Kebijakan KLA sangat diperlukan mengingat kondisi obyektif anak-anak Indonesia baik secara historis, filosofis, sosiologis maupun antropologis berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Kekhawatiran tersebut semakin kuat dengan melihat fakta global yang berubah sangat cepat baik karena perkembangan teknologi informasi, adanya agenda-agenda politik global maupun karena munculnya fenomena kehidupan baru seperti krisis pangan, krisis energi serta pemanasan global, perubahan iklim yang membawa anak-anak pada posisi yang semakin rentan. Kebijakan KLA hanya bisa dilaksanakan apabila ada kemauan politik dari pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, untuk mendengar dan mengetahui kebutuhan anak sesuai dengan situasi, kondisi dan permasalahan anak; misalnya anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang mengalami tindak kekerasan, masalah sosial anak, pendidikan dan kesehatan anak, hak sipil dan partisipasi anak.
Upaya pengintegrasian hak anak ke dalam isu sentral pembangunan suatu negara bukanlah hal yang baru. Berbagai Negara telah sejak lama melakukan upaya serupa dengan satu harapan yang sama yaitu memberikan yang terbaik bagi kepentingan anak. Mengetahui sejarah dan proses perkembangan integrasi hak anak kedalam pembangunan dari Negara lain dapat menyakinkan kita tentang perlunya kesungguhan kita dalam melaksanakan perlindungan anak. Pembangunan KLA diawali dengan penelitian mengenai “Children’s Perception of the Environment” oleh Kevin Lynch (arsitek dari Massachusetts Institute of Technology) di 4 kota – Melbourne,Warsawa, Salta, dan Mexico City – tahun 1971-1975.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah yang mempunyai masyarakat yang kuat secara fisik dan sosial; masyarakat yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas; yang memberi kesempatan pada anak; dan fasilitas pendidikan yang memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka. Penelitian tersebut dilakukan dalam rangka program Growing Up In Cities (GUIC) – tumbuh kembang diperkotaan – yang disponsori oleh UNESCO. Salah satu tujuan GUIC adalah mendokumentasikan persepsi dan prioritas anak, sebagai basis program peran serta, bagi perbaikan kota. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan oleh UNESCO dan MIT Press dengan judul “Growing UpIn Cities” 1977.
Pada perkembangan selanjutnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Konvensi Hak Anak pada tahun 1989, dengan memasukan salah satu ketentuan mengenai hak anak untuk mengekspresikan pendapatnya. Ini artinya anak mempunyai suara, disamping adanya prinsip lain seperti non-diskriminasi; kepentingan terbaik untuk anak; dan hak untuk hidup dan mengembangkan diri. Pada KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992, para kepala pemerintahan dari seluruh dunia menyepakati prinsip-prinsip Agenda 21 yaitu Program Aksi untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Bab 25 Agenda 21 menyatakan bahwa, anak dan remaja sebagai salah satu Major Group Kelompok Utama yang dilibatkan untuk melindungi lingkungan dan kegiatan masyarakat yang sesuai dan berkelanjutan. Bab 28 Agenda 21 juga menjadi rujukan bahwa, remaja berperan serta dalam pengelolaan lingkungan. Akan tetapi yang paling mendesak adalah agar pemerintah kota melibatkan warga dalam proses konsultasi untuk mencapai konsensus pada “Agenda 21 Lokal,” dan mendorong pemerintah kota menjamin bahwa anak dan remaja terlibat dalam proses pembuatan keputusan, perencanaan, dan pelaksanaan.
Setelah 25 tahun, hasil penelitian Kevin Lynch ditinjau kembali, dan dilakukan penelitian serupa oleh Dr Louise Chawla dari the Children and Environment Program of the Norwegian Centre for Child Research - Trondheim, Norwegia tahun 1994-1995. Penelitian yang disponsori oleh UNESCO dan Child Watch International, dilakukan di Buenos Aires dan Salta, Argentina; Melbourne, Australia; Northampton , Inggris; Bangalore , India; Trondheim , Norwegia; Warsawa , Polandia; Johannesburg , Afrika Selatan; dan Oaklands , California, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini menjadi indikator bagi UNICEF dalam mengawasi pemenuhan hak anak di kota sebagai bagian dari Child Friendly City Initiative untuk pemerintah kota.
Pada Konferensi Habitat II atau City Summit, di Istambul, Turki tahun 1996, perwakilan pemerintah dari seluruh dunia bertemu dan menandatangani agenda habitat, yakni sebuah program aksi untuk membuat permukiman lebih nyaman untuk ditempati dan berkelanjutan. Paragraf 13 dari pembukaan Agenda Habitat, secara khusus menegaskan bahwa anak dan remaja harus mempunyai tempat tinggal yang layak; terlibat dalam proses mengambilan keputusan, baik di kota maupun di masyarakat; terpenuhi kebutuhan dan peran anak dalam bermain di masyarakatnya. Melalui City Summit itu, UNICEF dan UNHABITAT memperkenalkan Child Friendly City Initiative, terutama menyentuh anak kota, khususnya yang miskin dan yang terpinggirkan dari pelayanan dasar dan perlindungan untuk menjamin hak dasar mereka.
Pada UN Special Session on Children , Mei 2002, para walikota menegaskan komitmen mereka untuk aktif menyuarakan hak anak, pada pertemuan tersebut mereka juga merekomendasikan kepada walikota seluruh dunia untuk : a.mengembangkan rencana aksi untuk kota mereka menjadi Kota Ramah dan melindungi hak anak,b.mempromosikan peran serta anak sebagai aktor perubah dalam proses pembuatan keputusan di kota mereka terutama dalam proses pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pemerintah kota.Upaya UNICEF dan UNHABITAT ini terus menerus dipromosikan keseluruh dunia dengan upaya meningkatkan kemampuan penguasalokal (UN Special Session on Children, 2002).
Pada World Summit on Sustainable Development di Johannesburg, Afrika Selatan tahun 2002, para pemimpin negara dari seluruh dunia antara lain menyepakati untuk mewujudkan perbaikan yang signifikan pada kehidupan bagi sedikitnya 100 juta masyarakat penghuni kawasan kumuh, seperti yang diusulkan dalam prakarsa “Kota tanpa Permukiman Kumuh” (Cities without Slums) pada tahun 2020.
Hal tersebut mencakup tindakan pada semua tingkatan untuk : a.meningkatkan akses pada tanah dan properti, permukiman yang memadai dengan pelayanan dasar bagi masyarakat miskin di perkotaan dengan perhatian khusus pada kepala rumah tangga perempuan;b.mendukung otoritas lokal dalam menjabarkan program perbaikan daerah kumuh dalam kerangka rencana pengembangan perkotaan dan mempermudah akses, khususnya bagi masyarakat miskin, pada informasi mengenai peraturan tentang perumahan. Melalui pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), pemerintah membuat suatu upaya nyata untuk menyatukan isu hak anak kedalam perencanaan dan pembangunan kabupaten/kota. Mengingat program pelayanan dasar perkotaan dipandang sebagai program khusus dan merupakan kerangka kerja dari pemerintahan kabupaten/kota,
Pengembangan KLA diimplementasikan melalui pemerintah kabupaten/kota yang digabungkan ke dalam mekanisme dan kerangka kerja institusi yang ada. Pengembangan KLA secara terus menerus diimplementasikan ke sejumlah bagian kabupaten/kota yang terbatas dengan program pelayanan dasar perkotaan yang secara maksimum didukung oleh sumber daya yang ada. Dengan mengintegrasikan konsep perlindungan anak ke dalam program pembangunan kabupaten/kota akan lebih mudah dibandingkan dengan merealisasikan Konvensi Hak Anak secara langsung.