Batas Residu Pestisida Pada Hasil Pertanian

Written By Lumajangtopic on Sunday, December 6, 2015 | 7:25 PM

Persyaratan Batas Maksimum Residu Pestisida Hasil Pertanian dalam Perdagangan Dunia

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah menerima persetujuan SPS (Sanitary and Phytosanitary) sebagai salah satu bentuk hambatan non tarip yang dapat diterapkan oleh suatu negara. Salah satu ketentuan SPS yang diterima berkaitan dengan kandungan residu pestisida pada produk pertanian. Agar hasil pertanian dapat memasuki suatu negara harus mengandung residu pestisida di bawah nilai BMR (Batas Maskimum Residu) Pestisida yang ditetapkan oleh suatu negara dengan mengacu ketentuan keamanan pangan/Codex Alimentarius (WHO).

Dengan adanya ketetapan tentang BMR Pestisida, suatu negara dapat melindungi kesehatan masyarakat dari produk pertanian yang membahayakan. Pengenaan BMR Pestisida tidak hanya berlaku untuk produk-prduk pertanian yang berasal dari luar negeri tetapi juga produk domestik. Dilihat dari sisi perdagangan global pemenuhan persyaratan BMR dapat melancarkan keberhasilan produk pertanian suatu negara memasuki pasar domestik negara-negara lain. Sebaliknya dengan ketetapan BMR, suatu negara dapat menghambat masuknya produk pertanian dari luar negeri terutama produk yang membahayakan kesehatan masyarakat. Tanpa ada ketetapan BMR dan kriteria SPS lain yang efektif, pasar domestik secara bebas dapat dibanjiri oleh produk-produk pertanian luar negeri yang mungkin berkualitas rendah.

Ketentuan BMR Pestisida di Indonesia

Indonesia telah memiliki ketetapan tentang BMR Pestisida melalui SKB Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor: 881/Menkes/SKB /VIII /1996 dan 711/Kpts/TP.270/8/96 tentang Batas Maksimum Rediu Pestisida Pada Hasil Pertanian. Pasal 2 SKB tersebut menyatakan bahwa setiap hasil pertanian yang beredar di Indonesia baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri tidak boleh mengandung residu pestisida melebihi batas yang ditetapkan. SKB Pasal 3 menetapkan bahwa hasil pertanian yang dimasukkan dari luar negeri yang mengandung residu pestisida melebihi BMR harus ditolak.

Sampai saat ini SKB tersebut belum efektif dan dapat dilaksanakan di lapangan. Beberapa kesulitan yang dihadapi dalam penerapan SKB tersebut adalah :
  1. Mekanisme koordinasi antar sektor, antar petugas pemerintah yang akan melaksanakan ketetapan tersebut belum ditetapkan. Pertemuan lintas sektor pernah dilaksanakan namun dengan adanya krisis multidimensi pertemuan tersebut terhenti. Pertemuan koordinasi tersebut perlu dimulai lagi dengan sasaran dan jadwal yang jelas. Dengan otonomi daerah saat ini koordinasi tersebut akan menjadi semakin sulit dan semakin rumit.
  2. Jaringan Kerja Nasional Laboratorium Penguji Residu Pestisida terutama yang berada dekat dengan kota-kota pelabuhan belum terbentuk. Hal ini antara lain disebabkan karena sebagian besar laboratorium pengujian yang dimiliki oleh Dept Kesehatan dan Departemen Pertanian belum terakreditasi baik di tingkat nasional maupun internasional. Tanpa sistem jaringan laboratorium yang handal dan terpercaya sangat sulit bagi Indonesia untuk menerapkan ketentuan SPS-WTO untuk perlindungan pasar domestik.
Peranan Komisi Pestisida

Komisi Pestisida sewaktu masih berada di Ditjen Bina Tanaman Pangan telah menjadi inisiator dan konseptor sehingga dikeluarkannya SKB Menkes dan Mentan mengenai BMR Pestisida pada tahun 1996. Hal ini disebabkan karena hampir di semua negara urusan residu pestisida dikelola oleh otoritas nasional yang bertanggungjawab terhadap registrasi dan regulasi pestisida. Adanya desakan dari pimpinan nasional pada waktu itu untuk menghambat banjirnya buah-buahan dari luar negeri, mendorong kita segera menetapkan BMR Pestisida yang berlaku untuk seluruh wilayah tanah air. Pimpinan Departemen Pertanian menugaskan Komisi Pestisida untuk mempersiapkan penyusunan ketetapan tersebut.

Karena data penelitian dalam negeri tentang BMR Pestisida pada produk pertanian belum tersedia, Komisi mengambil kebijakan mengadopsi pedoman Codex Alimentarius dan beberapa ketentuan dari negara-negara lain. Menyadari masih lemahnya kemampuan SDM dan laboratorium dalam melakukan analisis residu pestisida, Komisi Pestisida membentuk Tim Pakar yang ditugasi menyusun Metode Baku Pemeriksaan Laboratorium Residu Pestisida. Tim pakar juga ditugasi untuk melakukan penilaian mengenai kesiapan laboratorium penguji residu pestisida di seluruh Indonesia, dalam melaksanakan SKB tersebut.

Dari hasil uji yang dilakukan terhadap 55 laboratorium analisis kimia ternyata sangat sedikit laboratorium yang mampu melakukan pengujian residu pestisida dengan benar dan tepat. Karena itu diperlukan program khusus guna meningkatkan kemampuan laboratorium dan SDM dalam melakukan pengujian residu pestisida yang teliti. Sejak tahun 1997 kegiatan Tim Pakar terhenti karena terjadinya krisis nasional.

Meskipun demikian dengan sarana kerja terbatas sebagian tim pakar Residu Pestsida membantu Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan meningkatkan kualitas alat dan kemampuan SDM, dengan sasaran agar laboratium analisis pestisida memperoleh pengakuan dan akreditasi pada tingkat nasional dan internasional. Laboratorium pestisida milik Dit. Perlintan Pangan tersebut direncanakan menjadi laboratorium rujukan nasional pengujian residu pestisida.
 
berita unik