditjen PPM dan PL, 1997). Filariasis diperkirakan menginfeksi sekitar 120 juta penduduk di 80 negara terutama di daerah tropis dan beberapa di negara sub tropis. Di Indonesia kurang lebih 10 juta penduduk sudah terinfeksi penyakit ini, dengan jumlah penderita kronik (elephantiasis) kurang lebih 6.500 orang (Depkes RI, 2002).

Filariasis sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Meskipun tidak menyebabkan kematian secara langsung, gejala akut yang berulang dan gejala kronis yang menetap sangat menurunkan kualitas sumber daya manusia dan produktifitasnya. Penderita elephanthiasis merupakan beban keluarga, masyarakat dan negara (Ditjen PPM dan PL, 1997). Penyakit ini terutama merupakan penyakit daerah tropik, tapi juga dapat ditemukan di daerah sub tropik. Penyakit ini tersebar di 100 negara dengan lebih dari satu miliar penduduk hidup di wilayah rawan tertular filariasis. Lebih dari 120 juta orang sudah terinfeksi, 40 juta diantaranya telah menjadi cacat dan disfungsi organ tubuh tertentu karena penyakit sudah berada dalam tahap kronis lanjut.

Di Indonesia penyakit ini tersebar di 21 propinsi, 124 kabupaten, 451 kecamatan dan 2004 desa, yaitu desa dengan angka mikrofilaria diantara penduduk lebih dari 1%. Diperkirakan sekitar 3% dari jumlah penduduk telah terinfeksi penyakit filaria dengan jumlah kasus kronis yang tercatat sampai tahun 2000 sebanyak 1444 orang (Ditjen PPM dan PL, 2000). Misalnya di Propinsi Jambi, filariasis masih merupakan masalah kesehata masyarakat, terutama di Kabupaten Bungo, Tebo, Merangin, Sarolangun, Batang Hari dan Muaro Jambi. Penyakit ini tersebar di 31 kecamatan, 41 wilayah puskesmas dan di 55 desa endemis dengan angka mikrofilaria rata-rata 1,8% (interval 0,8%-2,98%). Kasus kronis yang tercatat sebanyak 205 orang dan lebih dari 103.000 jiwa penduduk atau sekitar 4% dari penduduk Propinsi Jambi bertempat tinggal di daerah rawan filaria, sehingga berisiko untuk terinfeksi penyakit ini (Dinkes Propinsi Jambi, 2005).

Filariasis banyak diderita oleh penduduk berusia produktif (13-44 tahun), laki-laki lebih banyak terinfeksi daripada perempuan. Cacat fisik sifatnya permanen juga lebih banyak dijumpai pada laki-laki karena kemungkinan kontak dengan nyamuk lebih besar berkaitan dengan pekerjaannya (Soeyoko, 2002). Berdasarkan hasil penelitian Supali dkk (2002a), bertambahnya jumlah orang terinfeksi mikrofilaria ditemukan sesuai dengan bertambahnya usia penduduk. Prevalensi mikrofilaria mulai ditemukan pada masyarakat yang berumur 11-20 tahun, dan tertinggi ditemukan pada umur 27 tahun ke atas.

Penularan filariasis banyak berkaitan dengan aspek sosial-budaya, antara lain pengetahuan, kepercayaan, sikap dan kebiasaan masyarakat. Penduduk dengan pekerjaan petani, berladang, pencari kayu rotan dan penyadap karet banyak terinfeksi filariasis (Sumarni dan Soeyoko, 1998). Untuk memberantas penyakit ini secara tuntas, WHO telah menetapkan kesepakatan global untuk melakukan eliminasi di setiap negara secara bertahap sampai dengan tahun 2020. Program eliminasi dimaksudkan untuk menurunkan angka kesakitan mikrofilaria rate < 1 % sehingga tidak terjadi penularan lagi. Sejak tahun 1975, Indonesia telah melakukan program pemberantasan filariasis di daerah endemis. Secara keseluruhan prevalensi penyakit di Indonesia turun setelah dilakukan pengobatan massal pada penderita sejak pelita I, namun penyakit ini di daerah-daerah tertentu masih tinggi prevalensinya. Daerah tersebut merupakan daerah kantong endemik dan selalu menjadi sumber penularan ke daerah lainnya (Depkes RI, 2002).

Masalah penyakit filaria tersebut terkait erat dengan masalah agen dan vektor penyakit, pelayanan kesehatan atau pelaksanaan program pemberantasan, peran serta masyarakat serta lingkungan. Upaya yang dilaksanakan Depkes selama ini untuk menanggulangi masalah penyakit filaria masih difokuskan pada pengobatan pencegahan dan pengobatan penderita penyakit, dengan kegiatan berupa pemberian dosis rendah garam Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dan pengobatan massal bagi penduduk di desa endemik.

Filariasis umumnya endemis di daerah dataran rendah, terutama di pedesaan di daerah pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan daerah hutan. Secara umum, filariasis tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Filariasis Wuchereria bancroffi tipe pedesaan masih banyak ditemukan di provinsi Irian Jaya dan beberapa daerah lain di Indonesia, sedangkan Wuchereria bancrofti tipe perkotaan dan sekitarnya seperti Jakarta, Bekasi, Semarang, Tangerang, Pekalongan dan Lebak (Banten). Filariasis Malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Pulau Seram. Bruggia timori terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba, umumnya endemik di daerah persawahan.

Meskipun filariasis tidak menimbulkan kematian secara langsung tetapi merupakan salah satu penyebab utama timbulnya kecacatan, kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Hal ini disebabkan bila terjadi kecacatan menetap maka seumur hidupnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal, sehingga dapat menjadi beban keluarganya, merugikan masyarakat dan negara. Seringnya serangan akut pada penderita filariasis sangat menurunkan produktifitas kerja sehingga akhirnya dapat juga merugikan masyarakat. Selain itu, penderita akan mengalami kerugian ekonomi untuk biaya pengobatan dan perawatan, sekurang-kurangnya Rp 750.000,- per tahun. (Hasil penelitian Subdit filariasis dan Schistcsomiasis – Dirjen PPMPL bersama Fakultas Kesehatan Masyarakat-Universitas Indonesia (FKM-UI) pada tahun 2000.

Pada dasarnya gejala akibat infeksi Wucheria dan Bruggia sama karena cacing filarial hidup di sistem limfatik. Pertama akan menimbulkan iritasi dan peradangan, sehingga terjadi limfadenitis dan limfangitis yang dapat timbul dimana saja tetapi kebanyakan ditemukan di daerah lipat paha, ketiak dengan atau tanpa demam yang berulang. Kemudian dengan kerusakan di sistem limfatik dapat timbul cedema yang juga berulang dan akhirnya terjadi elephantiasis (filariasis) yaitu pembesaran pada kaki, lengan, zakar, dan alat kelamin wanita yang sulit untuk disembuhkan. Keadaan ini dapat menimbulkan stigma bagi penderitanya.

Pada infeksi dengan W. bancrofti, gejala akut yang berupa peradangan tidak jelas, tetapi elephantiasis dapat mencapai ukuran yang besar. Gejala infeksi W. bancrofti seperti elephantiasis scroti yang menyebabkan penderita tidak dapat berjalan. Elephantiasis dapat terjadi pada seluruh kaki dan lengan. Pada infeksi Brugia malayi dan Brugia timori, gejala akut lebih nyata. Limfangitis dapat teraba seperti tali yang merah dan nyeri yang timbulnya mulai dari kelenjar di lipatan paha dan ketiak, dan kemudian menjalar ke arah distal (desendens). Juga sering disertai timbulnya demam dan timbul abses yang sembuh dengan meninggalkan parut. Pada daerah endemis Brugia, sering ditemukan parut-parut di daerah sistem limfatik. Elephantiasis timbul di bagian bawah lutut dan siku sehingga lutut pada umumnya nampak normal (Depkes. RI, 2002).

Diagnosis filariasis ditegakkan dengan memeriksa gejala klinik dan pemeriksaan darah. Gejala klinik akut berupa adenolimfangitis yang hilang timbul berulang-ulang dan dapat disertai demam, abses yang pecah dan meninggalkan jaringan parut. Gejala kronis berupa limfadema, hidrokel, dan elephantiasis. Gejala klinik merupakan indikator, tetapi sering juga terjadi pada penyakit lain (infeksi tumor). Diagnosis dengan pemeriksaan darah masih tetap menjadi pilihan utama karena jelas ditemukan mikrofilaria dan ditetapkan spesiesnya. Sekarang dikembangkan teknik diagnosis yang lebih canggih dan mudah dilakukan yaitu Immuno Chromatographic Test (ICT) tapi baru dikembangkan untuk filariasis bancrofti, sedangkan di Indonesia lebih banyak infeksi Brugia. Manifestasi penyakit hanya terjadi pada beberapa orang dan tidak semua orang yang mengandung parasit menunjukkan gejala klinis yang jelas. Hal ini biasa terjadi pada orang yang tinggal di daerah endemik tetap asimtomatik meskipun terpapar berulang-ulang dengan stadium infektif.

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh 3 spesies cacing filarial yang secara epidemiologi dapat dibedakan menjadi 6 tipe yaitu :
  • Wucheria bancrofti yang ditemukan di daerah perkotaan (urban) seperti di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan, dan sekitarnya.
  • Wucheria bancrofti yang ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa tersebar luas terutama Irian Jaya yang mempunyai periodisitas nokturna.
  • Brugia Malayi yang ditemukan di daerah persawahan yang bersifat periodik nokturna.
  • Brugia Malayi yang ditemukan di daerah rawa, bersifat sub periodik nokturna.
  • Brugia Malayi yang ditemukan di hutan bersifat non periodik, mikrofilaria ditemukan dalam daerah tepi baik malam maupun siang hari.
  • Brugia timori yang bersifat periodik nokturna ditemukan di daerah Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara, dan mungkin juga di daerah lain.

Hospes
a. Manusia yang rentan :
Hospes (induk semang) dari filariasis adalah manusia. Pada dasarnya semua manusia dapat terjangkit filariasis apabila digigit oleh nyamuk vektor yang infektif (mengandung larva stadium 3). Vektor infektif mendapat mikrofilaria dari orang-orang setempat yang mengidap mikrofilaria dalam darahnya. Namun demikian, dalam kenyataannya tidak semua orang yang hidup di suatu daerah endemis filariasis terinfeksi dan semua orang yang terinfeksi tidak semua menunjukkan gejala. Meskipun tanpa gejala tetapi sudah terjadi perubahan-perubahan patologis. Makin lama pendatang menempati daerah endemis filariasis makin besar kemungkinannya terkena infeksi. Pendatang baru dari daerah non endemis ke darah endemis (misalnya transmigran) lebih banyak menunjukkan gejala.

Di suatu daerah endemis tinggi sebagian besar penduduk dapat terinfeksi. Biasanya pendatang baru ke daerah yang endemis seperti transmigran lebih cepat menunjukkan gejala klinis akut bila terinfeksi walaupun mikrofilaria dalam darah belum ditemukan. Semakin lama pendatang baru menempati daerah endemis filariasis, semakin lebih banyak yang terinfeksi.

Salah satu spesies cacing filarial yaitu Brugia malayi yang sub periodik dan selain menginfeksi manusia juga dapat menginfeksi lutung (Presbitis crestatus) dan kucing. Binatang ini merupakan sumber penularan bagi manusia (hospes reservoir). Di dalam saluran dan kelenjar limfe, cacing dewasa jantan dan betina berkopulasi dan cacing betina akan mengeluarkan mikrofilaria (ovovivivar).

b. Beberapa hewan reservoir

Hospes reservoir berperan sebagai sumber penyakit. Diantara cacing filarial yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya Brugia malayi yang sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan juga pada hewan lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus) yang dapat merupakan sumber infeksi pada manusia. Brugia malayi tipe sub periodik nokturna umumnya ditemukan di daerah rawa-rawa. Adanya hospes reservoir akan menyulitkan program pemberantasan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan untuk mengatasi keberadaan hospes reservoir sebagai sumber penyakit.

Filarial limfatik dalam daur hidupnya memerlukan nyamuk sebagai vektor. Nyamuk mengisap darah penderita yang mengandung mikrofilaria dengan kepadatan tertentu. Transmisi filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu :
  1. Adanya sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoar yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya.
  2. Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis
  3. Manusia yang rentan terhadap filariasis.
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk vektor yang mengandung larva infektif atau larva stadium-3 (L-3). Nyamuk vektor dapat menjadi infektif apabila nyamuk tersebut menghisap darah dari orang atau binatang reservoar yang mengandung mikrofilaria. Dengan demikian, manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya merupakan sumber penularan. Kemampuan nyamuk vektor untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah terbatas. Apabila microfilaria terlalu banyak terhisap oleh nyamuk vektor, maka dapat menyebabkan kematian nyamuk vektor tersebut. Sebaliknya apabila mikrofilaria yang terhisap oleh nyamuk vektor terlalu sedikit, maka kemungkinan terjadinya transmisi menjadi kecil.

Pada saat nyamuk menggigit kulit manusia, maka larva L3 akan keluar dari proboscis bersama air liur nyamuk. Pada saat nyamuk menarik probosisnya, maka larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk ke sistem limfe. Untuk Brugia malayi dan Brugia timori dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, larva L3 akan menjadi cacing dewasa, sedangkan untuk Wuchereria bancrofti diperlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Bila seseorang yang rentan terhadap filariasis terinfeksi maka orang tersebut akan menunjukkan gejala filariasis. Seseorang dapat terinfeksi filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan dari nyamuk vektor ribuan kali. Hal ini sangat berbeda dengan transmisi yang terjadi pada penyakit malaria dan demam berdarah. Dengan demikian, kepadatan vektor dalam penularan filariasis sangat berperan. Selain itu, pengaruh faktor lingkungan terutama suhu dan kelembaban udara mempengaruhi umur nyamuk vektor. Transmisi tidak dapat terjadi apabila umur nyamuk vektor kurang dari masa inkubasi ekstrinsik dari parasit. Masa inkubasi ekstrinsik yaitu waktu yang diperlukan untuk perkembangan mikrofilaria rate menjadi L3, di dalam tubuh nyamuk. Masa inkubasi ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10-14 hari sedangkan Brugia malayi dan Brugia timori antara 8-10 hari. Umumnya penularan terjadi pada malam hari. Hal ini sangat terkait dengan periodisitas mikrofilria dan perilaku menggigit dari nyamuk vektor. Artinya, mikrofilaria yang bersifat periodisitias nokturna (mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang aktif mencari darah pada waktu malam. Di wilayah mikrofilaria sub periodiknokturna dan non periodik, gigitan nyamuk dapat terjadi siang dan malam hari.

Sebagai vektor filariasis adalah nyamuk. Di dalam tubuh vektor ini mikrofilaria akan berkembang menjadi bentuk infektif. Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor filariasis. Bionomic (tata hidup) vektor filariasis perlu diketahui, mencakup perilaku menggigit (mencari darah), dan perilaku beristirahat dari spesies vektor. Nyamuk dapat bersifat antropofilik (menyukai darah manusia), zoofilik (menyukai darah hewan) dan zoantropofilik (menyukai darah hewan dan manusia), eksofagik (mencari mangsa di luar rumah), dan endofagik (mencari mangsa di dalam rumah). Tetapi beristirahat berbeda- beda tergantung jenisnya. Umumnya nyamuk istirahat pada tempattempat teduh, seperti di semak-semak sekitar tempat perindukan, dan dalam rumah pada tempat-tempat yang gelap. Perilaku nyamuk sebagai vektor filariasis menentukan distribusi filariasis. Setiap daerah endemis filariasis umumnya mempunyai spesies nyamuk yang berbeda yang dapat menjadi vektor utama dan spesies nyamuk hanya bersifat vektor potensial.

Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan terjadinya filariasis, baik langsung maupun tidak langsung, sebagai berikut :

1. Faktor Individu

Yang dimaksud dengan faktor individu adalah umur, jenis kelamin, dan pekerjaan yang berhubungan dengan terjadinya filariasis. Filariasis dapat menular kepada setiap orang baik anak-anak, dewasa, laki-laki maupun perempuan, jika hospes sangat rentan terhadap penyakit ini tergigit oleh nyamuk penular penyakit yang mengandung larva L3. Beberapa penelitian telah menyebutkan adanya perbedaan umur dan jenis kelamin terhadap terjadinya filariasis. Umur dewasa lebih banyak terkena filariasis dibandingkan dengan umur muda, namun menurut Partono dkk (1978) Brugia timori menginfeksi seluruh golongan umur dan jenis kelamin. Menurut WHO (1997) filariasis lebih banyak menginfeksi laki-laki daripada perempuan. Sebaliknya menurut Supali dkk (2002) filariasis pada penderita wanita lebih banyak dibandingkan dengan laki- laki. Cacat fisik sifatnya permanen lebih banyak dijumpai pada laki-laki karena berhubungan dengan pekerjaannya. Pekerjaan sebagai petani/peladang berpindah-pindah dengan membuat pondok untuk tinggal sementara di ladang, perambah hutan merupakan pekerjaan yang berisiko oleh penularan filariasis. Selain dapat menimbulkan tempat perindukan nyamuk yang baru petani/peladang berpindah-pindah, kemungkinan terpapar oleh gigitan nyamuk lebih banyak sehingga lebih besar kemungkinan terjadinya penularan filariasis (Sudjadi, 1996). Sumarni dan Soeyoko (1998) menyebutkan bahwa infeksi Malayi paling banyak terjadi pada penduduk yang mempunyai pekerjaan sebagai petani. Mereka sering berada di hutan untuk berladang mencari kayu/rotan dan meyadap karet.

2. Perilaku penduduk


Perilaku adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan dari pandangan biologis (Notoatmodjo, 1997 cit. Mahdiniansyah, 2002). Perilaku manusia pada hakikatnya suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Untuk kepentingan analisis perilaku diamati apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku dapat dibedakan menjadi 2, yaitu perilaku yang tidak bersyarat atau pembawaan, dan perilaku yang bersyarat yang diperoleh berdasarkan pengalaman atau didapat atau karena adanya proses belajar.

Perilaku dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni knowledge (pengetahuan), attitude (sikap), dan practice (tindakan) (Bloom, 1994 cit Mahdiniansyah, 2002). Perilaku dalam bentuk pengetahuan penduduk yang berkaitan dengan filariasis, baik pencegahan, penularan pengobatan dan lain-lain. Pengetahuan yang dimiliki tersebut dapat kemungkinan mempengaruhi kejaian filariasis, baik secara langsung atau tidak langsung. Perilaku dalam praktik berupa respon terhadap segala bentuk kegiatan yang pernah diberikan baik berupa penyuluhan ataupun cara pencegahan dan keadaan mental dan kecenderungan seseorang untuk beraksi terhadap suatu keadaan dan lingkungan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman serta latar belakang pendidikan. Masih banyak masyarakat di daerah endemis filariasis mempunyai sikap tidak positif terhadap penanggulangan filariasis sebagai contoh yaitu: masyarakat masih menolak dilakukan pengobatan dan pengambilan darah. Selain itu masyarakat di daerah endemis filariasis umumnya kurang tanggap terhadap lingkungannya, seperti rawa-rawa masih tetap terbuka.

3. Lingkungan fisik dan biologik

Lingkungan fisik dan biologik mencakup antara lain keadaan iklim, geografis, struktur geologi, dan sebagainya. Faktor lingkungan fisik dan biologik ini terutama erat kaitannya dengan kehidupan vektor penular termasuk tempat perindukan, tempat istirahat, tempat menggigit vektor. Suhu dan kelembaban mempengaruhi pertumbuhan dan umur nyamuk, sedangkan curah hujan mempengaruhi keberadaan tempat perindukan nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di tempat perindukan (rawa- rawa) dan adanya binatang sebagai hospes reservoir (kera dan kucing) sangat mempengaruhi penyebaran filariasis spesies Malayi subperiodik dan nonperiodik.

Keadaan lingkungan sekitar rumah yang berawa-rawa atau merupakan tanah yang becek serta semak-semak yang tumbuh dengan subur merupakan tempat perindukan nyamuk vektor filariasis malayi (Mansonia spp) (Sumarni dan Soeyoko, 1998). Brugia malayi yang periodik ditularkan An. barbirostris dengan sawah sebagai tempat perindukan, Brugia timori yang ditularkan oleh An. barbirostris berkembang biak di daerah persawahan, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman. Keadaan lingkungan yang dapat menunjang kelangsungan hidup hospes, hospes reservoir, dan vektor, merupakan hal yang sangat penting untuk epidemiologi filariasis (Gandahusada dkk., 2003). Menurut Riyadi (1984) sanitasi lingkungan adalah prinsip-prinsip usaha untuk meniadakan atau setidak-tidaknya menguasai faktor-faktor lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit melalui kegiatan-kegiatan yang ditujuan untuk mengendalikan: sanitasi air, sanitasi makanan, pembuangan kotoran, air buangan dan sampah, sanitasi udara, vektorbdan binatang pengerat dan Hygiene perumahan dan halaman. Dalam penanggulangan penyakit filaria, pemutusan rantai penularan melalui vektor sangat penting. Penularan filaria terjadi bila ada vektor (nyamuk) sebagai perantara atau hospes dari cacing filaria (Riyadi, 1984).

Penghilangan tempat-tempat perindukan dan tempat peristirahatan vektor (nyamuk) serta pemeliharaan lingkungan rumah juga berperan penting dalam penanggulangan penyakit filarial. Terjadinya lonjakan peningkatan penyakit filarial di Kabupaten Muaro Jambi dari 3 kasus menjadi 72 kasus, dari 2 desa menjadi 25 desa, menunjukkan bahwa pengobatan saja tidak cukup untuk menanggulangi penyakit filarial tetapi harus diikuti dengan sanitasi lingkungan.

4. Lingkungan sosial ekonomi dan budaya

Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya ialah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar manusia. Termasuk antara lain sosial ekonomi dan perilaku penduduk, adat istiadat, tingkah laku, budaya penduduk, kebiasaan hidup penduduk, tradisi penduduk dan sebagainya. Sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat yang perlu diperhatikan antara lain adalah kebiasaan penduduk bertani (berkebun), dan kebiasaan penduduk bekerja malam hari atau keluar malam hari, serta kebiasaan penduduk pada malam hari sebelum dan sewaktu tidur. Kebiasaan-kebiasaan tersebut berkaitan dengan terjadinya kontak antara manusia dengan vektor (terjadinya infeksi). Umumnya laki-laki menunjukkan angka infeksi mikrofilaria lebih tinggi dari perempuan. Karena umumnya laki-laki lebih terpapar akibat pekerjaan dan kebiasaannya sehingga kemungkinan terjadinya infeksi (kontak dengan vektor) lebih sering daripada perempuan.

Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Filaria 

1. Penentuan desa endemis Filaria

Sebelum diadakan pemberantasan harus ditemukan daerah endemis terutama daerah endemis tinggi (Mf rate >1%). Untuk menentukan daerah endemis dapat digunakan beberapa cara: survey cepat, survey kilns, pemeriksaan serologi untuk daerah endemis W. bancrofti, pemeriksaan biologi molekuler untuk daerah endemis B. malayi dan B. timori. Indikasi awal dari pelaksanaan survei adalah ditemukannya penderita aklinis atau penderita kronis diantara penduduk di desa tersebut. Survei yang dilaksanakan secara massal di Indonesia adalah survei gejala klinis dan darah jari yang dilakukan pada pukul delapan malam waktu setempat pada daerah sekitar rumah penderita dengan gejala klinis. Jumlah sampel diambil ditentukan dengan cara sampling. Bila hasil survei menunjukkan mf rate ≥1% maka desa tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis yang harus dilakukan pengobatan selektif.

2. Pengobatan

Upaya pemberantasan filariasis ini telah dilakukan sejak tahun 1975 dengan cara pengobatan massal menggunakan obat filarzan (DEC- Diethyl Carbamazine Citrate) dengan dosis standar yaitu 5 mg/kg/BB sehari selama 10-14 hari. Cara pengobatan seperti ini telah berhasil menurunkan angka kesakitan tetapi memberikan efek samping yang besar seperti demam, mual, muntah dan lain-lain sehingga masyarakat tidak mau menggunakan. Untuk mengurangi efek samping tersebut, telah dilakukan perubahan cara pemberian obat DEC ini. Sejak tahun 1991 sampai saat ini dipakai cara pengobatan DEC dosis rendah jangka panjang seminggu sekali selama 40 minggu. Dosis DEC yang diberikan yaitu satu tablet DEC (100 mg) diberikan kepada penduduk yang berusia 10 tahun keatas dan 0,5 tablet DEC (50 mg) untuk penduduk berumur 2-9 tahun. Pada umumnya cakupan program dosis rendah tidak mencapai 80% dari jumlah penduduk desa dan frekuensi makan obat <30 kali (30 minggu).

3. Pemberian Garam DEC (Dietyl Carbamizad Citrat)


Upaya pemberantasan filariasis melalui pemberian garam DEC (garam yang dicampur dengan Dietyl Carbamized Citrat) dilaksanakan mulai tahun 1999-2000 di 10 desa uji coba dalam 5 propinsi. Dua desa diantaranya terletak di propinsi Jambi. Garam yang telah dicampur dengan DEC 0,2%, 0,4% dikonsumsi oleh seluruh penduduk untuk kebutuhan harian selama 5-12 bulan. Pada evaluasi kegiatan ternyata upaya ini telah berhasil menurunkan angka microfilaria menjadi 0%. Jadi terbukti upaya ini cukup efektif untuk memberantas filarial. Kelemahan program ini adalah hanya dapat diaplikasi di daerah yang tidak memproduksi garam dan di daerah dengan mobilitas rendah, disamping biaya pengadaan garam yang relatif tinggi.

4. Eleminasi Penyakit Filaria

Eliminasi filariasis adalah upaya pemberantasan yang dilakukan secara intensif, menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan guna menurunkan angka kesakitan (mf. Rate) menjadi < 1% sehingga tidak terjadi penularan lagi. Program eliminasi dilaksanakan atas dasar kesepakatan global WHO pada tahun 2000 (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the year 2020).
 
berita unik